Machiavelli pernah berkata bahwa pemimpin harus memiliki sifat keberanian singa dan kelicikan serigala. Perpaduan kedua sifat tersebut dianggap ideal untuk dimiliki seorang pemimpin. Ketika mengumpamakan sifat-sifat hewan untuk mengandaikan sifat ideal bagi seorang pemimpin, Machiavelli sebenarnya sedang menjelaskan tentang hakikat diri manusia, terlepas ia sadari atau tidak.
Ungkapan tersebut melukiskan bahwa manusia memiliki potensi sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah: setiap jenis hewan hanya punya jenis sifat yang identik pada jenisnya; serigala memiliki sifat licik, babi identik dengan sifat tamak dan rakus, hewan-hewan predator memiliki sifat buas dan memangsa. Namun setiap hewan hanya memiliki sifatnya masing-masing.
Ular tidak punya sifat singa dan singa tidak punya sifat ular. Sementara manusia mempunyai potensi untuk memiliki semua sifat-sifat yang dimiliki semua hewan. Manusia bisa menjadi buas, tamak, rakus, licik dan sifat-sifat hewan lainnya secara bersamaan. Kenyataan ini mungkin membuat manusia bisa menjadi lebih binatang dari binatang itu sendiri.
Lalu, apa yang menjadikan manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna? Manusia sempurna karena mempunyai potensi kemanusiaannya. Potensi kesempurnaan manusia berada pada sesuatu yang dimiliki manusia yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Manusia disebut sebagai hewan yang berpikir. Ia mempunyai dimensi tak terlihat (ruhani), yang membedakan kesamaannya secara jasmani dengan hewan (sebagai mamalia dan veterbrata): yaitu akal dan hati. Meski tak terlihat, namun kita semua sepakat bahwa manusia punya yang namanya akal dan hati, kita sadar akan keberadaannya.
Segala sesuatu yang kita pikirkan, proses yang kita lalui dalam memahami sesuatu, keputusan yang kita ambil dan segala sesuatu yang melandasi pemahaman manusia atas sesuatu; lahirnya ucapan dan tindakan, selalu melibatkan kedua organ tubuh tak terlihat tersebut. Pada dimensi batin manusia ini, potensi kemanusiaan berada pada akal dan hati, di antara rasionalitas dan perasaan. Titik keseimbangan di antara keduanya menentukan pikiran dan tindakan manusia sehingga menjadi selayaknya manusia.
Pada kenyataannya manusia tak selalu bertindak dengan hanya melibatkan aspek ruhani. Aspek jasmani manusia (yang identik dengan sifat-sifat hewan tadi) selalu berupaya untuk menggoyah atau mengintervensi mekanisme kerja ruhani. Realitas manusia yang keberadaannya berada dalam dualitas: akal-hati, logika-perasaan, jasmani-ruhani, sifat kemanusiaan – kebinatangan, mengharuskan manusia untuk memilih (kemampuan memilih sendiri adalah potensi, keutamaan yang diberikan kepada manusia yang membedakannya dengan makhluk hidup lain) ‘menjadi apa’. Menjadi manusia atau menjadi seperti binatang.
Dualitas jasmani dan rohani serta potensi kemanusiaan dan kebinatangan tadi, tidak diartikan sebagai dualisme. Melainkan, dualitas tersebut adalah dua kutub dimana menjadi manusia berarti memilih untuk condong ke salah satunya; ke langit atau ke bumi, ke timur atau ke barat, menuju keempurnaan atau kecelaan.
Terbang
Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengandaikan seuatu. Mempunyai keinginan untuk menjadi (seperti) sesuatu atau memiliki sesuatu; baik hal maupun suatu kemampuan tertentu.
Manusia mengandaikan untuk bisa terbang, maka diciptakanlah pesawat. Manusia ingin dirinya mampu terbang seperti burung, maka lahirlah sebuah tokoh imajiner yang memiliki kemampuan untuk terbang: Superman.
Superman adalah pengandaian untuk menjadi manusia sempurna. Spinoza yang melahirkan ide tentang manusia sempurna menganggap bahwa manusia dapat menjadi super, menjadi sempurna. Lahirnya tokoh Superman adalah bagian dari mengandaikan kesempurnaan manusia. Dalam film Superman, kesempurnaan seorang manusia yang membedakan manusia lainnya adalah kemampuan supernya, yang paling nyata adalah terbang, disamping memiliki kekuatan fisik lainnya.
Tokoh Superman adalah contoh bagaimana persepsi kesempurnaan dan superioritas manusia dibayangkan. Sifat dan kemampuan yang dimiliki yang menjadi prasyarat untuk menjadi super dan sempurna (dapat terbang dan lebih kuat), adalah persepsi yang melihat manusia hanya pada sisi jasmani/fisik. Padahal burung terbang jauh lebih tinggi, gajah jauh lebih kuat, namun aspek tersebut tidak membuatnya sempurna.
Karena kesempurnaan ciptaan bukan terletak pada aspek jasmani/fisik. Kesempurnaan adalah dengan menjadi manusia yang aspek jasmaninya bergerak selaras dengan aspek ruhani. Akal dan hati sebagai pembeda yang utama, diletakkan di posisi paling depan.
Ketika kita mempertanyakan tentang potensi kesempurnaan pada tataran ideal, di sisi lain kita sadar bahwa dalam kehidupan, kesempurnaan manusia seolah utopis untuk digapai. Saya beranggapan bahwa kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan makhluk, kesempurnaan sebagai ciptaan, yang mengandung ketidaksempurnaan (dalam hal sifat, tindakan yang menjadi ciri manusiawi). Bukan berarti kesempurnaan manusia adalah dalam ketidaksempurnaan secara bersamaan (dualisme), namun kesempurnaan manusia adalah dengan kadar kesempurnaannya sendiri, untuk membedakan manusia sebagai makhluk (kesempurnaan ciptaan) dengan kesempurnaan Tuhan (kesempurnaan pencipta). Kesempurnaan manusia sebagai makhluk sendiri adalah bukti terhadap kesempurnaan ciptaan Tuhan.
Alasan inilah kenapa manusia tak bersayap. Karena sayap dan terbang tidak membuat makhluk menjadi mulia. Punya sayap dan terbang bukanlah kriteria kemuliaan. Kemuliaan manusia adalah menjadi khalifah di bumi, bukan khalifah di langit. Namun dengan aspek ruhaninya, ia mampu menangkap dan memahami kebenaran pengetahuan langit, memanifestasikan potensi kesempurnaan manusia yang diberikan pencipta, yang dengan itu lahirlah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan itulah ia menjadi khalifah, memerintah di muka bumi, sebagai sebaik-baik makhluk yang diciptakan dan diturunkan dari langit.