Ulasan Buku: The Killer Across The Table | Refleksi dari Para Pembunuh

in pembunuh-berantai •  5 years ago 

main-qimg-3b27517590106166922ff76bf8441946.jpg

Saya sangat menggemari serial Mindhunter sampai-sampai mengoleksi buku-buku yang menjadi inspirasinya (berkaitan), salah satunya buku ini. Temanya yaitu quote dari John Douglas — penulisnya sendiri,

To understand the "artist," you must study his "art."

Untuk memahami si seniman, kamu harus mempelajari karyanya.

Karya seni yang dimaksud di sini adalah eksekusi brutal para pembunuh (berantai/massal) ke korban-korbannya, karena terpicu oleh hal-hal yang dianggap sepele di permukaan dan ternyata masih punya plot twist yang aneh di baliknya (berhubungan dengan trauma dan pola pikir). Contohnya seperti tidak diundang/diajak teman jalan-jalan, terintimidasi dan submissive terhadap sosok ibu yang suka mendominasi, atau tidak punya keberanian untuk bunuh diri sehingga melampiaskannya ke orang lain. Deskripsi pembunuhannya pun digambarkan secara eksplisit sehingga berhasil membuat perasaan saya tidak keruan.

Saya tidak merekomendasikan buku ini buat mereka yang labil — apalagi berpengalaman dirundung, punya tendensi bunuh diri, dan sering berfantasi membunuh seseorang secara sadis, karena nantinya bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan tindak kriminal dengan nalar "mereka aja berani, mengapa aku nggak?"; apalagi penyampaian para kriminal yang manipulatif dalam pembelaannya, bisa saja membuat orang lain (pembaca) bersimpati.

Buku ini adalah pengalaman John Douglas (semasa tugas; agen FBI) saat mewawancarai — tepatnya ngobrol, dengan pembunuh (berantai) atau massal yang telah menjadi tahanan, guna mempertimbangkan apakah mereka berhak dibebaskan secara bersyarat jika masa tahanan habis; serta memprofilkan motif dan cara berpikir mereka — agar nantinya memudahkan penegak hukum untuk mengantisipasi, mengidentifikasi dan menyudutkan pihak tertuduh yang jago memanipulasi melalui perilaku dan pola pikirnya pada kasus serupa.

Jujur, sebagai manusia biasa yang pernah dirundung — saya sempat mengagumi para pembunuh berantai dalam mendominasi korbannya, sehingga terlihat superior layaknya Tuhan yang mampu membolak-balikkan hati dan punya kuasa dalam mengeksekusi makhluk yang bernyawa dengan "jentikkan jari". Namun sejak mengikuti serial Mindhunter dan membaca buku ini, saya baru sadar — walau saya masih punya sikap yang sedikit antisosial ke sesama, saya ternyata masih punya hati nurani, masih menjunjung perikemanusiaan, dan masih punya kendali penuh atas amarah dibandingkan mereka yang susah move-on kepada orang-orang yang berlaku jahat padanya — contohnya mereka (pria) yang sakit hati dengan wanita dalam hidupnya (Ibu/kekasih) namun karena tidak berani berbuat macam-macam, ia nekat melampiaskannya ke wanita lain yang tidak tahu apa-apa dengan cara memerkosa dan membunuh dengan sadis sebagai alternatif.

Paruh awal buku ini berfokus pada seorang predator yang tega membunuh gadis kecil berumur tujuh tahun yang tadinya menjual/menawarkan kue di depan rumah pelaku.

[Suddenly she raced back inside and said to Rosemarie, “I saw the new car. I’m going to take the cookies over there.” She grabbed her Girl Scout carrying case lying in the foyer with the two boxes of cookies inside.
“Bye, Mommy. I’ll be right back,” she called out as she bounded out the front door. It hadn’t even closed since she’d come running inside.]

Reka adegan yang dinarasikan Douglas pada saat ia mewawancarai predator tersebut sangat-sangat sensitif dan sayangnya tidak bisa saya bagikan di sini. Douglas juga secara paralel mengaitkan reka adegan atau cara berpikir predator tersebut dengan pembunuh berantai atau tahanan antisosial lainnya yang memiliki kesamaan latar belakang, motif, dan cara berpikir — yang juga sempat ia wawancarai. Seperti Ed Kemper, David Berkowitz, Richard Speck, dll.

Hal yang paling membuat saya tersentuh adalah ketika Douglas menceritakan bagaimana respon orang tua korban ketika tahu anaknya meninggal dalam keadaan mengenaskan. Bagaimana paniknya mereka ketika tadinya si anak yang riang gembira dengan penuh kehangatan dan senyuman, kemudian menghilang tanpa jejak begitu saja; dan bagaimana semangatnya seorang ibu korban yang berapi-api mengkampanyekan kesadaran akan bahayanya Predator anak di bawah umur jika dibebaskan lagi ke tengah-tengah masyarakat.

Membaca bagaimana perjuangan para keluarga dan kerabat untuk menerima kenyataan, ikhlas dan melanjutkan hari-hari seperti biasa — membuat perasaan saya campur aduk. Antara iba, marah, dan merasakan harapan.

[From the living room where she sat with us, Rosemarie can see down to the end of Florence Street and the house where her daughter was murdered.]


[She showed us Joan’s room and unwrapped her carefully preserved Brownie uniform. Her tiny ballet slippers are preserved in the hallway just outside the kitchen. There was no way for us not to get misty-eyed. It was almost like being in the presence of sacred relics.]

Buku ini sangat menyadarkan saya tentang pentingnya punya kendali atas diri sendiri dalam menyikapi tekanan-tekanan yang memancing amarah, tendensi bunuh diri, menyakiti orang lain dan mengurungkan cita-cita bodoh yang sangat kekanak-kanakan menjadi psikopat.

Kalau kamu cukup dewasa dan penuh kesadaran untuk menyaring informasi setiap bacaan, buku ini bisa menjadi pengingat bahwa kamu adalah manusia yang masih punya hati nurani.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!