Ridwan al-Makassary
Sejatinya, Kampung Enggros tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Teluk Youtefa, oleh karena selain Kampung Tobati dan Kampung Nafri, ketiga kampung tersebut terletak di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa. Sementara Taman Wisata Alam Teluk Youtefa termasuk teluk kecil yang berada dalam area Teluk Yos Sudarso, yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 372/kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978. Selanjutnya, tahun 1996 status hukum kawasan Teluk Youtefa diperkuat dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 714/kpts/1996 tanggal 11 November 1996 tentang Penetapan Kawasan Teluk Youtefa sebagai Kawasan Konservasi Dengan Peruntukan sebagai Taman Wisata Alam seluas 1. 657 Hektar.
[IMG_0953.JPG](
Taman Wisata Teluk Youtefa diapit oleh dua buah tanjung yang menjorok dari samping kiri yaitu Tanjung Pie dan Tanjung Saweri di samping kanan. Ia hanya dipisahkan oleh selat kecil yang lebarnya sekitar 300 meter yang disebut Selat Tobati dan sekaligus merupakan pintu masuk dan ke luar Teluk Youtefa dari arah laut (Teluk Yos Sudarso).
Taman Wisata Teluk Youtefa termasuk dataran rendah datar hingga bergelombang dengan kisaran ketinggian 0-73 meter di atas permukaan laut. Selain itu, terdapat hutan mangrove/bakau dan pada beberapa bagian lain terdapat daerah bergunung-gunung dan juga hutan sagu yang tegak di sela-sela gunung. Dua aliran kali yang bermuara pada Taman Wisata Alam Teluk Youtefa yaitu Kali Acai dan Kali Entrop dengan lebar sekitar 20 meter untuk sampai ke Taman tersebut. Kampung Enggros berada dalam Taman Wisata Teluk Youtefa ini. Jadi, dapat dikatakan Kampung Enggros berada dalam teluk di dalam teluk.
Untuk mencapai kampung Enggros, pengunjung lebih dahulu mesti menuju Taman Wisata Teluk Youtefa yang bisa dicapai dengan akses darat melalui berapa alternatif: Pertama, dari pusat kota Jayapura ke arah Selatan berjarak sekitar 4 km dengan menggunakan ruas jalan Jayapura Entrop dalam waktu tempuh 15 Menit. Kedua, dari pusat kota Jayapura dengan menggunakkan ruas jalan Jayapura-Abepura sekitar 13 km ke arah selatan dengan jarak tempuh 25 menit. Ketiga, Dari kota Abepura sekita 2 km ke arah timur yaitu ruas jalan Abepura ke Tanah Hitam ditempuh dalam waktu 10 menit. Setelah tiba di Taman Wisata Teluk Youtefa, pengunjung bisa berkunjung ke Kampung Enggros dengan menggunakan speedboat dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit dari Dermaga Hamadi dan 25-30 menit dari Dermaga Abe.
!)
Saat ini kampung Enggros adalah salah satu dari tiga Kampung dan delapan kelurahan yang termasuk dalam wilayah administratif Distrik Abepura kota Jayapura. Ia memiliki luas 33,37 ha, dengan batas-batas wilayah administratif yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Kampung Tobati; sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Abepantai, sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Waim Horock dan sebelah timur berbatasan dengan Kampung Holtekamp.
Kampung Enggros memiliki motto Kampung yaitu: Ruuwah Teei-heen Ticahi Nukni Hanased (satu jalan, satu hati kami bekerja demi kebesaran Kampung. Sementara visi kampung adalah “Terwujudnya Kampung Enggros yang modern, bersih, maju, sejahtera, aman dan tentram. Adapun misinya ada empat: pertama, melanjutkan pembangunan menuju Kampung Enggros yang modern; kedua, memperkuat pilar-pilar pembangunan Kampung Enggros (dari tiga tungku adat, agama dan pemerintah); ketiga, memperkuat hak-hak adat dan berdayakan masyarakat Kampung; keempat, mewujudkan penguatan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Kampung. Selain itu, ada delapan prinsip Kampung: tinggal di Kampung, hidup di Kampung, duduk di Kampung, bicara di Kampung, konsep di Kampung, usul di Kampung, kerja di Kampung, uang ada di Kampung.
Asal Usul Orang Enggros (Injros)
Sejarah tidak bisa diceritakan sembarang kalau sejarah salah diceritakan itu kita akan mati ini. Pesan orang tua cukup yang kita tahu saja yang bisa kita cerita.
Lea Itaar, tetua di Kampung Enggros
Narasi asal usul orang dan Kampung Enggros tidak monolitik. Namun, sebagian cerita yang turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, maupun yang sudah dituliskan dalam berita online dan studi terbatas, memiliki beberapa ragam versi. Meskipun demikian, ada beberapa poin kesepakatan.
Dalam hal ini, tidak semua informan riset ini berkenan menceritakan pengetahuan mereka tentang asal usul orang dan kampung Enggros, khususnya terkait informasi yang tidak jelas sumbernya. Misalnya, seorang tetua kampung, Lea Itaar, berumur 70 tahun lebih, sangat berhati-hati berbicara tentang sejarah Kampung Enggros, sebagaimana kutipan di atas. Seorang tetua lain yang diyakini paham tentang asal usul dan orang Injros lagi terbaring oleh karena sakit tua yang dialami, sehingga tidak bisa diwawancarai.
Kata Injros berasal dari dua suku kata, Inj berarti tempat atau kampong, sedangkan ros berarti dua. Karenanya, masyarakat suku bangsa Tabati Injros menyebutnya tempat atau kampung kedua. Menurut Marcel, “Sebenarnya adalah Injros. Namun, karena orang dari luar masuk penyebutan Injros itu agak sulit, maka mereka sebut dengan sebutan Enggros dan sampai sekarang tetap kita panggil Enggros. Tetapi, kalau kita anak-anak asli di Tobati-Enggros tahu itu Injros, Kampung ke-2, Tobati kampung I dan Injros itu kampung ke-2”. Jadi, demikian sejarahnya sehingga penyebutan Enggros lebih populer dibanding sebutan Injros.
Ada beberapa versi tentang terbentuknya kampung Enggros dan mitologinya. Sejak dahulu masyarakat Injros menganut berbagai mitos tentang orang Injros dan Teluk Youtefa. Mitos ini tak pelak memiliki nilai hakiki bagi warga setempat, oleh karena terkait sejarah leluhur nenek moyang mereka.
Teluk Youtefa dahulu merupakan hutan lebat. Tetapi, menurut tua-tua adat “Suku Anyi” telah memiliki pusaka berupa sebuah kolam. Ketika moyang Suku Anyi (Sanyi) sedang berburu di hutan dengan membawa hasil buruan pulang ke kampung mereka melihat dua perempuan asal Sentani sedang memegang tombak yang terbuat dari kayu sedang menancapkannya ke dalam kolam. Seketika itu ikan melompat keluar dan air meluap ke seluruh hutan itu yang berubah menjadi teluk, yang dikenal sebagai Teluk Youtefa. Kedua perempuan asal Sentani itu bernama Huchggu Miye (Yamonye) dan Harrow Miye (Lermonye) sedang dalam perjalanan ke Sepik Papua New Guinea telah menjadi Batu Karang di Pulau Remur Aitape. Bukti sejarah ini sampai sekarang dapat dilihat pada dayung yang dipakai di Remur Aitape berukiran Sentani.
Versi lain menyebutkan bahwa orang Enggros, dari sudut pandang antropologi budaya, diciptakan oleh anak matahari. Selanjutnya, anak laki-laki matahari tersebut bermukim di area Enggros dan telah mencipta satu teluk yang indah. Dalam perkembangannya, mereka yang berada di teluk ini mempunyai satu sempe (tempayang) yang besar sekali dan sempe itu berisi semua jenis ikan laut. Beberapa suku bangsa yang berada di sekitar daerah ini mendengar berita tersebut bahwa di teluk ini ada ikan di dalam sempe. Akibatnya, semua orang berduyun-duyun datang ke sini, tetapi yang mereka dapati hanya kuahnya.
Suatu waktu ada dua orang perempuan yang datang untuk mengambil ikan tersebut. Pada waktu mereka berdua datang, tuan pemilik sempe itu sedang ke kebun. Juga, telah memberitahu anak-anaknya agar jangan memberitahu rahasia ini. Tetapi, karena kedua perempuan itu sudah datang dan menemukan tempayan besar tersebut lalu mereka berdua memecahkan tempayannya, oleh karena mau mengambil ikan tersebut. Akhirnya, tempayan itu pecah dan air laut menghambur keluar dan membasahi daerah teluk ini. Tuan pemilik tempayang datang kembali dan melihat hal itu. Ini juga terkait cerita suku/fam dari bulan, ketika bulan itu sudah naik dan meninggalkan bumi dan terbentuklah daerah teluk ini.
Ada juga versi Tobati-Enggros yang menyebutkan bahwa anak laki-laki matahari turun dan dia melihat situasi kacau balau sedang melanda kampung. Selanjutnya, ia membentuk Iria (Iria itu suatu daerah yang indah). Tetapi, telah tejadi pertengkaran hebat di antara mereka. Lalu, dibentuklah satu kampung di sebelah Tabati. Tabati dari kata dasar Tab (matahari), Injros adalah kampung kedua. Selain itu, ada juga disebut perjalanan warga Enggros datang dari wilayah Papua New Guinea (PNG). Warga Enggros dipercaya datang kemari dipimpin oleh keluarga Meraudje yang merupakan panglima perang dalam suku Tobati. Tetapi, warga yang mempunyai beberapa alat penting ditaruh di Daerah Skouw. Bukti ini dapat ditemukan dengan terdapatnya persamaan budaya Kampung Enggros dengan budaya beberapa kampung di PNG.
Sementara itu, menurut penuturan orang tua-tua di kampung Injros bahwa kehidupan Kampung Injros kini adalah generasi ke VI. Bukti kepemimpinan tradisional kampung Injros pertama kali oleh “Yaise”, Kedua oleh “Yaci”, ketiga oleh “Turwar”.
Struktur dan sistem pelapisan sosial yang hanya dipahami dan diketahui orang Injros sendiri sebagai hukum adat dan tradisi mereka sendiri. Namun demikian, ada beberapa penelitian sejarah yang pernah meneliti dan menulis tentang Injros dahulu dalam tulisan mereka disebut bahwa orang Injros mengenal “dewa purba matahari” atau datang terang atau bagian wilayah adat di tanah Papua yang mendapat sinar matahari pagi”, dalam bahasa Injros disebut Tab.
