Ketika Kemanusiaan Lebih Hina dari Kebinatangan; Refleksi Matinya Pahlawan "Bunta"

Kematian Bunta tidak hanya meninggalkan lubang kehilangan bagi kawanan gajah semata, tetapi juga bagi manusia yang berhati dan berakal lagi waras sekalian. Bunta telah lama menjadi pehlawan, ia menjadi penyejuk saat sahabat-sahabat (gajah) di alam liar mengamuk.

Bunta selalu berada di garda terdepan untuk meredam amarah segerombolan gajah liar. Tentu gajah liar yang mengamuk tidak terlepas dari ulah manusia yang punya akal tapi sedeng, punya hati namun mati. Gajah terancam akibat ketamakan sebahagia oknum manusia, habitatnya dibabat, gadingnya diambil hanya demi ambisi materi dan urusan perut.

Saya tak habis pikir, mengapa harus si Bunta yang disasar, ia mati diracun oleh oknum 'bangsat'. Sungguh peran Bunta sangat krusial, tak terhitung karena aksinyalah di rimba, kampung, telah juga menyelamatkan nyawa manusia.

Dari kematian Bunta kita tahu bahwa sisi kemanusiaan kita sudah sangat menipis. Bahkan, hanya karena satu dua oknum bangsat itu kita semua harus menanggung malu di hadapan binatang; kita lebih hina, akibat nafsu membabi-buta.

Sekalipun, ada selentingan yang menggugat kenapa manusia sekarang ini jauh lebih prihatin kepada binatang ketimbang manusia itu sendiri, untuk kasus Bunta lain cerita. Bunta-lah yang (juga) menyelamatkan manusia saat kawanan gajah ingin balas dendam, ia yang melerai. Tapi apa balasannya? Bunta harus menerima takdir ia mati diracun.

Persahabatan antara gajah dengan manusia telah terjalin sejak lama, banyak manusia pintar jaman dulu yang mengabadikan hidupnya di hutan berkawan dengan hewan. Tak cuman gajah, harimau hingga singa. Persahabatan ini terjalin karena rasa dan perhatian merasa se-alam dan serimba. Hanya saja, sisi manusia yang penuh dengan nafsu itulah yang kemudian membuat segalanya berubah.

Salah satu film action terbaik antara gajah dan manusia berasal dari negara tetangga, Thailand, judulnya ONG BAK. Dari film tersebut diceritakan bagaimana cinta seorang Tony Jaa kepada gajah yang sejak kecil sudah hidup bersama. Tetapi gajah kesayangan diambil atau disabotase secara paksa. Tony Jaa yang dalam film itu digambarkan sebagai pemuda udik, berangkat ke kota untuk melawan mafia. Berbekal ilmu bela diri, ia berhasil menumpas lawan-lawannya.

Dari kisah film Ong Bak kita dapat belajar arti cinta seorang insan dengan gajah. Dedikasi tanpa henti bahkan memperjuangkan hidup gajah adalah apa-apa saja yang patut digalakkan. Kampanye tentang gajah yang telah dilakukan perlu didukung. Lebih dari itu, kampanye untuk penangkapan siapa pembunuh Bunta patut terus diviralkan. Bahkan, kabarnya Kementrian LHK melalui BKSDA akan memberikan 10 juta bagian siapa saja yang dapat menunjukkan pelaku biadab itu.

Mencuatnya kasus Bunta menjadi alarm keras untuk terus hati-hati atas segala kemungkinan buruk, baik bagi kawanan gajah, manusia dan alam. Mafia-mafia yang mengeksploitasi alam beserta isinya punya kaki tangan dan segala cara untuk memuluskan misi ekonomi tanpa hati. Keuntungan sesaat, tapi meninggalkan masalah di masa hadapan.

Bunta memang telah tiada, tapi ia tetap hidup di hati kita. Persahabatannya dengan kita lebih dari cukup untuk menggambarkan arti kasih dan sayang dari makhluk ciptaan-Nya yang kita sebut binatang. Kita berharap, matinya 1 Bunta justru akan membangkitkan Bunta-Bunta yang lain. Sebab, bukan tidak mungkin kawanan gajah akan mengamuk kembali. Jika tidak ada model Bunta, tentu kita akan kewalahan. Manusia memang memiliki akal dan ragam teknologi mutakhir, tapi kita tidak memiliki insting kebinatangan yang utuh, hakiki layaknya mereka. Merekalah yang lebih tau bagaimana dunia mereka sendiri.

Selamat jalan Bunta. Terimakasih atas segalanya.