Orang bijak mengatakan, “Mulutmu, harimaumu”. Artinya, waspada terhadap mulut sendiri. Bila tak hati-hati, salah-salah yang keluar dari mulut justru akan mencelakai si empunya. Bak harimau yang tiba-tiba berbalik menerkam pawangnya.
Kita mengenal istilah lisan. Dan istilah ini kemudian berkembanglah arti yang bermacam - macam, Lisan dapat berarti bahasa, surat, risalah, perkataan. Bisa pula mendatangkan arti mulut, lidah dan kafasihan. Tetapi ia juga bisa bermakna berdusta, memfitnah, mengumpat, atau menyengat. Wajarlah jika lbnu Katsir mendefinisikan lisan sebagai “sesuatu yang digunakan manusia untuk mengungkapkan apa yang tersimpan dalam batinnya”.
Sejalan dengan Ibnu Katsir, Yahya bin Muadz memberikan ungkapan yang lebih jelas dan menarik tentang lisan . Katanya, “Hati itu laksana periuk, dan lisan adalah alat ciduknya. Maka lihatlah seseorang jika sedang berbicara. Pada saat itu lisannya seperti sedang menciduki apa-apa yang terdapat di dalam ha-tinya. Dia bisa manis atau kecut, bisa tawar atau asin. Dan bisa menjelaskan kepadamu tentang keadaan hati orang itu adalah hasil cidukannya (atau ung-kapan Iisannya)”.
Dari artinya yang beragam dan perannya yang seperti “ cidukan ” itu, maka tak mengherankan jika Allah memerintahkan kita untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya yang berupa lisan.
Bukankah Kami telah memberikan kepada manusia dua.mata, satu lidah dan sepasang bibir ? (QS al-Balad 8-9)
Dengan lisan setiap orang dapat mengucapkan syahadat, sesuatu yang paling disukai Allah. Dengan lisan pula kita bershalawat, sesuatu yang juga disukai Allah. Dan jika kita mau dan mampu, dengan lisan pula kita bisa melaksanakan al-amr bil ma‘ruf wan-nahy anil munkar serta berko-munikasi dengan orang lain, sesuatu pekerjaan yang teramat susah bila dilakukan oleh mereka yang mengalami ketunaan.
Itu pula sebabnya Nabi Musa, lantaran lidahnya yang cacat, selalu memohon kepada Allah dengan doanya yang amat populer di kalangan masyarakat Islam sampai kini:
Lepaskan kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku (QS Thaha 27-28)
Beliau pun lalu memohon kepada Allah:
Saudaraku Hat-un lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslalz dia bersamaku sebagaipembantuku untuk membenarkan (perkataanku) (QS al-Qashshash 34)
Di sisi lam Allah dan Rasul-Nya pun memperingatkan kita agar waspada dan sangat berhati-hati terhadap lisan. Dad surat al Hujurat kita memperoleh peringatan yang berharga, bahwa lisanlah yang menjadi sumber, pangkal dan alat dad segala penyakit seperti ghibah (memperbin-cangkan keburukan orang), tanabuz (menjuluki orang dengan gelar yang buruk), tafakhur (saling membanggakan din), syukhriyyah (mengolok-olok), tajassus (mendanl-can kesalahan orang lain), dan syuudhdhan (berburuk sangka).
Lisan jualah yang menjadi pangkal dan sumber fitnah. Ironisnya keluarga Rasulullah saw sendiri mengalami hal itu. Istri beliau, Aisyah Radhi-yallahu ‘Anha difitnah secara keji oleh seseorang bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Dan lisannyalah beredar desas-desus dan benita bohong bahwa Aisyah telah berselingkuh dengan lelaki lain ketika ia tertinggal oleh rombongannya dalam sebuah perjalanan pulang ke Madinah. Sampai-sampai hal mi membuat Aisyah stres dan jatuh sakit beberapa lama Rasulullah sendiri pun bingung dan ragu-ragu. Iniah peristiwa yang di dalam tanih Islam disebut haditsul ~fld (penistiwa yang menimbulkan kebimbangan). Peristiwa itu pulalah yang menjadi sabab nuzul Allah menurunkan keterangan panjang lebar yang lalu dimuat di dalam aI-Qur’an surat An-Nuur ayat 11-22. Dad ayat 15 saja segera tampak bahwa lisan memiliki sifat destruktif luar biasa pada saat ia menularkan kebohongan demi kebohongan, dan ironisnya kita menganggap hal itu sebagai sesutu yang ringan-ringan saja.
Ingatlah sewaktu kamu menenima kabar bohong itu dari mulut ke mulut, lalu kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya sebagai sesuatu yang dngan saja. Padahal ía di sisi Allah adalah besar.
Benar sabda Rasulullah saw, “Orang muslim adalah seseorang yang menyebabkan orang-orang muslim lainnya merasa selamat dari lisan dan tangannya.” Penyair Al-Hasyimi menulis sebuah syair Arab yang termuat dalam kitab JawahirAl-Adab begini:
Jarang orang tertimpa bencana karena tergelincir kakinya, Tetapi banyak orang tertimpa bencana karena tergelincir lidahnya, Jika kaki yang tergelincir, sembuhlah dengan segera, Jika lidah yang tergelincir, hilanglah kepala kita, Jika orang bijak mengatakan, “Mulutmu, harimau-mu”, maka Al-Hasyimi mengatakan, “Lidahmu, adalah ularmu. Jagalah dia jangan sampai mematukmu!”
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.kompasiana.com/dedihamid/mulutmu-harimaumu_551f8c3b813311b77f9df834
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit