Abstrak
Perbenturan antar mazhab adalah fenomena yang hampir abadi di dalam komunitas keagamaan Islam di manapun di dunia. Penelitian ini menggunakan metode observasi terlibat di Aceh di beberapa desa di Aceh Utara, Bireuen, Banda Aceh dan Lhokseumawe. Benturan atau clash within civilization di dalam komunitas Islam adalah fenomena yang kerap terjadi bahkan hingga ke benturan fisik berdarah. Konflik antar mazhab biasa terjadi dalam proses yang panjang dimulai dari klaim kebenaran teologis, berlanjut ke konflik yang semakin intens, hingga akhirnya mencapai konsensus setelah melalui tahap konformitas. Konflik internal keagamaan ini sebenarnya bisa diantisipasi jika pemerintah lokal bisa berperan lebih aktif dalam urusan kaumnya. Konflik umumnya terjadi disebabkan oleh kebodohan penguasa yang gagal memahami kawulanya.
Abstract
The clash between the mazhabs is a phenomenon that is almost eternal in Islamic religious communities anywhere in the world. This study used involved observational (participant-observation) methods in Aceh in several villages in North Aceh, Bireuen, Banda Aceh and Lhokseumawe. Collision or clash within civilization in the Islamic community is a phenomenon that often happens even to the bloody physical impact. Conflicts between sects is common in the long process starting from theological truth claims, continues to increasingly intense conflict, to finally reach a consensus after going through the stage of conformity. These religious internal conflict may actually be anticipated if the local government could play a more active in the affairs of his people. Conflicts usually occur due to ignorance rulers who fail to understand his own people.
Keywords: mazhab, Syafi’iyah, Aceh, Sunni, Wahabi
Pendahuluan
Pada suatu hari Jumat (19/6/2015) yang penuh berkah, di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, berduyun-duyun jamaah datang untuk melaksanakan ritual ibadah rutin mingguan yang sangat sakral bagi komunitas terbesar di Aceh, shalat Jumat. Namun ritual kongregasi ini terkendala beberapa saat karena ada sebagian cerdik-pandai agama dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dan Front Pembela Islam (FPI) mengambil alih manajemen pelaksanaan tata tertib Shalat Jum’at di Mesjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh. Para jamaah shalat Jumat pun terkejut, terpana dengan menyeruaknya pada ulama dari aliran (mazhab) tradisional ini dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika pelaksanaan khutbah Jumat hendak akan dimulai. Para ulama dan cerdik-pandai ini mewakili komunitas mazhab tradisional yang terbiasa dengan tongkat dan kumandang azan kedua dalam setiap ritual kongregasi ini. Mereka memaksakan khatib untuk menggunakan tongkat dan mengumandangkan azan kedua setelah azan yang biasanya sekali saja dikumandangkan di Masjid kebanggaan rakyat Aceh tersebut. Mereka membawa toa untuk mengumandangkan azan kedua yang bagi kalangan Muslim ortodok sangat penting maknanya dalam ritual shalat Jumat tersebut. “Kita ingin mengembalikan pelaksanaan Ibadah di Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana kejayaan Aceh di masa Kerajaan Iskandar Muda, seusai dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,” teriak Teungku Bulqaini Tanjongan, Sekjen HUDA.[1] Drama perebutan mimbar masjid ini sangat menarik dilihat karena ternyata integrasi kepercayaan adalah sesuatu yang sangat sulit terjadi, bahkan hampir bisa dipastikan mustahil bisa terjadi. Sebagaimana dilaporkan oleh situs berita AcehTerkini, Teungku Bulqaini mengatakan masalah ini bukan khilafiah tapi sesuatu yang dipolitisir sedemikian rupa oleh sebagian kalangan yang telah menguasai Masjid Raya Banda Aceh. “Tidak ada kudeta masjid, yang kami inginkan mulai hari ini sampai kiamat nanti ibadah di Mesjid Raya Baiturrahman harus sesuai dengan apa yang tertulis dalam mazhab Syafii yaitu Ahlus Sunnah Wal Jamaah,” ujarnya disambut teriakan Allahu Akbar berulang-kali dari sebagian jamaah yang mendukung aksi heroik perebutan mimbar masjid ini. Mazhab Syafii adalah mazhab Muslim yang terluas pengaruhnya dalam Islam Asia Tenggara. Mazhab Syafii dalam urusan pernikahan adalah rujukan utama komunitas muslim mayoritas di Indonesia, Malaysia, Brunai dan Filipina. Banyaknya cerai liar dan praktek “kawin Cina-buta” terjadi di Aceh juga terkait dengan interpretasi thalak tiga yang bisa dijatuhkan dalam kondisi luapan marah tak terhingga dari suami kepada istri. Seiring dengan berkembangnya masyarakat dan terbukanya Aceh pasca konflik 1989-2004 telah menyebabkan perubahan dalam komposisi penganut berbagai mazhab dan aliran Islam di Aceh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua FPI Banda Aceh, Abu Pusong, mengatakan sejak berdirinya Masjid Raya Baiturrahman ini masyarakat Aceh sudah terbiasa melaksanakan ibadah yang sesuai mazhab Syafi’i dalam Ahlussunnah wal Jamaah. “Tiga tahun belakangan ini kita mengetahui adanya kelompok Wahabi di Mesjid Raya Baiturrahman yang diduga telah mengobok-obok manajemen Mesjid Raya Baiturrahman, sehingga hari ini kita ambil alih harus sesuai dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah,” katanya tegas yang menunjukkan betapa terdesaknya komunitas tradisional mazhab Syafii di kota Banda Aceh. Ketua FPI ini mendesak Gubernur Aceh menghargai Keputusan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) yang telah mengatur dan memberi akses bagi mazhab Syafii untuk melaksanakan