Seksi (tapi) Kurang Dilirik

in melawanhoax •  7 years ago 

JIKA ada pertanyaan, bosankah kita dengan sajian berita media massa selama ini, yang penuh dengan carut marut politik, sadisme dan hiburan murahan? Jawabannya bisa iya namun bisa juga tidak.

Jawaban tidak, karena memang itulah yang menjadi sajian utama dari pemberitaan media selama ini. masyarakat pembaca selalu saja disajikan dengan berita carut marut politik dengan segala pernak-pernik kegaduhannya.!
hkl_ahmadi.jpg

Begitu juga dengan berita sadisme dan hiburan murahan, yang setiap hari juga selalu tersaji. Baik itu soal pembunuhan, perkosaan yang diberitakan secara vulgar. Serta berita kawin cerai, percintaan para artis yang tetap menjadi santapan lezat para pembaca.

Jawaban iya, karena ada kesan yang muncul media sudah lari dari salah satu fungsinya, yakni mendidik. Berita kegaduhan politik, sadisme dan hiburan murahan sama sekali tidak menjalankan fungsi jurnalime untuk mendidik masyarakat pembaca.

Di tengah kemajuan teknologi informasi dewasa ini berita carut marut politik dan sadism serta hiburan tersebut semakin menjadi-jadi dengan mudahnya bagi masyarakat mengakses dan memainkan media sosial (medsos) yang dibumbui dengan berita bohong (hoak).

Imbasnya, antara kebenaran dan kepalsuan hanya terpaut tipis. Hingga tak heran juga ada media-media yang memanfaatkan hoak ini untuk mencari jalan pintas untuk meningkatkan jumlah pembaca guna menaikan rating.

Isu politik dan sadisme berbumbu hoak, hingga saat ini terus bergentayangan di dunia maya. Dan itu menjadi santapan lezat bagi para masyarakat yang tak mampu membedakan mana berita yang benar dan mana yang salah.

Imbasnya, salah satunya terabaikannya berita-berita tentang masih banyaknya daerah di negeri ini, terutama pedalaman dan perbatasan yang butuh perhatian dari kalangan media. Namun, hal itu sangat sulit ditembus dengan karena kepetingan bisnis media lebih besar dibandingkan kepentingan masyarakat di pedalaman dan perbatasan.

Setidaknya, ada beberapa alasan mengapa berita dari daerah pedalaman dan perbatasan itu sulit menjadi konsumsi utama, yakni besarnya biaya untuk satu liputan khusus dan isu kemiskinan di daerah kurang mendapat tempat di hati media meinstrem, terutama dari pemilik atau funding di media tersebut.

Isu kemiskinan baru menjadi seksi dan dilirik kalangan media, setelah berita tersebut terhebohkan (viral) oleh warganet lewat medsos. Lihat saja, kasus busung lapar di pedalaman Papua, tepatnya di Asmat. Begitu juga soal kawasan perbatasan. Media akan disibukan bila ada satu daerah atau pulau di negeri ini sudah dicaplok oleh negara lain dengan mengklaim sebagai daerah milik negara asing. Barulah, media diibukan dengan berita-beritanya.

Mengapa ini bisa terjadi. Ketua AJI Banda Aceh, Adi Warsidi berkesimpulan isu pembangunan belum menjadi daya tarik media dan wartawan, dikarenakan beberapa hal, diantaranya, sedikitnya wartawan yang maumeliput ke wilayah tertinggal, mahalnya biaya liputan.

Persoalan lainnya, banyak wartawan yang hanya tergantung pada informasi dari pemerintah, tanpa mengetahui kondisi lapangan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan, kurangnya jaringan media di wilayah-wilayah pedalaman.

“Disisi lain, pemahaman masyarakat yang masih minim dalam pembangunan, hanya karena kurang terbukanya informasi dari pemerintah daerah,” beber Adi Warsidi.

Padahal, bila ditelisik, kabar dari pedalaman dan perbatasan tersebut sangat seksi, namun kurang dilirik. Inilah yang muncul dalam diskusi media yang diselenggarakan Harian Analisa perwakilan Banda Aceh yang bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi Informasi (kominfo) pada Selasa, 30 Januari 2018.

Semangat pembangunan wilayah pedalaman sudah di dengung-dengungkan, sejak awal Pemerintahan Joko Widodo -Jusuf Kalla (Jokowi-JK), lewat nawacita sebagai landasan misi dan visi pemerintahan saat ini.

Kepala Perwakilan Harian Analisa Banda Aceh H Harun Keuchik Leumiek dalam diskusi media ini mengambil tema "Optimalisasi Peran Jurnalis da­lam Pemberitaan Hasil-hasil Pembangunan Daerah Perbatasan dan Pedalaman dalam Rangka Memperkokoh NKRI", mengatakan, pembangunan daerah perbatasan termuat dalam poin ketiga dari Nawacita yang merupakan visi dan misi Jokowi yang dituangkan dalam program unggulan dalam masa pemerintahan Jokowi.

Dalam Nawacita, Jokowi menegaskan bahwa salah satu prioritas utama­nya adalah “membangun Indonesia dari pinggiran”. Pembangunan tak lagi terpusat (sentralisasi) di perkotaan, melainkan harus dilakukan menyebar di seluruh pelosok (desentralisasi).

Membangun Indonesia dari pinggiran, bisa jadi salah satu jalan yang bisa dijadikan untuk meminimalisir jumlah angka kemiskinan pada daerah-daerah di Indonesia. Dalam kasus ini, lihat saja Aceh yang angka kemiskinan masih tergolong tinggi.30 Januari 2018.jpg

Di sinilah dibutuhkan tidak hanya sekadar keterlibatan pemerintah semata, namun keterlibatan berbagai stakeholder lainnya juga tidak dapat dinafikan. Khususnya, bagaimana peran jurnalis dan media memberitakan dan menga­barkan kepada khalayak.

Menurut Harun, salah satu unsur terpenting dari media massa adalah wartawan atau jurnalis. Sebab merekalah yang menjadi ujung tombak sebuah media massa mampu dan dapat memproduksi berita-berita positif yang membangkitkan optimisme dan menyebarkannya kepada publik.

Semoga diskusi kecil yang diselenggarakan Kantor Perwakilan Harian Analisa Banda Aceh ini bisa membawa satu pencerahan bagi kalangan wartawan Indoensia terutama di Aceh, bahwa peran sebagai pilar ke empat demokrasi di negeri ini, akan membawa perubahan yang lebih baik di bumi “serambi Mekkah”.

Karena maju tidaknya satu daerah, andil pers sangat penting dan para pemimpin daerah membutuhkan itu. Maka, tak salah Bupati Bener Meriah, Ahmadi SE mengatakan, “Bagi saya stabilitas masyarakat lebih penting dari segalanya”.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!