Dewa Tab ini turun ke bumi (menurut versi lain anak laki-laki Yacci yang turun ke bumi dan menciptakan manusia pertama dari tanah liat lapisan ketiga yang berwarna merah darah dan memberi nama “Iria” (ria). Sedangkan istri dibuat dari tulang rusuk Iria. Menurut suku bangsa Tab’adi (Tabati) Injros “Tabni” mereka punya matahari, oleh karena Tab ini dapat melihat kita manusia ciptaannya
Cerita mitos ini mirip dengan cerita Alkitab tentang Penciptaan Manusia Pertama di Taman Eden. Kepercayaan kepada Tab sangat berpengaruh dalam kehidupan orang Tabati Injros dahulu, sehingga segala sesuatu yang terjadi seperti kemalangan, penyakit, gagal panen, atau untuk menghadapi musuh dalam perang selalu memintah restu dan kekuatan kepada Tab. Tab dipercaya dapat menolong mereka dari segala ancaman dan cobaan. Dewa Tab sebagai simbol perdamaian dalam kehidupan, sedangkan yang berlawanan dengan Tab adalah yang disebut hray (Kekuatan Jahat). Kekuatan ini dapat membinasakan atau membunuh penduduk dengan mempergunakan ureb atau setan atau roh halus.
Sejarah Kampung Enggros hingga menjadi Kampung Moderen
Kampung Enggros, awalnya, merupakan sebuah kampung adat dan tidak terlepas dari kampung Tobati. Menurut Moses, “Cerita dari orang tua-tua pada mulanya dulu tidak ada kampung di sini (baca: Enggros). Dari Tobati ke sini yaitu suku Hanasbey, Bapak diberikan amanat oleh Ondoafi sebagai kepala suku”.
Senada dengan itu, Yansen menuturkan, “Kampung ini terdiri dari beberapa suku dan dari berbagai latar kehidupan yang berkumpul di kampung ini, kampung Enggros. Dulu kampung ini jembatan hanya satu saja dari laut sampai ke darat. Kampung ditata dengan sedemikian rupa. Jadi tiap suku dengan daerah masing-masing. Tidak bisa kita lewat sembarang ke sana. Itu tidak bisa. Tetapi, sekarang masyarakat sudah tambah banyak dan terapung di sini dan padat sehingga cari tempat yang lain. Di sini sudah diatur sedemikian rupa sehingga setiap marga yang memiliki tempat harus tetap ditempatnya, tidak bisa pindah ketempat yang lain”.
Menurut Origenes Meraudje, Kepala Kampung Enggros, kampung adat Enggros memiliki satu atap. Namun, kamarnya dibagi berdasarkan kewenangan yang diberikan. Dengan kalimat lain, Kampung Enggros diberikan kewenangan paling besar dalam status adat. Misalnya, kalau ada angkatan laut pasti ada marinir, kalau ada polisi, ada Brimob, kalau ada angkatan darat, pasti ada Kopasus. Pendek kata, Enggros adalah pasukan khusus pada angkatan perang tersebut. Jadi, berdasarkan perintah Ondoafi warganya pergi berperang dengan kampung lain. Pada saat kampung belum terbentuk, suku Meraudje melakukan perjalanan dari timur PNG dengan semangat berperang sehingga ketika itu bersama suku-suku yang ada berkumpul dan saling mengenal satu sama lain untuk selanjutnya membentuk kampung Enggros.
Lebih jauh menurut Meraudje, karena kedudukannya yang spesial tersebut, maka warga Enggros tidak diperintah siapapun. Kalau Ondoafi di Tobati yang mengeluarkan perintah maka warga Enggros akan siap melaksanakan. Singkatnya, Enggros secara khusus menangani bidang keamanan. Perang perencanaannya dilakukan oleh Ondoafi di Tobati, tetapi pasukan inti dalam perang dilakukan oleh orang Enggros.
Senada dengan itu, Lea Itaar menyebutkan, “Di Tobati itu ada Ondoafi Besar sedangkan Enggros seperti cabang-cabang saja. Jadi, kalau dansa atau apa nanti Enggros yang melakukan dansa, angkat ikan pergi ke sana, dansa bisa tiga hari sampai satu minggu”. Menurut Itaar lebih jauh, “Injros (tempat kedua), dulu kampung ini belum ada, semuanya di Tobati, di kampung besar. Suku Sanyi itu orang ikan. Jadi kalau memanggil ikan itu langsung ikan naik. Nanti ikannya dekat baru mereka tangkap. Mereka bicara-bicara ikan mulai masuk. Orang tua-tua dulu tidak makan dan minum, mereka hanya minum air kelapa saja nanti baru tete mulai panggil ikan dengan nama-namanya masing-masing dan semuanya datang. Kalau suku Itaar itu berarti perjalanan jauh datang bawa anjing 1 dan Tifa 1, anjing tersebut bernama Awei”.
Hal yang sama dinyatakan oleh informan lain, Marcel. Menurutnya, “Awalnya Tobati, dan setelah Tobati dilahirkanlah Kampung Injros. Injros dengan bahasa Tobati itu adalah dua karena populasi kepadatan penduduk yang terjadi di kampung utampaknya, maka dipisahkan sebagian warga membentuk Kampung baru yang namanya Injros”.
