Pernahkah mendengar kata millenials? Atau generasi Y? Ada fenomena yang menarik dicermati di awal tahun 2018 ini, yaitu generasi millenials. Generasi millennials menjadi topik yang cukup hangat dikalangan masyarakat, mulai dibahas di seminar, diskusi publik, para motivator yang muncul di layar kaca pun sering menyinggung generasi millenials, ataupun dibahas secara ringan di masyarakat, baik di sekolah, kampus, sampai di kedai kopi menyebut sebutan generasi tersebut. Tapi sebenarnya, siapakah generasi millenials itu dan apakah masyarakat benar-benar mengerti akan sebutan itu?
Millenials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980 - 2000an. Maka ini berarti millenials adalah generasi muda yang berumur 17-37 pada tahun ini. Millenials sendiri dianggap spesial karena generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam hal yang berkaitan dengan teknologi. Generasi millenials memiliki ciri khas tersendiri yaitu, mereka lahir pada saat TV berwarna, smartphone dengan internet sudah diperkenalkan. Sehingga generasi ini sangat mahir dalam teknologi.
Jika kita melihat ke dunia sosial media, generasi millenials sangat mendominasi jika dibandingkan dengan generasi X. Tak sedikit millenials yang mempunyai sosial media lebih dari satu. Mereka seperti mempunyai kewajiban memiliki banyak akun sosmed, seperti twitter, facebook, path, instagram, snapchat, whatsapp, line, dan lain-lain yang fungsinya sama yaitu untuk berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain secara virtual. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang ada. Jika kita melihat impact nya untuk pembangunan sumber daya dan manusianya, secara otomatis Indonesia tentu memiliki banyak kesempatan untuk membangun negaranya. Pertanyaan nya adalah apakah generasi millenials sadar akan kesempatan dan peluang yang ada di depan mereka?. Apakah generasi ini benar-benar cerdas membaca peluang, pandai mengelola media dan memanfaatkan sumber daya, unggul di dunia teknologi dengan menciptakan lapangan kerja bagi dirinya, dan membantu orang lain dalam kehidupannya? Apakah millenials paham bahwa impact yang seharusnya diciptakan oleh kemjuan teknologi juga membuat manusianya lebih maju baik kehidupannya secara material dan pola pikir yang ikut berkembang. Atau malah sebaliknya apakah generasi yang hidup di zaman ini lebih banyak menggunakan media dan kemajuan teknologi untuk membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme. Tidak peduli realistis yang penting bisa gaya. Atau semakin maju teknologi membuat manusianya makin konsumtif dan superficial?
Memang benar pameo yang menyebutkan media sosial dapat menjadi pedang bermata dua, tergantung individu bagaimana cara mengelola dan menggunakan medianya. Ada yang cerdas memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan standar kehidupannya dengan berwirausaha, dan “menjual diri” dengan membangun personal branding, membantu orang lain dengan hal-hal yang bermanfaat. Selain itu ada yang menggunakan media untuk menyebarkan dan menyerap informasi tanpa mengulik faktanya terlebih dahulu. Ada pula beberapa dari mereka tidak mampu membedakan mana yang berita fake atau hoax dan mana informasi yang benar-benar valid. Buruknya informasi yang berbau fake dapat membuat netizen meributkan hal-hal sepele, sehingga banyak comment section di media sosial dipenuhi dengan kata-kata kasar dan justifikasi sepihak.
Media Sosial Sebagai Media Personal Branding
Terlepas dari persoalan bagaimana millenials menggunakan dan mengelola media sosial. Pada dasarnya mengoptimalkan media sosial untuk membangun dan mengembangkan personal branding yang positif sangat berdampak pada eksistensi dirinya sendirinya. Idealnya millenials mampu mengenali dan membaca peluang bahwa banyak sides yang bisa diberi nilai jika media sosial yang ia miliki dipergunakan secara tepat dan bijaksana. Daripada menggunakan media untuk menulis/memposting sesuatu yang besifat privasi dan atau menonjolkan kehidupan yang berbau hedonis; postingan yang syarat dengan hura-hura, kesenangan semata yang terkadang melawan arus dalam artian jauh dari realitasnya, hingga memaksakan sesuatu hal untuk menjadi ideal.
Menurut saya akan lebih bijak jika media sosial digunakan untuk memperkuat branding penggunanya secara positif. Dimaksud positif, seperti menulis/memposting sesuatu hal yang bikin pintar dan bernas, informatif, dan edukatif ataupun sesuatu yang dapat menggerakkan pembaca untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat, tidak lupa menggunakan bahasa yang baik. Sesungguhnya apa yang kita tulis/posting mencitrakan siapa dan bagaimana kepribadian si penulis atau pemilik akun tersebut.
Personal branding sederhananya disebut sebagai pencitraan, yaitu bagaimana si pengguna akan membentuk citra dimata orang lain. Intinya personal branding dapat diartikan seperti apa kita ingin dikenal oleh orang lain melalui bentuk yang berbeda dan menarik dalam pengertian positif. Orang lain akan menilai kamu berdasarkan apa yang kamu perlihatkan dan coba untuk komunikasikan. Netizen mempunyai cara bagaimana ia menerjemahkan sinyal (pesan) yang kamu kirimkan di media sosial. Jadi jangan salah jika hasil atau feedback yang kamu dapatkan di media sosial bisa positif dan bisa negatif ketika kamu mendeskripsikan diri dan memperlihatkan karakter tertentu di media sosial.
Millenials dapat dikatakan cerdas bersosial media di era digital seperti saat ini jika ia mampu menjolkan karakter yang visioner, imajinatif, kreatif, dan inovatif yang dapat me-transfer energi positif untuk orang lain secara virtual (di dunia maya) dan membentuk pergerakkan di dunia nyata. Bagi mereka yang terlahir sebagai generasi millenial atau generasi Y bisa saja memberi kontribusi nyata bahkan untuk lingkungan dan negaranya.
Kontribusi nyata berdasarkan perspektif saya, bahwa millenials tidak melulu menjadi orang yang konsumtif tetapi produktif, tidak selalu uninformed dikarenakan segala sesuatu mesti disuguhkan sebab akses internet hadir tanpa batas.
Milllenial punya cara untuk menunjukkan kreatifitas tanpa harus mengubah karakter dan tanpa memamerkan kesenangan semata, atau apa yang disebut oleh mereka dengan millenials kekinian, gaul, atau yang penting gaya. Walaupun saya memandang arti bahasa “gaul” dengan sudut pandang yang berbeda. Gaul, modern, kekinian, dan kawan-kawannya adalah representasi dari otak bukan bagaimana seseorang berpenampilan atau mengikuti apa yang sedang tren di dunia fashion dan apapun yang tampak physically. Kekinian diukur dari bagaimana pola pikir yang ikut maju artinya kritis dan cerdas sehingga mampu menciptakan behavior yang baik. Apabila hal tersebut dimiliki oleh millenials maka secara otomatis dampaknya sangat besar dalam menciptakan good society.
Jadi banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan media sosial dalam membangun dan memperkuat personal branding. Apalagi sekarang media tidak hanya sebatas audiovisual, tapi juga multimedia. Setiap individu dapat memperlihatkan eksistensinya dengan cara yang cerdas. Salah satunya dengan menggunakan video blog yang diisi dengan konten-konten yang edukatif seperti beropini, membahas isu-isu sosial beserta problem solving nya, kemudian konten-konten yang informatif yang dapat diunggah di YouTube.
Saya ambil contoh Gita Savitri Devi, seorang Youtuber Indonesia yang tinggal di Berlin. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menjadi viral. Dalam kurun waktu 2 tahun pengikutnya nya melebihi 200k subscribers. Tidak hanya itu dia dipilih oleh Youtube Space Indonesia untuk menjadi agent of change, tepatnya creator for change bersama dua Youtuber terpilih lainnya yakni Jovi Adhiguna Hunter dan Film Maker Muslim. Gita Savitri Devi dengan nama Youtube nya yakni Gitasav terpilih mewakili Indonesia ke Youtube Space London, United Kingdom. Bertemu dengan Youtubers dari berbagai negara di dunia yang ditugaskan mengangkan konten-konten sosial dan lainnya di negara mereka tinggal. Saya perhatikan konten miliknya memang cerdas selain bernilai infomatif yang berisikan tentang Jerman dan Indonesia; bagaimana trasnportasi di Jerman dll, selain itu ia juga mengedukasi viewers dengan konten-konten beropini; seperti konten dengan judul serangan kimia di Suriah, Muslim Ban di Amerika, Don’t Lose Hope, dll yang memandang sebuah isu dari berbagai perspektif. Dampak yang ditimbulkan dari karyanya adalah membangun kesadaran dan kepedulian netizen akan sosial, meningkatkan kreatifitas millenials dengan cara melakukan kegiatan yang produktif dan diajak berfikir kritis. Disamping ia melalui channel nya seakan mengajak siapapun yang menonton untuk mengenal dan menjadi diri sendiri, hingga berkontribusi untuk kemajuan bangsa dengan caranya masing-masing.
Saya seakan dibuat mengerti mengapa media sosial benar-benar harus dioptimalkan dengan baik, sebab dampaknya sangat besar untuk membentuk lingkungan dan manusianya. Informasi mengarahkan bagaimana seharusnya pikiran kita berkembang.
Melek teknologi diharuskan agar kita dapat menjadi bagian dari perubahan. Media sosial besar manfaatnya jika kita mampu mengelola nya dengan baik, kamu dapat memberikan sesuatu yang positif bagi orang lain atau setidaknya mengekspresikan bagian terbaik pada dirimu untuk kebahagiaan dan kesejahteraan diri sendiri di media sosial tanpa harus membayar mahal, dan segala macam tuntutan.
Telah kami upvote ya..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih :) @puncakbukit
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @ulfahyt34! You received a personal award!
Click here to view your Board
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @ulfahyt34! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit