Ibarat pertarungan mencerdaskan peserta didik yang awam, guru sudah menang angka, sialnya tidak mampu menjatuh-KO-kan, akhirnya meminta bimbingan belajar untuk nuntasin. Pengen kuliah, hubungi bimbel. Pengen masuk sekolah tinggi kedinasan, hubungi bimbel. Atau pengen anak lebih pintar, nambah kecakapan melalui bimbel.
Bimbingan belajar punya tricky yang mungkin bagi sebagian guru "pemilik" kurikulum di sekolah membencinya. Hingga ada istilah, jangan mengajar ala bimbel karena akan merusak konsep. Lalu seberapa penting konsep itu jika algoritmanya, sistematika, mungkin membuat pengetahuan lebih tahan lama karena tidak instan, namun tidak mampu membuat KO, terlalu lemah untuk sebuah tes menuju pendidikan lebih tinggi.
Dalam beberapa kali kesempatan saya mengikuti pelatihan baik sebagai peserta maupun sebagai pengisi kegiatan, guru yang terlibat di bimbel lebih baik nilai pre test maupun post test-nya. Bimbingan belajar juga terus berbenah memperbaiki kualitas tim pengajarnya, mereka diuji dan diupgrade secara reguler serta mampu mengevaluasi diri sendiri. Berbeda dengan guru yang tidak terlibat bimbel, sebagian tidak semua, relatif merasa aman, cukup dengan apa yang dimiliki dan sangat takut jika harus mengikuti uji kompetensi. Ada saja dalihnya.
Para pengajar bimbingan belajar juga dibekali kecakapan untuk membuat soal yang berbeda namun merujuk pada kebutuhan kurikulum dan berorientasi pada kecakapan siswa. Lagi-lagi menjadi miris jika dibandingkan dengan guru yang merasa aman di atas, jangankan diminta membuat soal berkarakter di atas, menjawab soal yang sudah tersedia saja terkadang sulit sendiri. Belum lagi jika menyusun evaluasi pembelajaran, duluan lahir soal baru kemudian kisi-kisi soal. Mungkin lebih jago sehingga bisa terbalik, entahlah, atau mungkin soal yang bisa di-copy paste lalu tinggal dicocokologi dengan kisi-kisi soal.
Fakta di atas jelaslah, bimbel memiliki kemampuan smackdown, sehingga mereka berani menjamin kelulusan anak-anak ke perguruan tinggi. Bukan karena sihir, dukun, tuyul kampus, apalagi ayam kampus. Mereka punya pola yang sudah pakem, kelulusan universitas hampir tidak berubah polanya, mudah mereka skemakan. Kuncinya berlatih dan berlatih. Bukankah dalam berlatih yang dibawaserta konsep-konsep pembelajaran. Lalu apa yang salah dari pola mereka ? Kenapa tidak boleh masuk dalam pembelajaran sehari-hari ? Kenapa harus "melebihkan" pembelajaran di luar jam sekolah sementara yang dituntut adalah berlatih untuk terus menajamkan pengetahuan.
Itulah bedanya, anak-anak yang sering berlatih menjadi lebih mumpuni dan cakap menjawab soal sehingga mudah lulus perguruan tinggi. Lalu jika orangtua saja yang menuntut anaknya melatih terus, apakah anak-anak bisa lulus mudah ?. Bimbel punya pola yang tricky sehingga tidak lazim namun smart, sesuatu yang menjadi modal mereka tetap hidup. Bahkan saking berharap tetap survive, sesuatu yang tidak menuntut kelulusan dibuat seseram mungkin agar bisa di-bimbel-kan, misalnya Asesmen Nasional. Jadi jika ada yang ngajak ikut bimbel persiapan AN demi kelulusan sekolah, marilah kita ngakak.
Ironisnya, puluhan tahun kita menonton tayangan miris ini, sekolah formal ternyata membutuhkan pendidikan non formal bernama bimbel untuk penjaminan kelulusan pendidikan lebih tinggi. Jika pendidikan formal bisa bergantung dari pendidikan non formal, tentu saja ada sesuatu yang keliru dari cara kita, kurikulum guru mengajar. Harusnya persiapan siswa meneruskan ke perguruan tinggi cukuplah penguatan dari sekolah saja, tidak perlu pendidikan non formal menentukan sesuatu yang kembali formil (kuliah). Bukankah menjadi sangat disayangkan, guru kita dianggap lebih rendah kualitasnya dari mentor bimbel. Bukankah hampir semua guru di sekolah formil sudah menyandang guru profesional, guru yang mapan membuat pendidikan lebih baik.
Kepala Sekolah sampai Kepala Dinas mari duduklah mengevaluasi fenomena ini, kasihan sekali anak-anak di pedesaaan yang jika nanti harus tergantung bimbel di kota. Sungguh disayangkan, kesempatan maju hanya diperoleh anak-anak kota yang bisa saja sekolah mereka sudah mulai mengarahkan siswanya ke perguruan tinggi mulai kelas dua atau fokus sepenuhnya di kelas tiga. Jika konsep kurikulum membelenggu masa depan anak-anak untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, membuat mereka sulit menembus perguruan tinggi favorit bahkan di jantong atee masyarakat Aceh, apa tidak sebagusnya kita "out of the curricula" ?
Wallahua'alam
Aceh, 23 May 2021
Khairuddin
Ketua Harian
Pengurus Pusat Jaringan Sekolah Digital Indonesia