Kondisi menyatunya Tobati-Enggros tersebut terus berlangsung hingga tanggal 16 Agustus 1990 telah dibentuk satu pemerintahan Enggros yang mandiri. Kedua kota tersebut kini terpisah secara administratif. Pada waktu itu, RW O7 kelurahan Asano Distrik Abepura tanggal 16 Agustus 1990 telah terbentuk satu pemerintahan kampung/desa Enggros, dan berkembang hingga hari ini. Dengan kata lain, perkembangan di mana desa berubah menjadi kampung di era otonomi baru sehingga Kampung Enggros sudah mengalami beberapa pergantian kepala kampung dan saat ini sudah ada kepala kampung yang ke-6.
Saat ini kepala kampung Enggros adalah Origenes Meraudje, yang akrab disapa pak Ori (untuk selanjutnya akan disebut Ori). Ia telah terpilih sejak 28 November 2015, yang telah menjabat sampai sekarang sekitar dua tahun. Ori memiliki 1 istri dan 3 anak, di mana 1 anaknya telah meninggal. Ia memiliki 7 saudara laki-laki dan 3 perempuan. Dalam capaian pendidikan, Ori telah menempuh pendidikan SD, SMP, SMA, dan sempat mengenyam bangku perkuliahan (tidak selesai) di Stisipol Silas Papare, jurusan sosiologi. Beliau pernah bergabung di KNPI kota Jayapura. Background tersebut sedikit banyak telah membekalinya pengalaman berorganisasi yang berguna mengurus Kampung Enggros.
Menurut Ori, tidak mudah menjadi figur utama di kampung itu susah, oleh karena menangani satu regulasi Undang-Undang (UU) pemerintahan yang rumit, di mana UU tersebut perlu ditaati setiap warga kampung. Selain itu, Undang-Undang tersebut perlu dijelaskan supaya masyarakat di bawah mengerti. Menurut Ori, “Saya lahir di kampung ini, dibesarkan disini, hidup disini, mati disini, rasa memiliki kampung sebagai tempat tumpah darah jadi kami harus urus kampung ini”.
Hadirnya UU yang mengatur Kampung Enggros tetap mengakomodir kelembagaan adat, di mana sistem kepemimpinan keondoafian tetap diakui. Di Kampung Enggros, pengunjung akan melihat para-para adat dan tiang komando di tengah sebagai tempat musyawarah adat. Terhadap situasi ini Ori menuturkan, “Kami sedang mencari 1 model kepemimpinan berbasis kampung, 3 tungku yaitu adat, gereja dan pemerintah. Kalau pemerintah punya uang, adat punya tanah dan gereja urus keselamatan. Kami padukan model kepemimpinan jadi 3 lembaga yang mengurus kampung ini bukan 1 sehingga kami buat program-program yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Jadi kalau uang datang kami bagi”.
Untuk merealisasikan hal tersebut, Musyawarah Kampung dibentuk yang terdiri dari unsur masyarakat, pemerintah dan masyarakat adat. Dalam musyawah tersebut dibahas beberapa isu, di antaranya penataan Kampung, perencanaan Kampung dan peraturan dan keuangan.
Hingga saat ini, Kampung Enggros sudah berkembang yang ditandai dengan adanya sarana Jalan Jeramba dan sarana penerangan listrik PLN (mendapat aliran listrik langsung dari kota), yang mulai menyala di Kampung Enggros pada 25 Desember 2013, pada masa kepemimpinan Walikota Jayapura, Benhur Tommi Mano (BTM). Sebagai tambahan, untuk tahun 2015 sudah terdapat 88 unit rumah yang layak huni. Juga, kampung mendapatkan dana pengembangan kampung rutin dari pemerintah. Misalnya, untuk perkembangan pembangunan Kampung Enggros dana Prospek tahun 2015 Rp. 114.920.000.- Sedangkan untuk bidang ekonomi terdapat dana untuk kampung Enggros sebesar Rp. 80.444.000.-
Meskipun Enggros sudah merupakan kampung modern, tetapi masih tetap berbasis kearifan lokal. Menurut Ori, “Salah satunya ikan yang menjadi lambang dari kampung ini. Kalau Negara kita Garuda, Enggros ikan. Dengan motto kami “satu jalan satu hati kami bekerja demi kebesaran kampung “. Kemarin kepala kampung Enggros ke Jakarta nama kampung yang saya bawa, satu anak Enggros bermain di Sriwijaya FC pasti akan ditanya dari mana dan nama Enggros akan dibawa juga. Setiap anak Enggros dalam kepemimpinan saya, Enggros harus ditinggikan namanya. Kalau satu anak Enggros bunuh orang pasti nama Enggros kotor. Kalau ada 10 orang yang lulus dari Uncen dan ditanya dari mana, dari Enggros pasti nama kampung naik nama kampung paling penting sehingga kami punya motto nama kampung harus ditinggikan. Bapak Evert salah satu kepala dinas dari kampung ini secara otomatis Enggros naik namanya. Kalau Kota punya untuk satu hati untuk kemuliaan nama Tuhan, kalau Enggros punya satu jalan kalau kita satu hati belum bisa, tapi kalau satu jalan satu hati kami bekerja demi kebesaran nama kampung”.