rukun-rukun tradisi keagamaan yang telah lama bersemi di Masjid heroik ini. Masjid Raya Baiturrahman adalah landmark kota Banda Aceh, sakti bisu atas tertembaknya Jenderal Hindia Belanda, Kohler dan sekaligus tempat dimana kekuasaan Aceh berakhir secara definitif. Munculnya aktor dari lembaga supremasi sipil lokal DPRA menunjukkan bahwa HUDA, MUNA dan FPI mengadukan kesedihan spiritual mereka ke lembaga demokrasi ini ketimbang ke Gubernur Aceh yang sebenarnya adalah pimpinan Pemerintahan Aceh yang definitif. Pimpinan FPI Aceh, Teungku Muslem mendesak Gubernur Aceh agar mendukung hasil musyawarah para ulama HUDA, FPI, MUNA, terkait tata tertib Shalat Jum'at dan Taraweh sesuai dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Keputusan DPRA yang ditandatangani oleh Tgk. Muharuddin 9 Juni 2015 itu menyebutkan tata tertib ibadah shalat Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman yaitu: azan dilakukan sebanyak dua kali; khatib memegang tongkat yang diserahkan oleh bilal; konstruksi mimbar pun harus mengikuti format mimbar Masjid Nabawi, di Madinah; khatib Jum’at harus diisi oleh ulama tradisional Aceh; setelah selesai shalat Jum’at dilanjutkan doa untuk tokoh dan pemimpin Aceh. Selain itu, hasil musyawarah ulama dayah tradisional dengan DPRA juga mengatur pelaksanaan Shalat Taraweh yang harus dilakukan 20 rakaat secara berkesinambungan dan diselingi dengan salawat dan doa serta dilanjutkan dengan Shalat Witir tiga rakaat sekali salam.[2] Ini adalah bukti bangkitnya konservatisme dalam masyarakat Aceh. Gejala ini bisa disebut sebagai rekonservatisasi religi atau kembalinya ideologi tradisional di tengah penetrasi modernisme yang semakin masif di Aceh. Ideologi Wahabisme atau juga Salafisme yang masuk ke Aceh dengan akses modern ditentang secara diametral di dalam peristiwa kudeta masjid yang sebenarnya sudah banyak terjadi di Aceh. Di banyak tempat, tidak hanya di Aceh, banyak masjid yang dibajak oleh aliran-aliran tertentu yang masuk bersamaan dengan datangnya gaya hidup modern. Modernisasi datang dengan counterpart-nya yang mencoba kabur dari kebisingan modern. Ideologi-ideologi eskapisme agama ini kemudian masuk ke berbagai daerah dan hinggap di berbagai masjid dan menguasai masjid tersebut dengan menerapkan cara ritual pintasan yang lebih pragmatik.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode participant-observation yang merupakan metode klasik kualitatif dengan deskripsi dan analisis data lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara imersi ke kelompok-kelompok Islam tradisional Aceh di Sawang, Lhokseumawe, Banda Aceh, Kutablang, Matang Geulumpang Dua, Bireuen. Banyak ungkapan dan sikap serta respon atas pertanyaan penelitian yang tertangkap dalam ekspresi subyek penelitian melalui metode imersi ini. Penelitian ini juga memakai wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh tertentu yang dianggap penting namun agak susah jika dilakukan imersi. Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen dari berbagai sumber sejarah (seperti maklumat PUSA tahun 1948), surat kabar (Harian Serambi Indonesia, Harian Waspada) dan situs berita juga dilakukan penulis untuk memperkaya wawasan tentang subyek penelitian. Ketika data sudah terkumpul, selanjutnya dilakukan verifikasi dan reduksi data.
Kerangka Teori
Peristiwa perebutan atau kudeta masjid Baiturrahman adalah sebuah perbenturan atau konflik internal sesama penganut agama yang sama, sesama Sunni dan sesama Aceh. Konflik internal ini, dalam perspektif Dieter Senghaas (2002) adalah sebentuk clash within civilizations (benturan dalam peradaban). Benturan internal ummat Islam ini biasanya disebabkan karena adanya particular absolutist vision dalam kelompok-kelompok yang berbeda garis teologisnya satu sama lainnya (Bilgrami, 2003: 88). Peradaban Aceh yang sudah terbangun sejak masa Kesultanan Samudera Pasai hingga ke Kerajaan Aceh Darussalam dalam wilayah protektorat khilafah Usmaniyah Turki adalah peradaban muslim sunni yang sangat digdaya. Muslim Aceh yang sangat kosmopolit pada masa itu memiliki banyak tradisi keagamaan yang telah hidup dan berkembang lama di tengah keguyuban masyarakat Aceh pesisir yang agraris. Namun ada satu mazhab dominan, yaitu Syafii, yang kemudian mengasuh Aceh dalam kehidupan beragama (dan juga politik) hingga beberapa ratus tahun lamanya. Ketika modernisasi menderu di Aceh, roda-roda pembangunan berputar semenjak Orde Baru, pelan-pelan Aceh mulai majemuk dan multikultur. Perkembangan kemajuan pembangunan ini tambah marak ketika pasca-tsunami berbagai organisasi humanitarian datang dan masuk ke Aceh dengan membawa sejumlah bantuan. Konsekuensinya, bantuan datang biasanya dengan sejumlah pengaruh bawaan lainnya yang kemudian mengakibatkan ramainya aliran keyakinan dan kesadaran baru, dari yang bermazhab hingga yang menyatakan dirinya tak bermazhab. Inilah yang disebut Anthony Giddens (1990) sebagai konsekuensi modernisasi. Modernisasi memang tampak menjanjikan kemajuan dan kebahagiaan duniawi, namun derivatif bawaannya menjadi masalah yang sangat pelik yang harus disadari dan diatasi. Kehadiran kaum Wahabi di Aceh sudah sangat lama, semenjak tahun 1889 ketika banyak jamaah haji yang pulang dari Mekkah ke Aceh yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Wahabisme adalah paham yang ikut serta terbawa para haji yang sudah menunaikan ibadah penting dalam rukun Islam ini dan adanya particular absolutist vision di dalam paham ini. Natana DeLong-Bas (2004:56) menunjukkan banyak aspek ideologi Wahabi modern yang berbahaya pada abad 20 dan 21 sekarang ini. Dalam ideologi Wahabi dikenal adanya cosmografi darul Islam (negara Islam) dan darul kuffar (negara kafir). Siapa saja yang tidak berasal dari darul Islam harus diperangi. Ekstrimisme lainnya dari Wahabi di Arab yaitu penekanan pada jihad, misogyny, martir, dan militansi. Banyak pihak menilai konflik mazhab di masjid raya Baiturrahman Banda Aceh ini terkait dengan uang dan terlalu memaksakan analisis anggaran finansial tentang aktor-aktor utama dalam kudeta mimbar masjid ini. Bagi saya sebagai putra Aceh, konflik antar mazhab ini sudah hampir abadi di Aceh. Ada partisipan mazhab yang merasa budayanya dibuang dan dihilangkan. Perasaan keterbuangan kultural ini merupakan siksaaan psikososial yang sangat menyedihkan. Lihatlah bagimana reaksi Ketua PWNU Aceh Teungku Faisal Ali yang mengatakan apa yang diinginkan oleh para ulama di Aceh untuk pelaksanaan shalat jumat dengan dua kali azan dan khatib memakai tongkat itu mesti diakomodir oleh Pengurus Mesjid Raya Baiturrahman.[3] Tongkat adalah simbol tombak yang sangat sakral dalam orientasi kultural kalangan dayah tradisional atau kalangan sarungan di Aceh. Tombak adalah simbol alat perang yang penting, sama halnya dengan rencong bagi masyarakat Aceh yang menggunakan simbol ini di hampir semua logo, mulai dari logo toko sepatu, universitas hingga penjual nasi pecal di pinggir jalan. Banyak kalangan yang menganalisis pribadi dari aktor-aktor kudeta mimbar masjid ini. Banyak dari aktor-aktor ini (seperti Teungku Bulqaini, Teungku Faisal Ali, Abi Lampisang) adalah tokoh-tokoh ulama Aceh yang memang sangat risih dengan kedatangan kaum Wahabi yang sangat asertif dalam menjalankan ritual jamaah. Kondisi ini sudah mulai terlihat sejak 2005 ketika aliran tanpa mazhab ini menguasai banyak mesjid di wilayah urban Aceh dan didukung oleh kalangan akademik yang terpuaskan oleh mazhab Wahabi ini. Kalangan masyarakat bawah hanya bisa meakukan analisis finansial dan analisis personal saja tentang peristiwa ini, yang mungkin saja ada benarnya. Bagi mereka, semua tokoh atau aktor dalam peristiwa ini adalah orang-orang yang mencari secupak uang untuk anggaran rumah tangganya yang poligamis. Padahal tidak terlihat adanya implikasi finansial dari kudeta mimbar tersebut; atau mungkin ini adalah pengaruh setting sosial masyarakat dagang yang banyak di Aceh dan mematerialkan segala sesuatunya dengan uang. Padahal uang bukanlah segala-galanya.
Masjid dan Meunasah di Aceh
Peristiwa kudeta masjid ini sudah direncanakan cukup lama oleh para penganut mazhab Syafii yang semakin terdesak oleh agresifnya kaum Wahabi yang selalu ingin tampil di shaf terdepan. Pada tahun 2013, MPU (Majelis Ulama Aceh) Aceh pernah memfatwakan beberapa kriteria sesat yang asosiasinya ke kelompok Wahabi. Ketika naiknya Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (2005-2011) di tampuk pemerintahan lokal Aceh, kelompok ini terakomodasi karena adanya pemahaman Wagub yang mumpuni tentang karakteristik agama di Aceh. Situasinya menjadi berbeda ketika Dokto Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf duduk di tampuk gubernuran Aceh (2011 hingga kini) pemerintahan lokal sangat lemah dan tampak tidak memahami detil-detil karakteristik kelompok-kelompok agama yang sangat hostile satu sama lainnya di Aceh. Akibatnya, kalangan dayah tradisional ini mendatangi lembaga DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) yang masih mau mengartikulasikan keluh-kesah kultural mereka. Maka diartikulasilah keinginan ini dalam sebentuk surat tertanggal 9 Juni 2015. Dengan bermodalkan surat kuasa yang layaknya supersemar ini, kelompok ulama dayah merangsek ke masjid layaknya gerakan FPI di Jakarta merazia tempat-tempat maksiat. Keputusan DPRA itu, kata Lem Faisal adalah menindaklanjuti musyawarah yang dilakukan. “Ini kelemahan Pemerintah Aceh, pada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang tidak segera menyelesaikan janji-janji kampanye politiknya saat Pilkada 2012 lalu. “Selain satu juta per KK, janji politik itu termasuk cara beribadah di Mesjid Raya Baiturrahman harus sama seperti cara-cara yang berlaku di daerah-daerah Aceh yang menganut mazhab Syafiiyah , para ulama ini menuntut janji politik Zikir,” ujar Teungku Faisal Ali sembari mengatakan keputusan DPRA meskipun bukan jalurnya untuk melegislasi satu akomodasi politik kecil (petit political accomodation) dari kelompok mazhab Syafiiyah ini. Kelompok dayah tradisional ini bahkan tidak begitu tertarik untuk menyoal janji kampanye satu juta rupiah per keluarga dari Zaini dan Muzakkir. Bagi mereka memperjuangkan hak-hak ideologis dan kultural mereka adalah lebih penting ketimbang memperjuangkan materi dan uang. Bagi kalangan Syafiiyah, mereka memahami janji politik satu juta rupiah per keluarga adalah kebohongan, sebuah bid’ah dan rakyat kelihatannya suka dibohongi. Maka ini adalah bid’ah yang hasanah, yang tidak perlu lagi dimintai pertanggung-jawaban, karena janji politik serius ini sesungguhnya hanyalah main-main dan kelakar saja. Bagi mereka demokrasi (kampanye dan pemilihan) tidak seserius urusan sembahyang jumat di masjid. Kelompok mazhab ini mengerti bahwa pemerintah lokal sekarang adalah “a leader who makes use of popular prejudice and false claims and promises in order to gain power”. Peristiwa ini menunjukkan kembalinya ideologi sebagai faktor yang lebih penting ketimbang uang dan analisis implikasi anggaran atau teori finansial lainnya. Adanya particular absolutist vision adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, atau sulit sekali dihindari. Visi kemutlakan pada hal-hal furu’ (kecil, remeh) tidak bisa dibaikan begitu saja oleh pemerintah lokal atau nasional dimanapun. Wahabi itu yang menjadi persoalan karena urusan furu’. “Selama ini memang Mesjid Raya Baiturrahman terkesan sangat dekat dengan satu kelompok saja, mungkin saja adanya kerjasama pendidikan dengan LIPIA di Jakarta yang berafiliasi dengan Arab Saudi yang terkenal dengan Wahabisme yang tidak menyetujui pelaksanaan maulid Nabi Muhammad SAW. Masalah ini muncul ketika pengurus Mesjid Raya Baiturrahman tidak mengakomodir hal-hal yang bisa diakomodir,” demikian penjelasan Ketua PWNU Aceh, Tgk. Faisal Ali. Pun seandainya pihak Arab Saudi membantu kelompok dayah tradisional pun, hal ini tidak akan mengubah pendirian kultural mereka untuk menolak ideologi Wahabisme di Aceh. Ini persoalan ideologis paling mendasar, yang oleh Ali Shariati (1979) sebutkan sebagai “mazhab melawan mazhab”, atau Dieter Senghaas sebutkan sebagai “clash within civilization”. Perang non-senjata antara penganut keyakinan qunut dan anti-qunut, yang merayakan maulid Nabi dan yang mem-bid’ah-kan festival maulid Nabi Muhammad, yang sholat taraweh 20 rakaat dan 8 rakaat akan bisa mengarah ke communal violence jika pemerintah lokal tidak antisipatif dalam memahami rakyatnya sendiri. Kita melihat banjir darah seperti di Sampang, Madura (2012), atau Banyuwangi (1999) dimana pemerintah lokal dan nasional lemah dan terlalu sibuk dengan urusan anggaran yang terus menerus dikorup. Nicholash Herriman (2014) menunjukkan betapa bahayanya situasi stateless atau tanpa pemerintahan. Rakyat berkuasa penuh dan mengeksekusi siapa saja yang dicurigainya berdasarkan analisa antena pendeknya tanpa melalui due process of law. Negara yang seharusnya hadir gagah dalam setiap kegiatan kontrol sosial dan penerapan hukum, tiba-tiba menghilang, maka merajalelalah kekerasan, darah pun tumpah dimana-mana. Situasi ini pernah dialami Aceh pada masa dulu ketika mazhab Syamsuddin Sumatrani beradu dengan mazhab Ar Raniry. Bagi kalangan dayah, kumandang azan dua kali yang walaupun tergolong bid’ah adalah penting bagi telinga kaum dagang di Aceh, sama pentingnya dengan mengulang al Fatihah secara verbatim dalam setiap rakaat shalat setelah imam selesai membaca surah tersebut dan diaminkan oleh jamaah. Verbalisme adalah kultur penting dalam pengalaman beragama kaum tradisional dimanapun di Asia Tenggara. Mereka terkesan tidak percaya dengan imam yang membacakan surah Fatihah dan perlu mengulangnya sendiri untuk memastikan bahwa rukun tersebut tidak terlewati demi sahnya shalat mereka. Setidaknya begitulah anggapan umum kalangan Syafiiyah di Aceh. Abdul Hadi Muthohhar (2003) , memperlihatkan betapa resiliensnya kalangan mazhab Imam Syafii di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, termasuk Aceh. Hampir semua masyarakat Aceh memaknai pernikahan dalam kerangka teologis Syafiiyah bahkan pengaruh fiqih ini juga menyeruak ke tataran peraturan perundang-undangan tentang perkawinan dan hal-hal teologis penting lainnya. Jelaslah bahwa ini bukanlah persoalan perebutan setampuk uang atau kekuasaan, ini adalah pertahanan hidup-matinya kultur tertentu yang merasa terancam. Pemerintah lokal Aceh tidak menyadari potensi konflik ini, sama tidak pedulinya pemerintah lokal ini terhadap munculnya kelompok Din Minimi yang bersenjata dan menuntut direalisasikannya janji-janji kampanye Zaini-Muzakkir 2011. Demokrasi Aceh adalah demokrasi yang tidak berkualitas, demokrasi yang tidak bisa menjaga janji-janji politiknya sendiri dan demokrasi yang mencapai kemenangan dengan teror dan intimidasi di beberapa tempat. Adalah wajar jika demokrasi mahal yang tidak berkualitas ini kemudian menghasilkan pemerintahan lokal yang lemah. Syahwat politik yang tinggi untuk memeluk kekuasaan tidak diimbangi oleh kemampuan wawasan dalam memahami rakyatnya sendiri yang penuh kontradiksi dan konfliktual. Pada dasarnya, Islam itu hanya satu, namun karena perkembangan sejarah, politik, ekonomi dan budaya, maka Islam ikut berkembang berdasarkan wilayah persebarannya. Geopolitik Islam kontemporer sekarang ini menjadi tidak lagi satu, monolitik dan integral seperti pada masa nabi Muhammad SAW. Kini terdapat banyak kelompok, pecahan, aliran, sekte dan mazhab yang cukup beragam. Perpecahan pertama adalah pembelahan ideologis yang sangat besar antara (1) Sunni, dan (2) Syiah. Sunni dan Syiah ini juga terpecah dalam berbagai kelompok-kelompok atau sekte dan mazhab yang semuanya mengklaim dirinya yang paling benar. Tidak akan ada kemunculan kelompok baru tanpa klaim kebenaran. Klaim kebenaran inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan di dalam Islam. Sunni adalah mazhab besar kaum pengikut ahlus sunnah wal jamaah yang sangat menghormati Nabi, berserta seluruh sahabat dan juga keluarganya. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al Washliyah, Al Irsyad, Perti, Masyumi, DI atau NII, JI, MMI, JAT, JAS adalah termasuk ke dalam kelompok Sunni. Syiah adalah mazhab yang selektif dalam mengakui sahabat Nabi dan juga keluarganya, mereka hanya mengagumi Ali ibn Abi Thalib r.a dan anaknya yang kedua, Husen, dari 11 anak Ali r.a. Karena minoritas, kelompok Syiah di Indonesia hanya sedikit saja dan organisasinya pun (beserta pecahannya) tak begitu tampil ke permukaan. Antara Sunni dan Syiah pun sering terjadi bentrokan yang melibatkan kekerasan berdarah. Di kalangan Sunni perpecahan juga banyak terjadi dan membentuk banyak kelompok keagamaan, mazhab, sekte dan aliran yang sangat beragam. Wahabi adalah salah sebuah mazhab dalam kalangan Sunni. Baru baru ini di Madura ada sebuah lagu yang berjudul “Wahabi” yang sangat lugas menggambarkan apa itu aliran yang dianggap radikal oleh banyak kalangan. Lagu itu menggambarkan Wahabi tidak suka maulid nabi, tidak mau tahlilan, tidak setuju ziarah kubur, tidak mengakui qunut, dan menganggap semua orang Islam di luar kelompoknya sebagai sesat, bid’ah atau bahkan kafir. Stigma buruk sering disematkan kepada Wahabi dan label ekstrim sering ditujukan kepada kelompok ini. Dalam banyak hal lagu ini ada benarnya, namun tidak semua Wahabi berperilaku demikian. Menarik melihat tumbuhnya organisasi-organisasi di Aceh yang sepintas membingungkan. Misalnya FPI Aceh berbeda dengan FPI di Jakarta yang sangat Wahabian. FPI yang dipimpin Teungku Ahmad Tadjuddin atau lebih dikenal dengan Abi Lampisang dari Aceh Rayeuk adalah FPI yang berhaluan justru bertentangan dengan FPI Jakarta meskipun secara organisatoris mereka terafiliasi secara kuat. FPI Aceh adalah organisasi kalangan Islam tradisional yang lebih dekat dengan paham keagamaan a la Nahdlatul Ulama, menghimpun banyak kekuatan muda Islam dari dayah-dayah tradisional yang tersebar di masyarakat pedesaan, di gampong-gampong yang jauh dari modernisasi. Begitu juga dengan organisasi massa Thaliban Aceh yang dipimpin oleh Teungku Bulqaini Tanjongan dari Samalanga. Thaliban Aceh juga sangat bertentangan secara diametral dengan Taliban dari Afghanistan yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang kental Wahabisme. Thaliban Aceh adalah organisasi kaum dayah yang sangat cerdik menangkap isu maraknya berita-berita jihad di Afghanistan untuk kepentingan sosial, budaya dan politik kalangan tradisional Islam Aceh dalam mengusung aspirasi keagamaan tradisional. Orang yang tidak mengerti strategi cerdik Aceh ini akan mengira bahwa FPI Aceh dan Taliban Aceh adalah ekstensi dari Wahabisme kaum salafi di Tanah Rencong. Padahal, sesungguhnya itu adalah organisasi yang justru berseberangan dengan Wahabisme di Arab atau di Jawa. Secara historis, situasi “meminjam nama” di Aceh dulu sekitar tahun 1940-an dan 1950-an ada organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dipimpin oleh Ali Hasjmy. Orang yang tidak mengerti akan menganggap bahwa ada orang-orang sosialis di tanah Serambi Mekkah. Padahal Partai Sosialis di Aceh ini adalah partai Islam yang hanya sekedar meminjam popularitas nama “sosialisme” untuk meraup pemilih perkotaan yang merasa diri modern bila memilih yang berbau sosialis. Pesindo Aceh diisi oleh tokoh tokoh pergerakan agama (Islam) yang terasuh di bawah kepemimpinan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di bawah kepemimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu’eh yang sangat kental Wahabismenya. Keadaan sekarang dengan hadirnya fenomena FPI Aceh dan Taliban Aceh menunjukkan bahwa sejarah berulang (history repeat itself) dalam konteks yang hampir mirip dimana strategi politik “meminjam nama lawan” untuk melakukan perlawanan ideologis yang unik. Pemerintah lokal Aceh yang dipimpin oleh Zaini Abdullah ini terlihat gamang dan bingung memahami konteks sosio-historis organisasi-organisasi ini sehingga dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan lawan politiknya untuk mengacaukan situasi dan memperparah entropi politik di Aceh. Setelah insiden “kudeta mimbar” Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh pada hari Jumat 19 Juni 2015 yang baru lalu, yang dilakukan oleh para ulama dayah tradisional yang tergabung dalam HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh), dan FPI (Front Pembela Islam) yang menuntut tata laksana shalat Jumat yang harus sesuai dengan mazhab Syafi’iyah dan Maturidiyah, maka merebaklah perbincangan di kalangan masyarakat arus bawah tentang Wahabisme. “Kudeta mimbar” masjid itu menyuratkan tuntutan teologis yang spesifik, bahwa pelaksanaan shalat Jumat mustilah sesuai dengan tradisi ritual kongregasi dari mazhab Syafi’iyah yang dalam rumpun teologis Ahlussunah wal Jamaah harus ada kumandang azan dua kali, khatib memegang tongkat berbentuk tombak trisula dan mengulang pembacaan doa pada khutbah kedua. Tuntutan dari para aktor “kudeta mimbar” masjid ini selanjutnya adalah tentang pelaksanaan shalat taraweh yang harus 20 rakaat ditutup dengan tiga rakaat witir, shalawat sayyidina dan pembacaan doa-doa untuk para pelaksana pemerintahan di Aceh. Intinya, mereka menolak tata-laksana ritual yang mereka anggap sebagai menguatnya aliran atau mazhab Wahabi yang sangat mewabah kini di Aceh. Kini masyarakat ramai membicarakan insiden tak berdarah tersebut sebagai kondisi perpecahan antar mazhab yang biasanya terjadi secara sangat kentara di kampung-kampung yang multi-mazhab. Banyak kalangan membicarakan tentang Wahabi, ciri-cirinya (bahkan hingga ke ciri fisik kelompok), tata-cara beribadahnya, bacaan-bacaan dalam ritual dan doa dan juga shalawat, tokoh-tokohnya, hingga ke orientasi misoginis dan pemikiran yang dianggap radikal. Salah satu pemikiran yang dianggap kalangan tradisional sebagai pemikiran radikal kaum Wahabi adalah sikap takfiri (mengkafirkan) terhadap orang di luar kelompoknya dan ghuluw (bersikap ekstrim) terhadap sesama muslim. Orientasi pemikiran lain yang dianggap tidak sesuai dengan tradisi Islam Aceh adalah adanya anggapan bahwa maulid Nabi Muhammad SAW sebagai bid’ah; setiap yang bid’ah pasti sesat, dan setiap kesesatan pasti menuju ke neraka. Banyak ulama Aceh tradisional yang merasa resah dengan berkembangnya aliran Wahabi yang mengklaim dirinya tak bermazhab ini. Suasana masyarakat yang tadinya guyub dan bersahaja, mulai terbelah ke dalam dua kutub yang saling menganggap dirinya benar. Di kalangan bawah, masyarakat akar rumput bahkan mengalami konflik ini sudah berdarah-darah. Di Sawang, Aceh Utara, kemarin terjadi penikaman terhadap seorang warga kampung yang mengejek seorang ulama tradisional di kampung tersebut. Di Kutablang, Kabupaten Bireuen, pada saat hari raya Idul Qurban, jamaah masjid bahkan ada yang bersembahyang dengan menggunakan sistem shift (pergiliran) meskipun ruang meunasah (masjid kampung) masih sangat lapang untuk semuanya beribadah shalat jamaah secara bersama-sama. Bahkan ketika mengumpulkan zakat qurban pun, masing-masing kelompok mengumpulkan untuk kelompoknya sendiri-sendiri dan membagikannya untuk kalangan yang mereka anggap memiliki keyakinan teologis yang sama dengan mereka. Banyak kalangan ulama dan masyarakat yang sedih dan resah dengan situasi perpecahan internat ummat di kampungnya. Ada yang bertanya dalam lantunan lirik lagu Duran-Duran: “What’s happened to us? Crazy some said. Where is the life that I recognize?” Suasana yang menyesakkan dada ini bertambah pilu ketika dalam satu rumah terdapat dua atau tiga mazhab yang berbeda. Mazhab telah membelah keluarga sebagai komponen masyarakat terkecil; ada yang masih menjalankan tradisi ritual lama seperti maulid Nabi, membaca doa qunut dan membaca shalawat sayyidina; ada yang anti qunut dan tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan maulid Nabi dan kenduri-kenduri seremonial adat lainnya. Pada awalnya, sekitar tahun-tahun 1980-an, perbedaan ini belum mengarah ke benturan atau friksi antar mazhab, namun kini benturan ini sangat jelas terasa. Masjid atau meunasah adalah arena benturan ini terjadi selain di tempat-tempat lainnya. Meunasah atau masjid yang tadinya menjadi arena berkumpul, bersuka-cita dan berduka-cita masyarakat dalam berbagai kegiatan komunal seperti maulid, ceramah, penyuluhan dari posyandu, pertemuan aparat desa, kelompok tani dan nelayan, shalat jamaah Jumat, fardhu kifayah (pengurusan orang yang meninggal) dan juga pertemuan-pertemuan resmi dengan aparat kecamatan dan tempat dimana masyarakat menerima mahasiswa yang melaksanakan kuliah kerja nyata bahkan rendez-vous dengan LSM membahas program pemberdayaan masyarakat pun berlangsung di meunasah atau masjid. Kini tempat berkumpul itu tidak lagi seperti dulu. Seperti yang digambarkan oleh AA Navis (1977) dalam “Robohnya Surau Kami”, meunasah telah menjadi arena bertemunya ide-ide yang hostile dan konfliktual. Suasana yang tadinya damai dan penuh keakraban khas Aceh kini berubah dengan sikap saling curiga dan lontaran-lontaran pemikiran monolitik yang memercik ke semua jamaah. Perubahan sosial ini tentunya sangat meresahkan kaum tradisional islam di kampung-kampung dan juga di wilayah urban dimana kaum tradisional bermazhab Syafiiyah ini berada. Mazhab Syafiiyah yang telah berkembang dan hidup lama menemani keguyuban masyarakat Aceh ini adalah mazhab dominan Ahlussunah wal Jamaah di Asia Tenggara. Pun demikian halnya dengan Wahabisme, aliran yang menolak untuk disamakan dengan mazhab. Kalangan panganut Wahabisme di Aceh ada yang modern ada juga yang tampil dengan gaya sarungan dan pakaian jubah a la Pakistan dan fashion Timur Tengah. Kehadiran mereka yang sangat asertif ini terkadang terlihat dengan gaya celana cingkrang, jenggot yang terbiarkan, minyak wangi semerbak dan baju khas yang tampak berbeda dengan gaya orang kampung di sekitarnya. Pada awalnya kehadiran kaum Wahabi ini diterima di gampong-gampong dalam suasana saling menghargai dan dalam semangat silaturrahmi keberislaman yang kental. Namun seiring dengan berjalannya waktu, bersamaan dengan terjadinya peningkatan jumlah pengikutnya yang mulai ramai, benturan pun tak bisa terelakkan. Meunasah-meunasah seakan dibajak oleh mereka yang lebih sering berada di masjid ketimbang penduduk asli yang banyak menghabiskan waktunya di sawah, ladang, tambak atau di laut lepas. Sedikit demi sedikit kebiasaan ritual tertentu mulai bergeser. Beberapa bacaan doa pun mulai ditinggalkan, berganti dengan spelling yang lebih up-to-date yang diklaim sudah diverifikasi oleh para Syeikh di Arab.
Tipologi Wahabisme
