Tetes, menetes. Menetes tetes.
Apakah itu suara air mataku, atau apakah itu suara hatiku yang berdarah?
Saya tidak tahu. Saya memegang tiket yang dia berikan di tangan saya, merasakan dorongan untuk merobeknya sampai hancur. Apakah ini benar-benar terjadi? Mengapa ini terjadi?
Saya menangis, bahkan lama setelah dia meninggalkan restoran. Apa yang seharusnya menjadi pengakuan romantis malah berubah menjadi yang terburuk. Dia membelikanku tiket sekali jalan untukku kembali ke Amerika, sendirian, tanpa dia. Dia mencoba menjelaskan semua alasannya, tetapi saya hanya mendengar satu: bahwa saya adalah ketidaknyamanan jika dia membawa pulang gadis-gadis.
Kata-kata itu menusukku melalui hati. Ini menggali jalan masuk, memilukan seperti pisau, ke dalam lubuk hatiku. Saya tidak tahu apa yang lebih menyakitkan: rasa sakit dari hati saya atau rasa sakit dari kuku saya yang menggali jauh ke dalam telapak tangan saya. Kenangan demi kenangan membanjiri pikiranku, semua tampaknya berakhir pada kesimpulan yang sama persis di depanku: tiket yang menandai awal dari akhir hubungan kami.
Saya duduk di sana menangis, ketika pasangan di sekitar saya memandang, seolah-olah hati saya belum cukup lelah.
Aku merasa sakit. Saya tidak bisa bernapas.