Penduduk, suku dan bentuk rumah
Dewasa ini, jumlah penduduk Enggros 571 jiwa dan 135 KK, di mana sebagian besarnya masih warga asli Enggros. Terdapat beberapa perkawinan dengan orang luar, namun jumlahnya sangat minim.
Penduduk asli masyarakat Tabati Injros termasuk turunan suku bangsa Melanesia dan digolongkan orang-orang Negroid (berkulit hitam dan berrambut keriting) yang mendiami Teluk Youtefa. Walaupun keduanya dipisahkan dalam dua Wilayah distrik dan dua jemaat GKI, namun unsur-unsur budayanya (cultural universal) yang melekat tidaklah berbeda. Kebudayaan masyarakat Injros bertindih tepat dengan kebudayaan masyarakat Tabati. Bagaikan satu koin mata uang yang berbeda kedua sisinya, namun tidak dapat dipisahkan. Perbedaan secara prinsip ada dalam sastra sosial, yang senantiasa tersimpan dengan baik dalam mitos masing-masing Clan.
Dalam perkembangan suku bangsa Tabati Injros, pesanan amanat moyang dan leluhur untuk mempertahankan adat istiadatnya. Tiang utama terbentuknya kampung Injros adalah tiang-tiang asli suku yang membentuk sebuah kampung. Suku atau keret yang membentuk kampung yakni, Suku Anyi (Sanyi), Suku Runyi (Drunyi), Suku Anasbei (Hanasbei), Suku Meraujwe (Meraudje), Suku Semra, Suku Chaai (Haai) dan Suku Hababuk.
Dengan kalimat lain, terdapat beberapa suku sebagaimana di sebut di atas, di mana setiap suku memiliki aturan masing-masing ada Ondoafi, ada kepala suku, mata rumah. Ada 8 suku sebagaimana disebut di atas, tetapi suku yang besar ada 3 yaitu suku Sanyi, Drunyi dan Meraudje dan ada suku-suku lain yang bergabung di situ. Menurut Moses, “Di sini rata-rata dalam 1 suku ada 30-50 orang. Suku yang besar adalah Meraudje”. Sejauh ini antar suku tidak ada konflik yang mendalam, hanya konflik kecil yang bisa diperbaiki, tidak mendatangkan rusaknya tatanan hidup.
Masyarakat Injros Tabati berdiam di kampung-kampung yang disebut Nukh. Nukh dibangun di atas air dengan rumah bertiang. Jarak antara Nuck Tobati dan Enggros kurang lebih 1 km. Perkampungan berbentuk linear, berjejer memanjang dan saling berhadapan. Penataan Kampung Enggros menghadap pintu masuk perairan Teluk Youtefa. Dengan kalimat lain, Nukh teletak pada beting buta dan Kol krif, yang berderet memanjang. Rumah-rumah bertiang berdiri di atas laut. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan yang menyatakan mereka juga berasal dari laut. Selain alasan untuk melindung diri dari gangguan setan, menjaga kesehatan dari serangan nyamuk malaria, juga memudahkan untuk membersihkan rumah dari sampah yang dapat langsung di buang dan terbawa oleh arus pasang-surutnya air laut.
Perkampungan berbentuk memanjang yakni rumah-rumah dibangun sejajar dengan formasi dua deret, ini merupakan titik kosentrasi pandangan antara anggota keluarga yang sedang bersantai. Pada bagian dari jembatan ini (depan rumah Charsori), dibuat panggung (para-para ; “Tect”) yang lebih luas dan besar. Para-para ini merupakan tempat musyawarah adat, pertemuan khusus untuk menyelenggarakan tari-tarian adat. Dulunya merupakan satu paket dengan rumah-rumah Mauw.
Menurut Yansen Hanasbey, Kampung ini terdiri dari beberapa suku dalam kampung ini dan dari berbagai latar kehidupan yang berkumpul di kampung. Dulu kampung ini memiliki satu jembatan saja dari laut sampai ke darat. Kampung ditata sedemikian rupa sehingga setiap suku memiliki daerah masing-masing, di mana tidak bisa orang lewat sembarang kesana itu tidak bisa. Tetapi, sekarang masyarakat sudah bertambah banyak dan tertampung di sini dan padat sehingga cari tempat yang lain. Singkatnya, di sini sudah diatur sedemikian rupa sehingga setiap marga yang memiliki tempat harus tetap ditempatnya tidak bisa pindah ketempat yang lain.
Jembatan dibuat secara memanjang agar menjadi alat penghubung antar rumah sehingga tidak perlu menggunakan perahu lagi. Namun, masih ada perkampungan yang harus dilalui dengan menggunakan perahu; misalnya yang terletak di pulau Metu-Debi dan Tonhoni (dari Kampung Injros), dan juga pulau Simpang yang berada di Kampung Tabati.
Rumah-rumah umumnya berbentuk persegi panjang, dulunya bentuk tap mengikuti pola rumah Mauw yakni kerucut (meruncing) yang dibuat dari daun sagu . Namun, sekarang yang banyak dipakai adalah seng. Rumah berbentuk persegi panjang dengan ukuran rata-rata 8x6 meter, yang dibangun di atas setinggi permukaan air (sekitar 2m dari dasar laut). Lantai rumah dibuat dari papan. Rangka rumah terbuat dari kayu dengan dinding gaba-gaba atau papan. Tiap-tiap rumah ada yang berbentuk los (tanpa kamar), tetapi ada yang terdiri dari kamar-kamar besar dan kecil. Ruang tamu menghadap ke jalan dan dapur biasanya berada ditengah-tengah atau pun dibelakang rumah. Sedangkan di bawah kolong rumah, warga memanfaatkan untuk keramba ikan yang dibudidayakan.
Rumah Charsori terlihat lebih besar dan luas dari rumah-rumah yang lain dan sedikit terbuka, oleh karena merupakan “titik simpul kekuasaan politik dan titik kumpul motif-motif hiasan suku yang mengandung khasiat magis positif”. Pada bumbungan dan dinding depan rumah diberikan hiasan, ukiran-ukiran atau patung. Biasanya berbentuk ikan, binatang dan lain-lain; yang melambangkan hak dan kekuasaan Charsori. Misalnya Suku Sanyi dari Kampung Injros di atas bumbungan rumahnya terdapat ukiran ikan gergaji, mempunyai makna orang yang menguasai laut dan memanggil ikan untuk masuk ke kampung (disebut Ij-Sori ; Ij = ikan dan Sori = orang besar). Pada sebelah menyebelah rumah Charsori terdapat rumah-rumah kepala Suku (Tninc-Nas), panglima perang, rowes (pesuruh; ajudan Charsori atau “sekutu-sekutu kerja” dalam setiap suku), dan kemudian masyarakat biasa. Adapun maksud dan tujuannya adalah untuk melindungi Charsori dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi, seperti penyerangan tiba-tiba dari pihak musuh pada jaman dulu dan menjaga ketenangan.
Menurut Lea Itaar, “Kampung ini dulu biasa. Dulu ada rumah-rumah yang lama, kalau rumah lama dulu menggunakan gabah dan tidak terlalu besar hanya kamar-kamar. Itu rumah-rumah dulu, sekarang baru rumah besar-besar dan lengkap”.
Senada dengan itu, berdasarkan observasi penulis, rumah-rumah orang Enggros di atas laut itu tampaknya tidak berbeda dengan rumah yang berdiri di atas daratan. Beberapa rumah di Pulau Metu-Debi yang merupakan pulau kecil memiliki beberapa rumah dan satu gereja. Sebagian besar rumah tidak lagi berbentuk rumah adat. Namun, telah mengambil bentuk sebagai rumah biasa, yang memiliki kamar tidur, kamar tamu, dan dapur. Selain itu, rumah-rumah tersebut memiliki warna yang bermacam-macam, terutama yang berwarna cerah, seperti kuning, merah dan biru, dengan bahan utama yang didominasi oleh kayu, papan dan seng.
Di sebagian rumah terlihat pot-pot bunga menghiasi rumah baik yang diletakkan pada bagian depan atau di belakang rumah. Bahkan, sebagian rumah memiliki sampan kecil, yang berfungsi sebagai alat transportasi. Sebagian rumah juga memiliki speedboat sendiri. Sebagai tambahan, beberapa rumah juga memelihara hewan ternak babi di rumahnya. Beberapa rumah juga memelihara anjing dan kucing.
Agama dan Kepercayaan Orang Enggros
Sebelum kehadiran Agama Kristen Protestan pada 10 Maret 1910 di Pulau Metu-Debi, di sekitar wilayah Enggros, Kota Jayapura, warga Enggros tampaknya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, khususnya kepercayaan kepada Tab, yaitu “dewa purba matahari” atau datang terang atau bagian wilayah adat di tanah Papua yang mendapat sinar matahari pagi”, sebagaimana disebut di atas. Selain itu, mereka juga percaya kepada adat. Singkatnya, kepercayaan terhadap dewa atau roh, dan juga mematuhi adat, tampaknya dianut pula di kebanyakan wilayah lain di Papua sebelum tersentuh terang agama Kristen.
Dewasa ini, penduduk Enggros sebagian besarnya menganut agama Kristen Protestan. Menurut Moses Hanasbey, yang pernah bekerja di Gereja GKI Enggros sebagai anggota majelis, dari majelis diangkat jadi penatua, pelayan mimbar dan jabatan dikampung sebagai kepala kampung pada tahun 1969-1987, bahwa “Dari sisi agama semua masyarakat menganut agama Kristen Protestan, tidak ada agama lain”. Terdapat dua gereja yang selalu ramai pada hari Minggu saat ada kebaktian, yaitu Gereja GKI Abara Enggros dan Gereja GPdi Betlhem Enggros. Berdasarkan observasi penulis, pada setiap minggu sebagian warga Enggros yang bermukim di daerah Jayapura secara rutin mengunjungi Enggros untuk beribadah.
Menurut Sem, Gereja GKI Abara yang berdiri di atas laut ini sangat menarik untuk wisata. “Sejarah berdirinya Gereja ini sejak tahun terjadi perang dunia kedua. Memang, dulu sudah ada rumah dari atap daun rumbia, ibadah di situ lalu terjadi perang dunia II. Amerika sekutu membom semua tempat, mengejar Jepang orang-orang tua lari ke Nafri, dll untuk bersembunyi”. Kalau sekarang ini memang gereja yang ada sudah sangat berbeda dengan gereja awal. Bahkan, kalau pengunjung berangkat dari dermaga Abe, Gereja ini sudah terlihat dari jauh ketika akan merapat di dermaga Enggros.