Wahabi sebenarnya adalah istilah yang generik untuk menyebut atau merujuk kepada kelompok Salafi. Namun karena kaum tradisional dayah pun mengklaim dirinya sebagai Salafi (yang melaksanakan tradisi Salafussholeh), maka label Wahabi dipilih agar mudah membedakannya secara teologis dengan kelompok-kelompok Wahabi. Terminologi Wahabi pun dipakai sebagai euphemisme karena ada kelompok tertentu yang sangat sensitif dengan nama ini. Wahabi adalah paham keagamaan yang dianut kalangan yang tidak suka kepada adat-istiadat dan kebiasaan yang menyimpang yang mengharap kekuatan leluhur, melanggar tradisi adat, tidak mau ikut maulidan Nabi, tidak percaya kepada sunan, wali dan keramat-keramatnya, anti tahyul, khurafat dan bid’ah. Kata Wahabi adalah nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, padahal Abdul Wahab adalah nama ayahnya yang tidak pernah menulis satu kitab fiqh pun. Nisbat kepada nama Abdul Wahab ini dibuat oleh kalangan ilmuwan Barat yang biasanya mengambil nama belakang untuk katalogisasi kepustakaan. Wahabi digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), seorang reformis (mujaddid) Islam dari Najd, Arab Saudi yang muncul di tengah galaunya ummat Islam yang lama terasuh di bawah empat mazhab statis (Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi). Ia adalah seorang mufti dari Daulah Suudiyah, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal sekarang. Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid, hanya berdoa memohon kepada Allah tanpa perantara, tidak mengagungkan para wali dan orang alim atau ulama atau orang-orang sholeh sebagai orang yang lebih istimewa dan menolak menyembah kuburan. Wahabi menganut prinsip egaliter dalam beribadah. Muhammad bin Abdul Wahab ini dianggap sebagai pembuat mazhab kelima setelah mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki. Muhammad bin Abdul Wahab ini banyak menulis kitab yang isinya sejalan dengan pemikiran-pemikiran Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim,dan Ahmad bin Hanbal. Karena dipengaruhi oleh pemikiran dari Ahmad bin Hanbal, Wahabiisme ini agak mirip dengan mazhab Hambali. Pemikiran Wahabi ini kemudian dikembangkan oleh Bin Baz, Uthaymin, Syek Ahmad Khan, Jamaluddin Al Afghani, Rashid Ridha, Muhammad Abduh, HOS Tjokroaminoto, dan SM Kartosoewirjo. Kemudian periode pasca kolonialisme Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Hasan Al Banna, Abul A’la Al Maududi, Yusuf Qardhawi, dan Nashiruddin Al Albani. Kemudian pada masa revolusi di Afghanistan masa Abdullah Azzam, Osama Bin Laden, Ayman Al Zawahiry, hingga ke periode konflik Iraq dan Suriah sekarang, ideologi Wahabi dikembangkan oleh Abu Mushab As Shuri, dan lain-lain. Secara antropologis, terdapat setidaknya tiga tipologi Wahabisme di Aceh yang bisa saya amati. Pertama, Wahabi Shururi atau Wahabi yang dianggap anti maulid, anti azan dua kali, anti tahlil, anti ziarah kubur dan anti jihad dan sering menganggap masyarakat yang melawan pemerintah sebagai bughot (pemberontak) yang bertentangan syariat Islam. Kedua, Wahabi Jihadi, yatu kelompok yang lebih fokus pada jihad dan berusaha melawan setiap kebijakan pemerintah, juga memiliki sikap penolakan yang sama dengan kelompok pertama. Wahabi Jihadi pernah muncul dengan nama Tanzhim Al Qaeda Serambi Mekkah (TQSM) dan banyak aktivisnya yang tertangkap setelah terbongkarnya kegiatan i’dad (persiapan/latihan perang) di Bukit Jalin, Aceh Besar pada 2010. Kelompok Wahabi Jihadi ini kini lebih kalem dan memilih jalur dakwah bil hikmah dalam kegiatan kesehariannya. Ketiga, Wahabi Takfiri yang suka menuduh orang lain di luar kelompoknya sebagai pelaku bid’ah atau malah kafir. Kelompok ini ada di Aceh saat ini dan masih setia dengan bai’at-nya untuk mendukung Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) atau lebih dikenal dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Di kalangan internal Wahabi ini sendiri juga terjadi saling tuding dan saling tuduh sesat menyesatkan. Kalangan Wahabi Shururi sering menuduh Wahabi Jihadi sebagai bughot. Whabi Jihadi lebih banyak pasif dan tak bereaksi secara sosial, budaya dan politik. Wahabi Jihadi lebih mengutamakan ibadah-ibadah mahdhoh (ritual) dan menghindari friksi dengan pihak manapun. Sementara kalangan Wahabi Takfiri sangat hiperaktif dalam dakwahnya dan menuduh banyak kalangan Jihadi sebagai bid’ah, sesat atau kafir terhadap banyak kelompok karena tidak mau menerima khilafah Al-Baghdadi di Suriah dan Iraq. Melalui media sosial kelompok Wahabi Takfiri ini menunjukkan seruan-seruannya yang berisik dan penuh ancaman dan memperlihatkan sikap intolerannya secara asertif.
Wahabi Aceh
Berbagai taksonomi atau kategorisasi kaum Wahabisme di Aceh di atas masih belum lengkap tanpa menyertakan kelompok Wahabi Aceh (Achenized Wahabism) yang jauh berbeda dengan umumnya kelompok Wahabi. Banyak kelompok Wahabi Aceh yang terasuh di bawah ilmu-ilmu modern dan mereka tidak memandang Barat sebagai musuh atau darul kufur. Meski mereka bersifat misoginis, setidaknya dalam pemikiran, namun hampir tak ada dari mereka yang hidup dalam sistem kekerabatan yang poligamis dan bias gender. Kaum Wahabi Aceh ini memang berbeda secara diametral dengan kaum tradisional dayah, namun mereka bisa hidup koeksisten secara damai dengan berbagai kalangan dari mazhab yang berbeda. Kaum Wahabi Aceh umumnya adalah kalangan yang bisa menyerap tradisi maulid, tahlil dan ziarah kubur, serta modernisme dan tak mempersoalkannya. Bahkan mereka pun mampu berdamai dengan sejawat ideologisnya dari kalangan Syiah yang memiliki tradisi dan keyakinan yang tidak sama dengan kalangan Sunni pada umumnya. Hubungan asimtot ini terus terjalin dan tidak pernah sedikitpun terjadi friksi atau pergesekan apalagi benturan diametral dengan berbagai kalangan. Wahabi Aceh umumnya adalah kalangan ulama yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan memadukannya dengan ilmu pengetahuan modern di kampus-kampus. Kalangan Wahabi Aceh lebih menyerupai kelompok Islam pluralis di Jawa atau kelompok Islam Nusantara yang lebih mengutamakan toleransi, perdamaian, kerja-sama dan saling menghargai perbedaan keyakinan personal masing-masing.
