Sebuah kendaraan bermotor melintasi jalan raya kota. Tiba-tiba ia berhenti secara perlahan setelah baru saja “terjebak” lampu merah (begitu istilah familiar citizen). Tak sampai tujuh detik pun, setelah mengendurkan gas meski mesin tak mati, seorang ibu paruh baya berbisik kencang pada si bapak “neujak ju, neutrobos ju” (perintah menerobos lalu lintas) berulang kali istilah itu diucapkan sehingga gas mulai ditarik kembali dan menerobos lampu stop. Laju Pasutri ini ternyata disambut hangat oleh para pengendara lainnya dengan suara klakson, bahkan “klakson manual” pun terdengar tak kalah nyaring.
Tak lama kemudian, pertanda lampu hijau pun segera menggerakkan keretaku ke salah satu tempat ibadah umat muslim tersohor di Aceh, ya tentu Mesjid Raya Baiturrahman. Sisi-sisi mesjid yang baru saja ditambahkan dengan perangkat elegan tersebut membuat para jamaah semakin tertarik dan ingin berlama-lama menghabiskan waktunya di teras dingin nan licin itu. Bangunan pelindung dari teriknya matahari wilayah tropis yang berbentuk payung itu menjadi background utama pengabadian foto sebagian besar citizen. Sembari melewati demikian sesak jamaah jum’ah, terdengar seorang bapak mengoceh “anak kecil buat apa dibawa ke mesjid” ucapnya. Memang, saat itu posisi bapak itu dalam kondisi terlambat sehingga mesti mencari majlis (tempat duduk) jauh ke belakang dan seketika muncul keluhan di bawah kendalinya.
Dari dua fenomena di atas, memang terkadang kita abai dengan apa disebut dengan kepentingan bersama. Kepentingan pribadi sering menjadi pilihan utama dalam berbagai bentuk persoalan. Hal demikian bahkan menjadi lumrah dan menjadi kebiasaan yang mestinya dianggap tabu. Tak lepas kemungkinan pelakunya pun termasuk kata ganti “aku” dalam memperhatikan kebiasaan tersebut. Terlebih lagi, seorang ibu yang notabenenya penyabar (dalam kasus pertama) menjadi asal mula persoalan terjadi. Ibu dalam kasus di atas yang mestinya menjadi tempat pendidikan pertama telah menggeser nilai-nilai harapan dunia pendidikan.
Selain itu, seorang bocah dibawa ke mesjid tentu setelah pertimbangan orang yang membawanya. Penjagaan terhadapnya menjadi tanggung jawab empunya hajat. Hal sepele demikian menjadi besar tatkala seorang mengedepankan sikap egosentrismenya. Padahal tidak jarang bocah yang sering diikutsertakan berjamaah akan terbiasa ke depannya. Maka paling tidak, sebelum mengoceh, crosscheck terlebih dahulu. apakah ingin merasakan indahnya kebersamaan (kemaslahatan) atau hanya ingin menang sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.