PUASA MENURUT EMPAT MAZHAB DALAM SYARIAH ISLAM
A. Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa arab disebut as-shoum yang berarti menahan (imsak). Termasuk dalam pengertian ini menahan berbicara dengan orang lain seperti disebut dalam al-Qur’an, surat Maryam ayat 26, yang berbunyi:
Artinya: “Maka katakanlah (hai Maryam) sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini “ (Maryam: 26).
Kuda tenang diam tidak bergerak disebut shaim, demikian juga angin yang tenang disebut al-shaum. Dari sini dipahami bahwa dalam puasa terkandung arti ketenangan1.
Sedangkan arti puasa menurut istilah syariat ialah menahan diri pada siang hari dari hal–hal yang membatalkan puasa disertai niat oleh pelakunya, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Arti puasa adalah menahan diri dari syahwat perut dan juga syahwat kemaluan, sertaAbenda konkrit yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan
sejenisnya), dari fajar kedua yaitu fajar shodiq sampai terbenamnya
matahari, yang dilakukan oleh orang tertentu dengan memenuhi syarat- syaratnya2. Selain itu pengertian puasa secara syara’ yang lain ialah menjaga hal-hal yang berbau duniawi agar tidak masuk pada lubang tubuh dari fajar hingga matahari terbenan dan dengan niat serta pada hari diperbolehkan berpuasa3.
Sedangkan puasa menurut kamus bahasa Indonesia ialah menahan makan dan minum dengan sengaja dari fajar shadiq sampai maghrib 4.
B. Hukum Puasa
Para ulama madzhab sepakat bahwa puasa Ramadhan adalah fardlu atas segenap orang muslim, dan puasa termasuk dalam rukun Islam5. Puasa Ramadhan ini hukumnya wajib berdasarkan kitab, sunnah, dan juga ijma’. Adapun dalil dari kitab Allah terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 183, yang berbunyi:
Artinya: “Wahai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. ( al-Baqarah: 183). Adapun dalil berdasarkan sunnah atau Hadits nabi ialah:
Artinya: “Ya Rasulullah katakanlah padaku puasa yang diwajibkan oleh Allah atas diriku? Ujar nabi saw: “puasa ramadhan”. Tanya laki– laki itu pula: “apakah ada lagi yang wajib atasku?” Ujar nabi saw: “tidak”, kecuali kalau anda berpuasa sunat”.
Umat Islam telah ijma’ atau sekata atas wajibnya puasa Ramadhan, dan bahwa ia adalah termasuk salah satu rukun Islam. Hal ini dapat diketahui dari ajaran secara naluri dengan tak usah dipikirkan lagi, sehingga orang yang mengingkarinya berarti kafir dan murtad dari Islam6.
C. Cara Menentukan Awal Bulan Puasa
Puasa baru dapat dilaksanakan bila telah masuk waktunya, yaitu telah masuk bulan ramadhan, dan untuk mengetahui apakah telah masuk bulan ramadhan ataukah belum bisa melalui beberapa cara, diantaranya:
1.Dengan melihat bulan atau hilal, dalam hal ini para ulama madzhab berbeda pendapat, pendapat–pendapat tersebut ialah sebagai berikut:
a.Imam Abu Hanifah:
Jika langit cerah untuk menentukan awal bulan Ramadhan hilal harus terlihat oleh khalayak ramai, khalayak ramai ialah orang yang dapat memberi informasi secara pasti (atau hampir pasti).
Syarat terlihatnya hilal oleh khalayak ramai adalah karena mathla’ hanya satu dikawasan itu, sementara tidak ada penghalang (semisal mendung), mata semua orang sehat, dan mereka semua berkeinginan melihat hilal, dan bila dalam keadaan seperti itu, jika ada satu orang yang melihat hilal maka itu bisa dikatakan kekeliruan penglihatan. Saat menyampaikan kesaksian tersebut, masing–masing dari khalayak mengucapkan “ aku bersaksi”7.
Adapun jika langit tidak cerah karena mendung atau yang lainnya maka untuk terlihatnya hilal maka imam cukup meminta kesaksian dari orang muslim yang adil, berakal, baligh atau menurut pendapat yang shahih orang yang identitasnya belum diketahui baik laki-laki maupun perempuan baik orang yang merdeka atau yang lainnya8.
b.Imam Maliki
Hilal Ramadhan dipastikan kemunculannya dengan tiga cara berikut:
1.Hilal terlihat oleh khalayak ramai, meskipun mereka tidak berbudi luhur. Khalayak ramai ialah orang–orang dalam suatu jumlah yang menurut kebiasaan tidak mungkin untuk bersekongkol untuk berdusta. Mereka tidak disyaratkan harus laki–laki, merdeka, atau berbudi luhur.
2.Hilal dilihat oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur, orang yang berbudi luhur ialah laki–laki merdeka, baligh, dan berotak waras dan tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak terus–menerus melakukan dosa kecil, serta tidak melakukan perkara yang mengurangi kewibawaan. Dalam menyampaikan kesaksiannya tidak perlu menggunakan kata–kata “ aku bersaksi”.
3.Hilal dilihat oleh satu orang yang berbudi luhur, penguasa tidak boleh menetapkan hilal berdasarkan penglihatan satu orang saja yang berbudi luhur9.
a.Imam Syafi’i
Kemunculan hilal bagi masyarakat umum dipastikan dengan penglihatan satu orang yang berbudi luhur, meskipun ini tidak dikenal, baik langit cerah ataupun tidak, dengan syarat bahwa orang yang melihat tersebut berbudi luhur, Muslim, baligh, berakal, laki–laki dan mengucapkan lafad “ aku bersaksi”10.
d.Imam Hambali
Dalam memastikan hilal dapat diterima perkataan mukallaf yang berbudi luhur, secara zahir dan batin, baik laki–laki maupun perempuan, merdeka ataupun budak, meskipun ia tidak mengucapkan lafad “ aku bersaksi bahwa aku telah melihat hilal”.11
2.Dengan mencukupkan bulan sya’ban tiga puluh hari, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang berbunyi:
Artinya: “Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (dibulan Ramadhan), dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan syawal), maka jika ada yang menghalangi (mendung), sehingga bulan tidak kelihatan, hendaklah kamu sempurnakan bulan sya’ban hingga tiga puluh hari” (Riwayat Bukhari).
3.Dari kabar mutawatir, yaitu kabar orang banyak, hingga mustahil mereka akan sepakat berdusta atau sekata atas kabar yang dusta.
4.Percaya pada orang yang melihat.
5.Tanda–tanda dikota besar untuk memberitahukan pada orang banyak (umum), seperti lampu, meriam, dan sebagainya.
6.Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang), sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang berbunyi:
Artinya: “Ibnu Umar telah menceritakan hadits berikut yang ia terima langsung dari Rasulullah saw, yang telah bersabda, apabila kamu melihat bulan (di bulan Ramadan), hendaklah kamu berpuasa, dan apabila kamu melihat bulan (di bulan sya’wal),
hendaklah kamu berbuka, maka jika tertutup (mendung) antara kamu dan tempat terbit bulan, hendaklah kamu kira–kirakan bulan itu” (Riwayat Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Kata beberapa ulama, diantaranya yaitu Ibnu Syuraidi Mutarrif dan Ibnu Qutaibah, yang dimaksud dengan kira–kira ialah dihitung menurut hitungan ilmu falak (ilmu bintang).12
D. Syarat dan Rukun Puasa
Syarat dalam puasa ada dua, yaitu:
1.Syarat wajib puasa:
a. Beragama Islam, ini dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 183 bahwa dalam ayat tersebut yang diwajibkan berpuasa ialah umat islam sedangkan tidak ada kewajiban atas orang kafir.
b. Baligh dan berakal, persyaratan baligh mengandung arti bahwa anak kecil tidak diwajibkan berpuasa, sedangkan persyaratan berakal mengandung arti bahwa orang gila tidak diwajibkan untuk berpuasa, tidak diwajibkan karena mereka dipandang tidak cakap melakukan puasa.
c. Kuat berpuasa (al-qadir) dan sedang menetap ditempat tinggalnya (muqim).
2.Syarat sah puasa:
a. Islam,
b. Berakal,
c. Suci dari haid dan nifas,
d. Niat13.
Dalam syarat–syarat diatas para ulama madzhab berbeda pendapat, pendapat–pendapat para ulama madzhab mengenai syarat wajib maupun syarat sah puasa ialah sebagai berikut:
1.Imam Abu Hanifah
a.Syarat–syarat kewajiban ada empat, yaitu:
1.Beragama islam.
2.Berakal.
3.Baligh .
4.Tahu bahwa puasa itu wajib (yang terakhir ini berlaku bagi orang yang masuk Islam di darul harbi) atau berada didarul Islam14.
b.Syarat–syarat wajibnya melaksanakan ada dua, yaitu:
- Sehat (tidak sakit, haid ataupun nifas).
2 . Mukim (musafir tidak wajib puasa).
c.Syarat–syarat sahnya ada tiga, yaitu:
- Niat.
- Tidak sedang dalam keadaan haid dan juga nifas, dan kosong dari perkara yang dapat merusak puasa15.
2.Imam Maliki
a.Syarat–syarat kewajiban ada tiga, yaitu:
- Baligh, puasa tidak wajib atas bocah meskipun ia telah remaja boleh saja ia berpuasa tapi tidak dianjurkan, dan walinya tidak wajib menyuruhnya puasa.
- Sehat, Puasa juga tidak wajib atas orang yang sakit ataupun tidak mampu, termasuk orang yang dipaksa.
- Mukim.
b.Syarat–syarat keabsahannya ada dua macam, yaitu:
- Orang Islam (puasa orang kafir tidak sah meskipun puasa ini wajib baginya dan dia mendapat siksa di akhirat lantaran meninggalkan puasa).
- Masa atau waktu yang dapat diisi dengan puasa (puasa tidak sah pada dua hari raya, dan hari–hari yang dilarang lainnya)16.
c.Adapun syarat–syarat kewajiban dan keabsahan sekaligus ada tiga, yaitu:
- Suci dari haid dan nifas bahwa wanita yang haid ataupun nifas tidak wajib dan tidak sah berpuasa tetapi setelah halangan tersebut selesai ia wajib berpuasa dan setelah ramadhan berakhir ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya tersebut.
- Berakal bahwa orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan untuk berpuasa jadi orang yang gila, pingsan tidak wajib puasa dan puasa mereka tidak sah.
- Niat bahwa niat adalah tekad untuk melakukan sesuatu, cukup satu niat untuk puasa yang wajib dilaksanakan secara berkelanjutan17.
3.Imam Syafi’i
a.Syarat kewajiban ada empat, yaitu:
Beragama Islam, puasa tidak wajib atas orang kafir asli tetapi ia mendapat siksa diakhirat lantaran ia meninggalkan puasa, tetapi puasa wajib atas orang yang murtad, setelah ia kembali Islam maka ia wajib mengqadha puasa selama ia murtad.
Baligh, puasa tidak wajib bagi anak tetapi hendaknya disuruh berpuasa saat berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul saat usia sepuluh tahun bila ia tidak berpuasa.
Berakal, puasa tidak wajib atas orang gila, kecuali hilangnya akal disebabkan oleh dirinya sendiri. Adapun orang yang mabuk atau minum–minuman keras wajib mengqadha puasanya tetapi bila mabuknya bukan karena ulahnya sendiri maka ia tidak wajib mengqadha puasanya.
Mampu, tidak wajib puasa bagi orang yang tidak mampu, baik karena faktor usia, ataupun sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh18.
b.Syarat keabsahan puasa ada empat, yaitu:
- Beragama Islam saat puasa, puasa tidak sah bila dilakukan orang kafir ataupun orang murtad.
- Mumayiz, atau berakal pada keseluruhan siang.
- Suci dari haid dan nifas pada siang hari, bila saat siang hari tiba–tiba ia haid atau nifas maka puasanya batal.
- Waktu yang layak untuk puasa19.
Adapun niat menurut imam Syafi’i termasuk dalam rukun puasa.
4.Imam Hambali
a.Syarat–syarat kewajiban ada empat, yaitu:
- Beragama Islam, puasa tidak wajib atas orang kafir meskipun itu murtad.
- Baligh, puasa tidak wajib atas anak kecil walaupun ia telah remaja.
- Berakal, puasa tidak sah bagi orang gila.
- Mampu berpuasa, puasa tidak wajib atas orang yang tidak sanggup menjalaninya baik karena faktor usia tua atau sakit yang tiada harapan sembuh.
b.Syarat–syarat keabsahan ada empat, yaitu: - Niat, wajib melakukan niat atas puasa yang dijalaninya tiap malam hari setiap puasa yang dijalaninya.
- Suci dari haid dan nifas, puasanya wanita yang haid dan nifas itu tidak sah bahkan haram, keduanya wajib melakukan puasa setelah darahnya berhenti pada malam hari dan wajib mengqadha puasa yang tidak terlaksana saat haid ataupun nifas.
- Beragama Islam, puasanya orang kafir walaupun setatusnya murtad tidak sah.
- Berakal, yakni tamyiz, tidak sah puasa anak kecil yang belum mumayyiz, yaitu anak yang berusia tujuh tahun.20
Rukun–rukun dalam puasa ada dua, yaitu:
1.Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Ini berdasarkan firman Allah surat al- Baqarah ayat
187, yang berbunyi:
Artinya: “Maka sekarang, bolehlah kamu mencampuri mereka, dan hendaknya kamu mengusahakan apa yang diwajibkan Allah atasmu, dan makan minumlah hingga nyata garis putih dari garis hitam berupa fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam. (al-Baqarah: 187)
Yang dimaksud dengan garis putih dan garis hitam ialah terangnya siang dan gelapnya malam. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Ali bin Hatim bercerita: “ Tat kala turun ayat yang artinya: hingga nyata benang putih dan benang hitam berupa fajar saya ambillah seutas tali hitam dan seutas tali putih, dan saya taruh bawah bantal dan saya amati-amati di waktu malam, dan ternyata tidak dapat saya bedakan. Maka pagi–pagi saya datang menemui Rasulullah saw, dan saya ceritakan padanya hal itu.
Sabda nabi saw:
Artinya: “Maksudnya ialah gelapnya malam dan terangnya siang”
2.Berniat, ini berdasarkan firman Allah ta’ala surat Al-Bayyinah: 5.
Yang berbunyi:
Artinya: “ Dan tiadalah mereka dititah kecuali untuk mengabdikan diri kepada Allah, dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya semata. (Al-Bayyinah: 5)
Dan juga berdasar sabda nabi saw, yang berbunyi:
Artinya: “Setiap perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan setiap manusia akan peroleh apa yang diniatkannya”.21
Para ulama madzhab berbeda pendapat dalam niat berpuasa, perbedaan–perbedaan tersebut ialah:
Imam Abu Hanifah dan kalangannya berpendapat bahwa puasa ramadhan berlaku niatnya saat terbit hingga tengah hari. Beliau berpendapat bahwa puasa ramadhan telah jelas pada dirinya atas setiap sesuatu.22
Sedangkan Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Syafi’i, Dawud dan jumhur ulama zaman dahulu berpendapat bahwa tidak sah puasa ramadhan kecuali berniat dimalam hari. Dalil mereka ialah hadits riwayat Nasa’i dan Ahmad ibnu Azhar dari Abdul Razak dari Ibnu Juraih dari Ibnu Syihab dan Salim dari Abdullah bin Umar dan dari Hafsah berkata bahwa rasulullah saw bersabda: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat pada malam harinya”. (Sunan al-
Nasa’i).23
E.Tata Cara Berpuasa
- Makan sahur
Umat Islam telah ijma’ menyatakan sahur adalah sunah dan bila ditinggalkan maka tidak berdosa. Untuk itu nabi bersabda:
Artinya: “Dari Anas ra, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda: “ makan sahurlah kamu karena sesungguhnya sahur itu berkah.” (HR al- Bukhari dan Muslim).
- Niat, para ulama beda pendapat mengenai niat puasa tetapi kebanyakan ulama sepakat bahwa niat puasa dilakukan pada malam hari yaitu pada saat setelah berbuka puasa hingga terbit fajar.
