Di penghujung tahun, kita bertanduk, pada trompet yang agak nyaring suaranya, kita menggugat sepi. Di batas awal yang baru, kita merongrong ragu, pada harap yang menggunung. Kita mencangkul asa, pada dalamnya niat, bermata-air uji. Oh waktu, aku, dan kamu.
Tak terasa beberapa saat lagi kita akan memasuki tahun baru (maseh). Orang-orang berdebat, boleh tidaknya dirayakan. Orang-orang berpesta. Seperti bakar ikan bersama. Orang-orang liburan, kemanapun yang dikehendaki. Ada yang ke gunung, ada yang ke laut. Satu dua yang lain, tak beranjak. Merawat jarak, pada tempat yang sama dan di hati yang satu.
Satu hal yang biasa sekali tapi diulang-ulang. Saban baru, resolusi dipanjatkan dalam bentuk doa. Pada setiap yang baru, harapan disuarakan. Ada hutang pada tahun sebelum, seperti segala resolusi yang gagal dioptimalkan. Sebenarnya, kita hanya heboh saat pukul 00:00 berdengung. Selebihnya, kembali sebagaimana adanya.
Tahun berganti, kau ikut di dalamnya. Kulit yang keriput, atau kenangan yang terlipat. Beberapa senyum tetap sama, ada yang simpul pun banyak yang merekah. Pada tahun yang kesekian berganti, orang-orang memang mendefinisikan kesendirian dengan ragam. Seperti; tafsir perihal deadline. Atau, lomba pergantian status. Aku tak tahu, kita yang mana?
Ada yang bilang, teruslah berusaha. Lalu, slogan penyemangat amsal; semoga lelahku menjadi berkah, dimantrakan. Ada yang bilang, tunggu. Lalu ditimpali; akan tiba masanya. Di lain sisi, kewaspadaan pun mengaum; terlalu lama, sudahlah. Entah dari mana suara itu.
Modal terbesar sekalipun naif yang kita punya, hanya percaya. Selebihnya terserah Tuhan. Sering, semesta menemukan jalan tersendiri, atas kuasa-Nya. Selalu ada yang Maha, sekalipun kita-kita yang apalah memiliki segudang ego yang besar. Lazim, kepala batu.
Senyum nan aduhai itu menjelma pelumas bagi sabar yang terbangun. Sedangkan tatap sayu, membantu kala semangat seakan hendak layu.
Semuanya meniti tangga. Dari hai, sayang, kekasih, muaranya suami-istri. Pada sebuah malam yang gaduh, satu dua tetes yang terahimi. Ia lahir sebagai amanah. Sebuah pertanda, tangga mulai menanjak. Tahun-tahun terus berlalu, dengan angka yang kesekian. Kita bertanya? Sudah sejauh mana? Untuk apa? Hingga peraduan tanya terantuk; kenapa musti berjuang, bila segalanya fatamorgana.
Akan tiba masanya, tahun tak lagi berganti. Segala riuh tak jadi sepi, tapi gemuruh. Mengeja segala sesal, meski tahu percuma. Semua terperangah, lalu sesak, sedu sedan, saat Wal Ash tergiang-giang. Demi masa! Siapa lah kita...