Zahra Fona
Lidah merupakan anggota tubuh yang paling tajam, ia diciptakan dengan dipagari oleh dua deret gigi, atas dan bawah. Filosofi ini menjadi salah satu petunjuk bahwa, lidah itu perlu di’pagari’. Setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulut harus melewati ‘pagar’ itu, harus disaring terlebih dahulu baik-buruknya, agar tidak berakibat buruk. Ucapan yang keluar dari mulut harus dengan sadar kita ucapkan, jangan asal keluar.
Sudah tidak asing lagi pepatah “lidahmu harimaumu”. Ia bisa menjagamu, bahkan bisa pula menerkammu, tergantung bagaimana kamu menjaganya. Karena lidah seseorang bisa mendapat kebaikan, karena lidah pula seseorang bisa mendapat keburukan. Dengan lisan orang bisa terhormat atau terhina, masuk surga atau neraka.
Lidah sungguh punya kekuatan tak terkira. Lisan bisa merubah status seseorang: (1) Status dari satu agama, karena lisan, bisa berubah ke agama lain, untuk menjadi muslim, seseorang harus mengucap dua kalimah syahadah, tidak boleh hanya berniat dalam hati, tapi harus dilafalkan. Demikian juga orang yang mengucap kata-kata tertentu yang bisa menyebabkan ia murtad, nauzubillah. (2)Status dari lajang menjadi berkeluarga. Seseorang harus mengucapkan ijab kabul untuk menikah, ijab kabul tidak boleh hanya dalm hati, tapi harus dilafalkan dengan jelas. Seorang laki-laki bila mengatakan kepada isterinya kata ‘talak’ maka putuslah hubungan perkawinan, dan mereka telah bercerai.
Kata-kata yang keluar dari mulut adalah sesuatu yang berharga. Semestinya kita menjaganya, jangan sampai keluar kata kata yang tidak baik. Rasulullah bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berbicaralah dengan baik atau diam”
Seorang ibu yang selalu menyumpahi anaknya yang bandel, maka anak tersebut akan menjadi seperti ibunya katakan. Seperti sebuah kisah tentang seorang ibu yang menyumpahi anaknya semoga ia tertimpa dinding, gara-gara si anak memecahkan pot keramik mahal kesayangan ibunya. Si anak sedang bermain-main di dalam rumah, tanpa sengaja keramik ibunya tersenggol bola yang disepaknya. Sang ibu langsung marah tak terkendali sehingga keluarlah dari mulutnya: “Semoga kau tertimpa reruntuhan dinding!!”
Setelah amarahnya reda, sang ibu menyesali telah mengeluarkan kata-kata tersebut. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, kata-kata yang sudah keluar tidak bisa ditarik kembali. Ketika sang anak besar dan telah sukses menjadi sarjana teknik, ia mati tertimpa reruntuhan bangunan proyek yang sedang dikerjakannya. Si ibu teringat dengan sumpahnya puluhan tahun lalu. Hanya penyesalan yang dirasakannya saat ini.
Kisah lainnya adalah sebuah keluarga yang memiliki 4 orang anak dengan karakter berbeda, si nomor 1, 2, dan 3 adalah laki-laki, dan yang ke empat perempuan. Anak ke satu, dua, dan empat sangat sabar dan penurut. Sementara anak ketiga sangat luar biasa spesial, sebut saja namanya si A. Ia sulit mengendalikan diri, bila ada masalah, ia akan bersikap brutal, dan sering menyakiti diri sendiri. Sering terjadi ia marah-marah tanpa ada yang tahu sebabnya. Sehingga ibunya sangat menjaga supaya ia tidak marah, abang dan adiknya pun selalu mengalah agar tidak terjadi ‘peperangan’ di rumah. Namun demikian, sulit sekali mencegah amarah. Ada saja yang menjadi pemicu. Suatu kali, sang adik bungsu dibelikan tas baru oleh ibunya karena hendak masuk sekolah SD. Si A uring-uringan, “Kenapa adek dibelikan tas, aku tidak?”
“Tas abang kan masih bagus, baru setahun dipakai.”
“Nggak mau, aku mau tas baru.”
“Bang, tas ini untuk abang aja, tasku ketika TK masih bagus kok,” sang adik menyerahkan tasnya ke abangnya. Si ibu menahan air mata, terharu. Semua abang dan adik bungsu selalu mengalah untuk si A.
Suatu hari sepulang sekolah si A melempar sepatu kemana saja dengan menendangnya, begitulah kebiasaannya. Tak ada yang berani protes. Sang ibu akan mencarikan sepatu itu untuk diletakkan di rak sepatu agar besok pagi ia tidak kelimpungan mendapatkan sepatu ketika hendak ke sekolah.
Ketika hendak makan, ia selalu ditunggui oleh ibunya, saudara-saudaranya yang lain menyingkir.
“Mau ikan apa nak, pake kuah?” ibu siaga meladeni apapun permintaan anaknya. Meskipun kadang si A mendorong piring dengan kasar karena lauk yang ada tidak sesuai yang dia inginkan. Ibu hanya melafalkan istighfar, dan menahan air mata supaya tidak menetes. Dalam doa-doanya seusai shalat, selalu didoakan si A agar menjadi anak yang shalih, baik budi, dan berbakti pada orangtuanya.
Keadaan kamar si A juga luar biasa. Cermin di lemari tak pernah utuh, setiap kali marah, ia meninju kaca lemari, dinding, atau benda apa saja sampai tangannya berdarah. Tak jarang ia mengantuk-antukkan kepala ke dinding. Ibunya hanya bisa menahan sisi dinding agar antukannya tidak terlalu keras. Atau kadang ibunya berusaha membujuk, dan langsung mendoakannya.
Kini si A sudah besar, dan tumbuh menjadi pemuda yang sangat baik,dan shalih. Kedua abangnya serta adiknya sudah menikah dan pindah ke rumah masing-masing, ke tempat yang jauh, sementara si A masih tetap di rumah ibunya. “kenapa kamu tidak bekerja saja di Banda Aceh atau Medan, nak?”
“Kalau saya pergi, nanti ibu sendirian, saya usaha di sini saja bu, biar bisa sekalian kawanin ibu.”
Meleleh air mata ibunya mendengar kata-kata si A. Teringat dulu si A yang paling bandel, susah diatur, tetapi sekarang si A lah yang menemani hari tuanya.
Kisah lain tentang seorang anak kecil di Arab Saudi. Ia seorang anak yang sangat aktif dan spesial. Suatu hari, diadakan jamuan makan di rumahnya dengan mengundang beberapa orang tamu sang ayah. Hidangan telah tersedia di meja, tamu pun segera tiba. Anak kecil tersebut sedang bermain tanah, mengenggam abu, membawanya masuk ke rumah dan menaburkan ke masakan yang telah terhidang. Sang ibu yang melihat, tak tahu harus berbuat apa. Amarahnya tak tertahan. “Pergi kamu! Biar kamu jadi Imam Masjidil Haram!”
Pintu langit terbuka menerima doa sang ibu. Subhanallah, anak kecil itu, Syeikh Abdurrahman as-Sudais telah menjadi imam masjidil haram saat ini. Ia telah hafal quran 30 juz saat umurnya 12 tahun. Tartil Qurannya didengar dan menjadi favorit oleh kebanyakan orang seluruh dunia. Suaranya sangat merdu menenangkan, menghanyutkan.
Maka kita sebagai ummat yang beriman, sebagai manusia, sangat penting untuk menjaga lisan. Bukankan lisan kita mencerminkan isi dalam kita? Seumpama teko, bila isinya teh, maka ketika dituang, akan keluarlah teh, bila terisi kopi, ketika dituang akan keluar kopi, ketika berisi air putih, maka akan keluar air putih ketika dituang. Kita perlu mengisi yang baik-baik pada diri kita, sehingga ucapan yang keluar dari mulut kita juga yang baik-baik. Kita tidak akan mendapatkan kebaikan dari perkataan buruk. Apalagi bagi ibu-ibu, calon ibu-ibu, perkataan seorang ibu untuk anaknya bagai pendobrak pintu langit. Maka berhati-hatilah. Ayo, pagari lisan kita!
Lhokseumawe.04.04.2018