- Menahan diri dari hal–hal yang dapat membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
- Menyegerakan berbuka. Setelah terbenam matahari ia dianjurkan untuk segera berbuka.24
F.Kesunahan–Kesunahan Berpuasa
Imam madzhab sepakat bahwa orang yang berpuasa disunahkan untuk hal–hal sebagai berikut:
- Makan sahur walaupun sedikit, meski hanya seteguk air, dan disunahkan untuk menangguhkan sahur sampai akhir malam, fungsi sahur ialah untuk menguatkan tubuh dalam menjalani puasa, sebagaimana Hadits yang ditiwayatkan oleh Hakim dalam Shahihnya dinyatakan:
Artinya: “Makan sahurlah kalian agar lebih kuat dalam menjalani puasa, dan tidur sianglah agar kalian lebih kuat menunaikan shalat Tahajud”.
2.Mengakhirkan sahur, ini sunah dilakukan selama tidak terperangkap dalam keraguan munculnya fajar, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh at-Thabrani, yang berbunyi:
Yang artinya:
“Ada tiga perkara yang termasuk akhlak para rasul: menyegerakan buka puasa, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dalam shalat”.25
3.Menyegerakan buka puasa sebelum shalat Maghrib, tetapi telah yakin bahwa matahari telah terbenam, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dari Sahl bin Sa’ad. Rasulullah saw, bersabda: senantiasa manusia dalam berbaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
- Berbuka dengan kurma, atau sesuatu yang manis, atau dengan air.
Sebagaimana Hadits nabi yang berbunyi:
Yang artinya: “Dari Anas, Nabi saw berbuka dengan rutab (kurma gemading) sebelum shalat, kalau tidak ada dengan kurma, kalau tidak ada juga beliau minum dengan beberapa teguk” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmizi).
- Berdo’a sebelum berbuka puasa, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang berbunyi:
Artinya: “Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw, bersabda, apabila berbuka puasa, beliau berdo’a: Ya Allah, karena Engkau saya puasa, dan dari rizki pemberian Engkau saya berbuka, dahaga telah lenyap dan urat–urat telah minum, serta pahala telah tetap bila Allah swt menghendaki (Riwayat Bukhari dan Muslim).26
- Memberi buka pada orang yang berpuasa, walaupun dengan sebutir kurma atau seteguk air, lebih sempurna jika memberi buka puasa dengan makanan yang mengenyangkan, nabi Muhammad saw bersabda:
Artinya:“Barang siapa memberi buka kepada orang yang berpuasa, niscaya dia mendapat seperti pahalanya, tanpa berkurang sedikit pun pahala orang yang berpuasa tersebut”.
Mandi dari junub, haid dan nifas sebelum terbit fajar supaya berada dalam keadaan suci pada awal puasa27.
Menahan lidah dan anggota tubuh lainnya dari perkataan yang sia–sia dan perbuatan–perbuatan yang berdosa. Adapun menahan dari perkara yang haram seperti ghibah, adu domba, dan dusta, semakin ditekankan
pada bulan Ramadhan, sebagaimana Hadits nabi yang berbunyi:
Artinya: “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa, maka tiada pahala yang didapatkan dengan meninggalkan makanan dan minumannya”.
- Menjauhi benda–benda pemuas kesenangan yang mubah yang tidak membatalkan puasa, misalnya benda–benda yang dinikmati dengan cara didengar, dipandang, diraba, atau dicium aromanya, sebab hal tersebut menggambarkan sikap mewah–mewahan yang tidak sesuai dengan hikmah puasa.
- Menurut Imam Syafi’i disunahkan untuk tidak melakukan fashd (mengeluarkan darah dari pembuluh darah) dan bekam untuk diri sendiri ataupun orang lain.
- Memberi kelapangan pada keluarga untuk berbuat baik kepada kerabat dan bersedekah pada kaum fakir miskin, dalam Hadits Bukhari dan Muslim disebutkan:
Artinya: “Nabi saw, adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih bersikap dermawan pada bulan Ramadhan ketika malaikat jibril menemui beliau”.
- Mengisi waktu dengan mempelajari ilmu, membaca Al-Qur’an dan membacakannya pada orang lain, berdzikir, serta mengucapkan shalawat atas Nabi saw, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:
Artinya: “Malaikat Jibril selalu menemui Nabi saw, setiap malam dalam bulan Ramadhan guna menyimak bacaan beliau”.
- Ber’itikaf, terutama pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, karena ‘itikaf ini akan lebih menjaga seseorang dari hal–hal yang dilarang dan akan lebih membantunya melaksanakan perkara–perkara yang diperintahkan.28
G. Hal–Hal yang Membatalkan Puasa Secara umum hal–hal yang membatalkan puasa ada enam yaitu:
1.Makan dan minum secara sengaja Sebagaimana sabda Nabi saw:
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang lupa, padahal ia sedang berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka teruskanlah puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum (H.R. Bukhari dan Muslim).
Memasukkan sesuatu kedalam lubang yang ada pada lubang yang ada pada badan, seperti lubang telinga, hidung dan sebagainya, menurut sebagian ulama sama dengan makan dan minum, artinya membatalkan puasa.
- Muntah dengan sengaja, sekalipun tidak ada yang kembali kedalam, sedangkan muntah yang tidak disengaja tidak membatalkan puasa, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw telah bersabda, barang siapa terpaksa muntah, tidak wajib mengqadha puasanya, dan barang siapa yang mengusahakan muntah, hendaklah ia mengqadha puasanya”, ( Riwayat Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibnu Hibban)
- Bersetubuh Sebagaimana firman Allah saw:
Yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu”. (Al-Baqarah: 187)
- Keluar darah haid (kotoran) atau Nifas (darah sehabis melahirkan) Sebagaimana hadits nabi, yang berbunyi:
Artinya: “Dari Aisyah berkata, kami disuruh oleh Rasulullah saw, mengqadha puasa, dan tidak disuruh untuk mengaqadha shalat” ( Riwayat Bukhari ).
Gila, jika gila itu datang pada siang hari, batallah puasanya.
Keluar mani secara sengaja (karena bersentuhan dengan perempuan atau lainnya). Karena keluarnya mani merupakan puncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan persetubuhan, adapun keluar mani karena bermimpi, menghayal dan sebagainya, tidak membatalkan puasa.29
Adapun hal–hal yang makruh dilakukan saat puasa menurut Imam madzhab, ialah sebagai berikut:
1.Imam Abu Hanifah
Perkara yang makruh bagi orang yang berpuasa ada tujuh, yaitu:
a. Mencicipi sesuatu dan mengunyah sesuatu tanpa adanya uzur, karena hal ini membuka peluang bagi batalnya puasa.
b. Mengunyah permen karet yang tidak dilapisi gula, karena orang yang mengunyah permen karet akan disangka tidak berpuasa, hukum ini sama saja bagi laki–laki maupun wanita.
c. Mencium, membelai, berpelukan dan bercumbu yang “panas”, itu semua akan mendorong untuk berjimak, maka akan membatalkan puasa tersebut tetapi bila ia aman dari resiko maka hal tersebut tidak apa–apa.
d. Mengumpulkan air liur dengan sengaja dan kemudian menelannya, ini agar ia menghindari subhat.
e. Perkara yang diperkirakan akan melemahkan fisik, seperti fashd (mengeluarkan darah dari pembuluh darah) dan bekam30.
2.Imam Maliki
Hal–hal yang makruh dilakukan oleh orang yang berpuasa itu ada sepuluh, yaitu:
a. Memasukkan segala benda basah kedalam mulut, meskipun dimuntahkan lagi serta mencicipi sesuatu yang ada rasanya (missal garam, madu, cuka) untuk mengetahui kondisinya meskipun dari si pembuatnya, karena dihawatirkan ada sedikit dari benda–benda itu yang masuk kedalam tenggorokan.
b. Mengunyah permen karet atau kurma bagi anak kecil.
c. Mendatangi istri didalam bilik dan memandanginya serta melakukan pendahuluan jimak.
d. Memakai wewangian disiang hari dan menciumi wewangian disiang hari.
e. Berpuasa wishal.
f. Berkumur dan menghirup air dengan hidung secara mendalam.
g. Mengobati gigi yang berlubang pada siang hari kecuali ada kekhawatiran bila tidak diobati akan terjadi madlarat.
h. Banyak tidur disiang hari.
i. Banyak berkata dan berbuat yang tidak berguna.
j. Berbekam.
3.Imam Syafi’i
a. Berbekam dan fashad.
b. Berciuman (dihawatirkan bila terjadi ejakulasi maka hukumnya haram).
c. Mencicipi makanan. d.Mengunyah permen karet. e.Memasuki pemandian air panas.
f. Menikmati benda–benda yang biasanya dinikmati dengan didengar, diraba, atau dicium baunya.
g. Bersiwak sesudah waktu dhuhur sampai matahari terbenam. h.Berkumur dan menghirup air dari hidung secara mendalam.
4.Imam Hambali
Bagi orang yang berpuasa dimakruhkan atas tujuh perkara, yaitu:
a. Mengumpulkan air liur kemudian menelannya.
b. Berkumur dan menghirup air dengan hidung secara mendalam, sebagaimana sabda Rasulullah pada Laqith bin Shabrah, yang berbunyi:
Artinya: “Hiruplah air dengan hidung dalam–dalam kecuali jika kamu sedang berpuasa”.
c. Mencicipi makanan tanpa ada keperluan.
d. Mengunyah permen karet yang tidak terurai menjadi kecil.
e. Ciuman, hanya makruh bagi orang yang bergerak birahinya jika berciuman, adapun dalilnya ialah dari Aisyah ra, yang berbunyi:
Artinya: “Nabi saw, dulu mencium dan membelai istrinya, padahal beliau sedang berpuasa, tetapi beliau adalah orang yang paling kuat dalam mengendalikan birahinya”.
f. Membiarkan sisa–sisa makanan terselip disela–sela gigi.
g. Mengendus sesuatu yang dapat tersedot oleh nafasnya kedalam kerongkongannya, misal serbuk kasturi, kapur barus, minyak rambut dan lain sebagainya31.
H. Hikmah, Tujuan, Keutamaan puasa, dan Keutamaan Ramadhan
1.Hikmah–hikmah puasa
Hikmah puasa sangatlah begitu banyak baik dari aspek rohani maupun jasmani. Adapun hikmah puasa dalam pandangan umum diantaranya ialah sebagai berikut:
- Wujud syukur pada Allah.
- Karena Sang pembuat undang–undang Yang Maha bijaksana telah mengajari kita bagaimana menunaikan amanah dan tidak menyia- nyiakan selamanya serta tidak melalaikan amanah.
- Akan lebih dekat dengan malaikat, dimana ia berusaha untuk menahan sifat yang seperti binatang yaitu mengumbar hawa nafsu yang berupa makan.
- Puasa dapat melemahkan syahwat jima’.
- Jika manusia dalam keadan puasa ia akan merasakan panasnya lapar hingga akan membuahkan rasa kasih sayang.
- Mengetahui kelemahan dan kekuranganmu, hingga akan terhindar dari sifat sombong.
- Ingat akan keadaan yang fakir hingga ia peduli dan timbul kasih sayang padanya.32
- Menjalin keakraban keluarga, dengan menunggu waktu berbuka hingga berbuka puasa bersama, jama’ah, dan sahur bersama, mempunyai nilai tersendiri dalam keluarga33.
Adapun hikmah puasa dalam segi rohani ialah sebagai berikut:
- Menundukkan pandangan, tidak jelalatan dari yang menyibukkan hati pada Allah dan yang membuat manusia akan akhirat.
- Memelihara lisan dari mengatakan perkataan jahat, dusta serta ghibah.
- Menahan telinga dari setiap yang dimakruhkan.
- Menahan sisa anggota badan dari segala yang makruh dan juga diharamkan.
- Tidak memperbanyak makanan waktu berbuka, saat perut tidak terisi penuh maka nafsu hewaniah, dan birahinya pun sedikit.
- Hati orang yang berpuasa setelah ia berbuka harus tetap dalam raja’ dan khauf, karena ia tidak tahu puasanya dikabulkan atau tidak.34
- Dapat meningkatkan kecerdasan, puasa dapat meningkatkan derajat perasaan atau emotional quotient (EQ), yang berpengaruh dalam pembentukan sifat–sifat seseorang.35
- Puasa dapat mengendalikan agresivitas dan mengatasi stres36.
- Sebagai pengobatan terhadap gangguan kejiwaan, pengobatan kejiwaan yang paling baik ialah menghilangkan penyebabnya, dan biasanya yang banyak terdapat ialah rasa berdosa, rasa bersalah atau dendam37.
Adapun hikmah puasa dalam segi jasmani ialah sebagai berikut:
- Puasa membantu membebaskan tubuh dari kandungan lemak berlebih.
- Puasa menyebabkan penurunan kadar kolesterol.
- Puasa menyebabkan penurunan asam folic.
- Meningkatkan daya serap makanan.
- Meningkatkan fungsi organ reproduksi.
- Meremajakan sel-sel kulit.
- Memblokir makanan bakteri, virus dan sel kanker.
- Memperbaiki fungsi hormon38.
- Sebagai zakat tubuh39
- Dapat menjaga kesehatan gigi40
Para dokterpun mengatakan bahwa puasa dapat bermanfaat mengatasi berbagai macam penyakit, diantaranya ialah:
Obesitas dan perut buncit.
Penyakit encok atau asam urat.
Arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah).
Radang ginjal akut dan kencing batu.
Penyakit jantung kronis yang menyertai obesitas dan tekanan darah tinggi (hipertensi).
Penyakit gangguan pencernaan disertai dengan asam lambung pada zat–zat albiminous dan zat pati (amylum).
Penyakit gula (diabetes), sebelum ditemukan suntikan untuk diabetes mellitus, diabetes hanya bisa sembuh dengan puasa dan diet.41
Puasa juga dapat menyembuhkan penyakit kulit, Dr. Muhammad Azh- Zhawahiri seorang guru besar bidang penyakit kulit di fakultas kedokteran Universitas Kairo menyebutkan:
“Korelasi antara makanan dan penyakit–penyakit kulit itu sangat kuat, sebab menahan makan dan minum dalam kurun waktu tertentu dapat mengurangi kadar air dalam tubuh hingga akan terjadi peningkatan kekebalan kulit terhadap semua jenis penyakit kulit”.42Puasa dapat menyembuhkan penyakit maag.
Puasa dapat mencegah penyakit hepatitis (suatu penyakit yang menyerang hati).
Puasa dapat mencegah penyakit TBC (tuberculosis)43.
Puasa dapat mencegah kangker44.
2.Tujuan–tujuan puasa
Adapun tujuan–tujuan puasa yang sebenarya ialah:
a. Mencegah diri dari dusta45, sebagaimana hadits nabi Muhammad saw, yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulallah SAW bersabda,: Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji (dusta) dan melakukan kejahatan (kepalsuan), Allah tidak akan menerima puasanya, selakipun ia telah meninggalkan makan dan minum”46 .
a. Iman dan instrospeksi diri, sesuai sabda nabi Muhammad saw, yang artinya:
“Barang siapa menjalankan puasa dengan penuh iman dan mengharapkan atas keridhoan Allah, maka akan diampuni semua dosanya yang telah lalu’ 47.
c. Perisai dari dosa48, sebagaimana Hadits nabi yang berbunyi:
Artinya:“Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Puasa adalah bagaikan perisai (dari api neraka). Karena itu orang yang berpuasa janganlah menggauli istrinya, berkata kotor dan berbuat jahil, bila dia diajak bertengkar atau dicaci maka dengannya, hendaklah ia berkata: “saya sedang berpuasa……….. (Al- Bukhari)”49.
d. Dengan puasa seseorang diharapkan dapat menyeimbangkan dirinya, dimana dalam suatu sisi ia harus sadar akan kemutlakan, kedaulatan Allah SWT, dan disisi lain ia harus pula senantiasa sadar atas kewajiban–kewajiban terhadap-Nya50.
3.Keutamaan puasa
Diantara keutamaan–keutamaan puasa ialah sebagai berikut:
a. Bahwa Allah mengkhususkan puasa untuk diri-Nya diantara bentuk amalan lainnya.
b. Allah berfirman mengenai puasa ini:
“Dan Akulah yang akan membalasnya”. Biasanya Allah membalas kebaikan dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, tetapi untuk puasa Allah menyandarkan balasan pada diri-Nya sendiri dengan balasan yang tidak terbilang”.
c. Puasa sebagai perisai untuk menjaga orang yang berpuasa dari perkataan kotor, keji dan sejenisnya.
d. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi yang semerbak mewangi.
e. Orang yang berpuasa mendapat dua kesenangan, kesenangan saat berbuka dan kesenangan saat bertemu Rabb-nya.51
f. Memberi syafa’at, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Artinya: ”Puasa dan Al-qur’an dihari kiamat nanti akan memberikan syafa’at (pertolongan) kepada manusia. Puasa berkata:” Ya Tuhan aku telah menghalanginya makan makanan dan menuruti sahwat pada siang hari, maka berikanlah aku kesempatan untuk memberi syafa’at kepadanya”, Al- qur’an berkata “ Aku telah menghalanginya tidur pada malam hari maka berikanlah aku kesempatan untuk memberi syafa’at kepadanya”. Maka keduanya (puasa dan Al-qur’an) memberi syafa’at dan syafa’at keduanya diterima Allah” (H.R. Ahmad).
g. Masuk surga, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Saya datang kehadapan Rasulullah saw, kemudian aku berkata:” suruhlah aku melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan aku masuk surga”, Rasulullah menjawab: “lakukan puasa sesunggunya puasa itu tidak ada bandingannya”, kemudian aku datang yang kedua kalinya, Rasulullah berkata lagi: “ laksanakan puasa”.
h. Dijauhkan dari neraka, sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang bersumber dari Abu Sa’id, diriwayatkan oleh Jamaah, Rasulullahsaw bersabda:
Artinya: “Tidaklah seorang berpuasa sehari dijalan Allah. Kecuali Allah akan menjauhkan neraka dari wajahnya sejauh perjalanan tujuh puluh tahun” (H.R. Jamaah Ahli Hadits)52.
i. Terbukanya pintu Rayyan, Tirmidzi mengatakan: “barang siapa memasukinya ia tidak akan haus selamanya”53.
- Keutamaan Ramadhan
Dari sekian banyak keutamaan bulan Ramadhan disini akan penulis paparkan sebagian kecil keutaman bulan Ramadhan, diantaranya ialah:
a. Musim obral pahala
Obral pahala dibulan Ramadhan dapat juga dengan bersedekah, memberi nafkah, dan membaca tasbih, Az-Zuhri seorang tabi’in besar, sebagaimana diriwatkan oleh at-Tirmidzi, mengatakan:
Artinya:
“ Sekali bacaan tasbih di bulan Ramadhan lebih utama dari pada seribu kali tasbih dibulan lainnya”(HR. at-Tirmidzi)54.
b. Bulan dimana Al-Qur’an diturunkan55.
c. Malaikat memintakan ampun.
d. Surga berhias dan bersiap menyambut Ramadhan56.
e. Bulan dimana terdapat keutamaan seribu bulan yaitu malam lailatul qadar57.
f. Menghapus dosa-dosa kecil dari Ramadhan yang lewat sampai dengan Ramadhan berikutnya58.
g. Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya maghfirah, dan penghabisannya merupakan pembebasan dari api neraka59.
I. Keringanan–Keringanan dalam Puasa
Dalam perjalanan, imam madzhab berbeda pendapat mengenai hal ini.
Menurut Imam Hanafi, Maliki dan Syafi’i, berpuasa lebih afdhol bagi musafir jika dia tidak mengalami madlarat dengan puasanya. Sedangkan menurut Imam Hambali, disunahkan untuk tidak berpuasa (makruh berpuasa) dalam perjalan sejauh jarak shalat qashar, meskipun perjalanan itu tidak berat60.Sakit, para Imam berbeda pendapat mengenai hal ini.
Menurut Imam Hanafi dan Syafi’i sakit membolehkan untuk tidak berpuasa, sedangkan menurut Imam Hambali disunahkan untuk tidak berpuasa (makruh berpuasa) pada waktu sakit. Sedangkan Imam Maliki berpendapat bahwa orang yang sakit memiliki empat keadaan:
a. Dia tidak mampu berpuasa, atau dikhawatirkan mati karena sakitnya, atau tubuhnya jadi lemas jika berpuasa, dalam keadaan demikian dia tidak wajib berpuasa.
b. Dia mampu berpuasa tetapi dengan sukar, maka boleh tidak berpuasa.
c. Dia mampu berpuasa dengan sukar serta khawatir sakitnya tambah parah
d. Puasa tidak berat baginya dan dia tidak khawatir sakitnya tambah parah, maka ia tidak boleh tidak berpuasa61.Hamil dan menyusui, haram berpuasa jika mereka khawatir dirinya atau anaknya akan binasa, menurut Imam Hanafi ia wajib mengqadha saja tanpa membayar fidyah, sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Hambali keduanya harus membayar fidyah jika ia khawatir tentang anaknya, sedangkan menurut Imam Maliki, wanita yang menyusui harus membayar fidyah sedangkan wanita hamil tidak harus membayar fidyah62.
Usia lanjut, para ulama sepakat bahwa orang yang telah tua renta yang tidak mampu berpuasa sepanjang tahun , boleh tidak berpuasa dan dia tidak wajib mengqadha karena tidak ada kemampuan pada dirinya dia hanya wajib membayar fidyah63.
Rasa lapar dan haus yang luar biasa, baginya boleh tidak berpuasa jika ia khawatir akan mati atau kecerdasannya menurun atau salah satu indranya akan tidak berfungsi, tetapi ia wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan.
Pemaksaan, boleh tidak berpuasa bagi orang yang dipaksa orang lain dan ia harus mengqadha (menurut jumhur ulama), sedangkan menurut Imam Syafi’i puasa orang yang dipaksa tidak batal64.
Pekerja berat, menurut para jumhur ulama, para pekerja berat seperti tukang panen, tukang roti, tukang besi dan pekerja timbang wajib makan sahur dan berniat puasa, kemudian jika ia merasa sangat lapar atau haus sehingga dikhawatir membahayakan diri mereka, dia boleh
berbuk, tetapi wajib mengqadha puasanya.65.
1 Rahman Rintonga, dkk, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, hlm. 151
2 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al- kattani dkk, Depok: Gema Insani, 2007, cet. ke 10, hlm. 19
3 Ahsan Sholeh, Risalatus Siyam, Jepara, hlm. 1
4 Purwo Waskito, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,Grafika Mulia, hlm. 409
5 Muhammad bin Abdurrahman Damasyqi, Al’-Allamah, Fiqih Empat Mazhab, diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf, dari Rahmah al-Ummah fi ikhtilaf al-Ammah, Bandung:
Hasyimi, 2012,cet ke 13, hlm. 147
6 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, Bandung: PT. Alma’arif, 1878, hlm. 199-201
7 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 50
8 Wahbah Al-Zihayly,Puasa dan Iktikaf Kajian Berbagai Madzhab, diterjemahkan oleh
Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, dari kitab Al-Fiqh al-Islam Wa-Adillatuh, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996, cet k2, hlm. 143
9 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 51
10 Ibid, hlm. 52
12 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007, cet. 40, hlm. 222-223
13 Rahman Rintonga, Op Cit, hlm. 157-160
14 Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 183
15 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 75
16 Ibid, hlm. 75
17 Ibid
18 Ibid, hlm. 76
19 Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 186
20 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 77-78
21 Sayyid Sabiq, Op. cit, hlm. 209-210
22 Umar Sulaiman Al-Asyqar, Fiqih Niat, Depok: Gema Insani, 2006, hlm. 132
23 Ibid, hlm. 141
24 Rahman Rintonga, Op. Cit, hlm. 163-164
25 Wahab Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 78-79
26 Sulaiman Rasjid, Op. Cit, hlm.238-239
27 Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 194-195
28 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 82-84
29 Sulaiman Rasjid, Op. Cit, hlm.230-233
30Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 202
31 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm:86-88.
32 Ali Ahmad Al- Jarjawi, Indahnya Syariat Ialam, Depok: Gema Insani, 1997, cet ke 5, hlm.201-206
33 Ahmad Syarifuddin, Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis, Depok: Gema Insani, 2008, cet ke 3, hlm. 245
34 Ibid, hlm. 214-215
35 Imam Musbukin, Rahasia Puasa Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis,Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2007, cet ke 2, hlm. 213
36 Ibid, hlm. 39
37 Zakiyah Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, Bandung: Remaja Rosda
Karya Offset, 1989, cet. ke 3, hlm. 18
38Ahmad Syarifuddin, Loc. Cit, hlm.112-125
39Ibid, hlm. 111
40 Ibid, hlm. 150
41Muhammad Ibrahim Salim, The Miracle Of Shaum (Mukjizat Puasa), diterjemahkan oleh Muhammad Jawis, dari At-Tadawa bi Ashliyam wa Mazayahu Al-Azhimah fi Al-Wiqayah wa Ash-Shlyanah Ash-Shiyyah wa Al-Mu’alajah Al-Jismiyyah wa An-Nafsiyyah, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007, hlm. 103-105
42 Ibid, hlm. 100
49 Zainuddin Ahmad, Ringkasan Hadits Shohih Bukhari, diterjemahkan Ahmad Zaidun, dati kitab Mukhtashar Shahih Al-Bukhari “ Al-Musamma al- Tajrid Ash-Shahih li Ahaadits Al- Juami ash- Shahih43 Imam Musbukin, Op. Cit, hlm. 236-247
44 Ibid. 118
45 Abdul A’la Maududi, Dasar – Dasar Islam, Bandung: Pustaka, 2005, cet k-5, hlm.166-167
46 Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari Syarah: Shahih Bukhari,diterjemahkan oleh
Amiruddin, dari Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azam, 2011, cet, ke 4, hlm. 48
47 Abdul A’la Maududi,Op. Cit, hlm. 167
48 Ibid
”, Jakarta: Pustaka amani, 1996, hlm. 421
50 Imam Musbukin, Op. Cit, hlm. 80
51 Muhammad Bin Shalih Utsaimin, Majelis Ramadhan, Jakarta: Gema Insani, 1996, hlm. 20-22
52 Mustaghfiri Asror, Bunga Rampai Kultum Ramadhan, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, hlm. 31-32
53 Thaha Abdullah’afifi, 120 Kunci Surga, Jakarta: Gema Insani, 2004, cet k9, hlm. 192
54 Ahmad Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 21-22
55 Arifin, Fiqih Puasa, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013, hlm. 40
56 Ahmad Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 36-38
57 Arifin, Op. Cit, hlm. 46
58 Ibid, hlm. 62-63
59 Azhari Akmal Tarigan, 40 Pesan Ramadhan, Jakarta: Sirja Prenada Media Group,
2008, hlm. 98
60 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 90-91
61 Ibid, hlm. 93
62 Ibid, hlm. 94
63 Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 218
64 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 95
65 Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 221