Menurut Sem lebih jauh, “Warisan bangunan Gereja pertama itu sudah tidak ada hanya ada warisan cerita-cerita lisan orang-orang tua lalu setelah perang reda Amerika membangun POM dan orang-orang tua juga ikut kerja di sana dan setelah mereka mau tarik ada semen dan sengnya. Ada beberapa orang tua yang memberanikan diri untuk lapor kepada komandan untuk membangun Gereja lalu Amerika bantu, jadi belum ada Gereja dengan semen di teluk. Mereka bangun dengan cepat dan menggunakan seng yang ukurannya 3M mereka bangun dengan amphibi. Kalau Gereja yang lama banyak yang foto. Gereja ini dibongkar tahun 90-an lalu peresmiannya tepat pada 1 abad tahun 2010 bulan Maret tanggal 9. Ada keluarga kami yang bernama Ba Alberth membuat konstruksi jaring laba-laba”.
Setiap Minggu pagi gereja ini dan sebuah gereja lainnya di pulau Metu-Debi tampak ramai dengan kebaktian yang diikuti oleh jemaatnya.
Mata Pencaharian dan Tingkat Pendapatan
Kampung Injros yang terletak di dalam Teluk Yotefa sejak turun temurun melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari menangkap ikan, kepiting dan mencari bia (kerang) dengan cara tradisional guna mencukupi kehidupan rumah tangga masing-masing. Selain itu, kalau ada acara maka hasil tangkapan itu diserahkan ke rumah yang sedang menggelar hajat.
Masyarakat adat suku bangsa Tabati Injros adalah nelayan, oleh karena mata pencaharian mereka lebih banyak di laut. Pekerjaan menangkap ikan hanya dilakukan kaum lelaki saja, sementara kaum perempuan mengumpulkan kerang-kerangan (bia). Namun, pada saat ini terlihat bahwa kaum perempuan Tabati Injros juga mencari ikan dan cumi-cumi meski hanya di lingkungan kampung saja dan penangkapan ikan dilakukan di dalam maupun di luar teluk. Masyarakat tabati Injros memiliki hukum adat laut yang disebut dengan “batas khayalan” (denkbeeldigegrenzen).
Nelayan kampung Injros tidak dapat menangkap ikan di daerah laut Tabati, demikian pula sebaliknya. Adapun batas-batas laut dibagi sesuai daerah perikanan menurut penyelidikan Galis adalah sebagai berikut: “Di dalam Teluk Yotefa bagian tenggara dikuasai oleh Kampung Injros dan bagian barat laut dikuasai Kampung Tabati. Batas itu melintang dari gunung Mher ke Pulo Metu-Debi dan terus ke dataran Nukh-Mokh. Sedangkan dil uar teluk bagian utara ambang pintu teluk (Tanjung Marine) sampai pulo Hamadi, yang air laut tiga meter dikuasai Tabati. Daerah tenggara (Tanjung Kasuari) sampai daerah Holte Kamp, yang air lautnya sampai tiga meter dikuasai oleh Kampung Injros. Walaupun orang-orang Tabati boleh mencari ikan ditempat itu pada bulan-bulan tertentu”.
Nelayan Kampung Injros Tabati mengenal dua musim menangkap ikan, kedua musim ini terdiri dari enam bulan pertama musim barat (bulan September-Februari) dan enam bulan berikutnya musim timur (bulan Maret-Agustus).
Selain itu mata pencaharian meramu sagu masih dilakukan oleh masyarakat kampung Injros Tabati, oleh karena pekerjaan meramu sagu merupakan mata pencaharian yang paling tua (lama) yang dikenal dalam sejarah peradaban suku bangsa Tabati Injros di Port Numbay tanah Tabi khususnya dan Tanah Papua pada umumnya. Pada saat ini dusun sagu Kampung Tabati Injros yang berada di dusun Hamadi, Entrop, lembah Kota Raja dan kawasan Waimochoruck telah berubah menjadi dusun beton, aspal dan kawasan pemukiman. Kampung Injros masih memiliki dusun sagu di kali Warnan Holte Kamp. Hasil dari meramu sagu dikonsumsikan sendiri lainnya dijual untuk keperluan keluarga. Pekerjaan meramu atau menokok sagu secara bersama-sama terjadi apabila ada ritus, misalnya perkawinan dan kematian.
Bercocok tanam yang sangat sederhana masih dipertahankan, di mana suatu kebun dibuka oleh kaum lelaki dengan menebang pohon, memotong belukar-belukar lalu membiarkannya beberapa hari sampai kering baru kemudian dibakar. Setelah semua dibersihkan lalu ditanam, pekerjaan tanam-menanam biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan tetapi ada juga sebagian lelaki yang membantu. Tanaman yang ditanam berupa ubi-ubian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran dan hasilnya dikonsumsi sendiri.
Sebagian hasil melaut dan bercocok tanam dijual ke pasar Youtefa. Tingkat penghasilan melaut tampaknya tidak terlalu menjanjikan. Menurut Moses, “Masyarakat di sini pekerjaannya nelayan, tingkat ekonominya biasa saja. Hari ini dicari untuk hari ini dan besok akan cari lagi, dengan pendapatan rata-rata 20 Rupiah tapi tidak menentu”.
Di dalam kampung juga ada beberapa keluarga yang menjual 9 kebutuhan pokok yang dibutuhkan warga Kampung Enggros. Sebagian besar pasokan makanan dibeli dari pasar Youtefa.
Pendidikan dan Kesehatan
Dewasa ini, tingkat pendidikan generasi muda Enggros terbilang lebih baik dibandingkan generasi tua sebelumnya. Sebagian mereka sudah menyelesaikan bangku pendidikan tinggi dan sebagiannya telah bekerja dan menjalani karir yang cukup menjanjikan di pemerintahan kota Jayapura dan juga wilayah lain.
Namun, fasilitas pendidikan yang tersedia di Kampung hanya PAUD “ABARA BARU”. Menurut Moses, “Di sini tidak ada sekolah dari SD, SMP, SMA. Semua ke kota. Hanya ada TK saja. Jadi setiap hari anak-anak pulang-pergi menggunakan speedboat. Ada juga yang putus sekolah. Tapi, kalau ada pemberdayaan dari kepala kampung untuk usahakan mereka kembali sekolah”.
Memang, saat ini di kampung tidak ada sekolah dasar (SD) dan sekolah tingkat lanjut lainnya. Pernah ada keinginan untuk membuat SD di tempat ini, namun terkendala dengan jumlah siswa yang tidak merata. Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak menyurutkan semangat anak Enggros untuk bersekolah. Setiap pagi, anak sekolah SD dst di Kampung Enggros. Sejak jam 6 pagi anak sekolah sudah bergegas dengan speedboat untuk bersekolah di kota Jayapura. Sementara untuk yang berkuliah di Perguruan Tinggi ada yang menempuhnya di kota Jayapura atau bahkan ke Jawa. Sebagian anak sekolah yang saya wawancarai mengatakan tidak ada masalah meski harus menggunakan transportasi perahu setiap harinya.
Menurut Ori, “Pemerintah kampung Enggros menyediakan perahu/speedboat untuk antar jemput anak sekolah yang mana biaya transportasi tersebut dibiayai dan dikelola dari APB kampung Enggros sendiri sebagai langkah nyata Pemerintah Kampung memajukan generasi muda Enggros serta bekal bagi mereka untuk membangun Enggros ke arah yang lebih baik lagi”.
Berdasarkan data tahun 2015, terdapat 25 siswa PAUD yang terdiri dari 11 laki-laki dan 14 perempuan. Sementara Jumlah siswa SD berjumlah 67 orang; SMP, 29 orang; SMA, 14 orang dan SMK, 5 orang.
Dari segi kesehatan, Kampung Enggros bertumpu pada Puskesmas Pembantu (pustu terpadu) dengan sistem rapat inap. Selain itu, terdapat mobil pelayanan kesehatan dari puskesmas Abe Pantai. Masalah yang timbul adalah jarak tempuh dengan perahu ke puskesmas Abe pantai dan juga ke RSUD Abepura. Selain itu, terdapat 1 orang bidan PTT, 5 orang kader Posyandu dan 4 orang dukun terlatih.
Pemerintah kampung juga mengupayakan pemenuhan gizi keluarga melalui penanaman sayur mayur di pekarangan rumah (Pot-nya menggunakan limbah/sampah/barang bekas), dan juga pemeliharaan ikan dalam jeramba/jarring. Selain itu, ada pembagian vitamin A untuk warga kampung. Sebagai tambahan, saat ini rumah yang memiliki MCK sebanyak 83 rumah, dan juga terdapat 5 unit MCK umum serta instalasi pipa air bersih terbangun di RT 04,03 dan 01 dengan pasokan air PDAM yang mengalir setiap hari Selasa dan Kamis.
Bahasa
Dalam kehidupan sehari-hari, warga Injros Tabati menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasi setiap hari, yaitu bahasa ibu (Tabati Injros) di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Ibu digunakan untuk komunikasi intenal di dalam suku, sedangkan bahasa nasional digunakan untuk komunikasi eksteren suku. Jumlah penuturan bahasa Injros Tabati diduga mulai berkurang, oleh karena kebanyakan generasi mudanya sudah tidak berbahasa ibu secara aktif lagi.
Bahasa Injros Tabati diklasifikasikan dalam rumpun bahasa Austronesia, dan rupa-rupanya ada terdapat pengaruh bahasa-bahasa Melanesia. Kemudian di kelompokkan oleh SIL pada tahun 1986 ke dalam bahasa-bahasa di Irian (Tanah Papua). Dalam percakapan sehari-hari terdapat variasi ucapan tekanan dan intonasi dalam berbahasa antara orang Injros dan Tabati, yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri. Selain itu, kerap bahasa Fijin English digunakan di kalangan masyarakat Injros Tabati tertentu yang sering berkunjung secara tradisional ke sanak saudaranya yang ada di Papua New Guinea (PNG).
Penulis adalah alumni Alpha-i. Tulisan ini berdasarkan riset yang didanai alpha-i.