Kesimpulan
Pemerintah lokal Aceh, dan juga pemerintah lokal lainnya, perlu menyadari kontradiksi-kontradiksi dan potensi konfliktual dalam masyarakat yang dikelolanya. Perbedaan aliran (mazhab) sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi. Di dalam Islam, fenomena ini sudah merupakan sunnatullah, sesuatu yang historical inevitability . Di dalam Al-Quran surah Huud ayat 118-119 telah disebutkan bahwa, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.”[4] Pesan kanonik dari kitab suci umat islam ini menunjukkan bahwa perpecahan internal ummat ini adalah sesuatu yang niscaya dan sulit dipungkiri, meskipun banyak penganutnya membantah dan secara apologetik selalu menyatakan Islam itu satu, tidak ada Islam Nusantara, tidak ada Sunni, tidak ada Syiah, tidak ada Wahabi, tidak ada Salafi, dll. Pernyataan apologetik ini sering mengemuka ketika persoalan-persoalan benturan internal ummat islam terjadi, seakan mereka menutup mata dan menolak semua ini dan menganggapnya sebagai berita konspiratif yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam. Padahal, musuh tidak selamanya berada di luar, terkadang ia masuk menyelusup ke bawah selimut kenyamanan umat Islam itu sendiri. Ajaran di dalam Al-Quran sudah mengantisipasi potensi benturan dari adanya fenomena perbedaan aliran (mazhab) dengan, salah satunya, anjuran untuk ta’aruf atau perkenalan. Pemerintah lokal Aceh perlu turun ke struktur masyarakat terbawah dan memperkenalkan dirinya sebagai sultan baru yang siap menjalankan aspirasi ummat di desa-desa pesisir hingga gunung-gunung. Ini adalah program komunikasi strategik untuk meredam konflik horizontal dan vertikal. Jika tidak ada program aksi afirmatif yang segera, maka konflik akan terus terjadi dan semakin meluas ke semua tataran dan lapisan masyarakat. Beberapa hari sebelum terjadinya tsunami di Aceh, di Timur Tengah, tepatnya di Amman, Yordania, diselenggarakan International Conference on Islamic World Unity (Konferensi Internasional Kesatuan Dunia Islam) yang menghasilkan satu pesan penting yang dikenal dengan resolusi “Pesan Amman” atau The Amman Message (2004). Kesatuan dunia Islam adalah istilah yang mengacu untuk membangun baik dan damai hubungan antara berbagai denominasi Islam, dan biasanya mengacu pada politik kesatuan dalam bentuk kekhalifahan semacam federalisme antara negara-negara Muslim. Tujuan utama persatuan Muslim adalah untuk menyatukan semua umat Islam di sekitar Dunia. Meskipun beberapa mazhab seperti Syiah / Sunni ada di antara umat Islam, menurut pendukung persatuan Muslim perbedaan mazhab tersebut diabaikan dan Muslim dari berbagai negara harus menjalin hubungan yang lebih erat dengan satu sama lain, khususnya setelah Pesan Amman ditandatangani oleh lebih dari 500 Ulama dari denominasi Syiah dan Sunni pada 9 November 2004 atau 27 Ramadhan 1425 H. Hal ini juga ditandatangani oleh Raja Abdullah II bin al-Husein di Amman, Yordania. The Amman Message dimulai dari definisi mencari bersatunya "Islam" adalah sebuah kebenaran dan bukan mencari yang mana yang paling benar dan lainnya dianggap sebagai bukan "Islam". Tujuannya adalah mendefinisikan ulang Islam yang benar dalam masyarakat modern, tentang "Islam yang benar" dan "hak dalam Islam" (The Amman Message, 2004). Di Pesan Amman (2004) itu, dikatakan bahwa siapa saja yang pengikut dari empat mazhab hukum Islam Sunni (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), dua mazhab hukum Islam Syiah (Jakfari dan Zaidi), mazhab hukum Islam dari Ibadhi dan mazhab hukum Islam dari Zahiri adalah seorang Muslim. Oleh karena itu, diharapkan bahwa semua Muslim dalam pengikut mazhab mereka yang disebutkan adalah penguatan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Jika ada pemerintah, lokal maupun nasional, yang tidak bisa memahami semangat persatuan ini, maka itu adalah tragedi demokrasi. Demokrasi dipakai untuk memilih pemimpin yang mampu melindungi hak-hak politik, ekonomi dan kultural semua kalangan dan bukan alat yang mahal untuk memilih demagog yang korup dan nepotis. Konflik terjadi karena kebodohan pemimpin dalam memahami kawulanya (Toer, 1988). Jika tragedi demokrasi ini berulang lagi, maka masa depan semua negeri yang menggunakan sistem ini akan terancam oleh para pemimpin politik yang mencoba mendapatkan dukungan dengan membuat klaim dan janji-janji palsu dan menggunakan emosi sebagai argumen ketimbang akal sehat, maka tunggulah kehancuran akan terjadi.
Referensi
AcehTerkini.com, 20 Juni 2015. (Diakses tanggal 21 Juni 2015).
Bilgrami, Akeel. 2003. “The Clash within Civilizations”, Daedalus, Vol. 132, No. 3, On Secularims and Religion (Summer), pp. 88-93.
DeLong-Bas, Natana. 2004. Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad, Oxford: Oxford University Press.
Giddens, Anthony. 1990. The Consequence of Modernity, (London: Macmillan Publisher, 1990). Herriman, Nicholas, 2013. Negara vs. Santet: Ketika Rakyat Berkuasa, (terj. Theresia Citra Ningtyas), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Maklumat PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Kutaradja, (1948).
Muthohhar, Abdul Hadi. 2003. Pengaruh mazhab Syafi'i di Asia Tenggara: fiqih dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia. Bandung: Aneka Ilmu, 2003.
Navis, AA. 1977. Robohnya Surau Kami, Jakarta: Bratara.
Senghaas, Dieter, 2002. The Clash within Civilisations-Coming to terms with Cultural Conflicts, (London & New York: Routledge, 2002).
Serambi Indonesia, 12 Juni 2015; 20 Juni 2015; 21 Juni 2015; 22 Juni 2015, 23 Juni 2015; 24 Juni 2015; 25 Juni 2015.
Shari’ati, Ali. 1979. Mazhab alayhe mazhab (Sect against Sect), (Tehran: Husayniyeh-e Irshad, n.d.) dalam Ali Shari’ati, On Sociology of Islam, trans. By Hamid Algar, (Berkeley: Mirza Press, 1979).
The Amman Message. 2004. www. islamicworldunity.com (diakses tanggal 20 Juni 2015).
Toer, Pramoedya Ananta. 1988. Arok Dedes. Jakarta: Hasta Mitra.
Waspada, 14 Juni 2015; 18 Juni 2015; 20 Juni 2015; 21 Juni 2015; 22 Juni 2015; 23 Juni 2015; 24 Juni 2015; 25 Juni 2015.
Notes
[1] Lihat, Serambi Indonesia, 12 Juni 2015; 20 Juni 2015; 21 Juni 2015; 22 Juni 2015, 23 Juni 2015; 24 Juni 2015; 25 Juni 2015.
[2] Lihat, Waspada, 14 Juni 2015; 18 Juni 2015; 20 Juni 2015; 21 Juni 2015; 22 Juni 2015; 23 Juni 2015; 24 Juni 2015; 25 Juni 2015.
[3]Lihat, AcehTerkini.com, 20 Juni 2015. (Diakses tanggal 21 Juni 2015).
[4] Al Qur’an, surah Huud, ayat 118-119.
Great post. Its great having people like you on steemit. Upvoted, mind checking my profile too and feel free to upvote and follow back..
Here are some posts that might be very helpful for you -
1- Best Steemit Autors/Profiles To Follow Who Embrace Minnows
2- Boost Your Follower Upto 500 A Week
3- SteemFollower Best Way to Increase Upvotes And Followers.
4- Is This The Best Time To Invest In BitCoin
Regards- Steemit Community
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Selalu ada benturan perbedaan.
Kembalilah ke alquran dan hadist
Dan belajarlah u iklas menerima perbezaan
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit