Seharian ini saya merasa ingin beristirahat. Sedikit bersantai di atas kasur kamar sambil menonton anime yang sudah lama tidak saya tonton. Entah kenapa rasa lelah dan kantuk menghampiri saya, dan saya pun tertidur. Saya bangun setelah azan dzuhur berkumandang. Tubuh terasa lemas dan saya paksa untuk bergerak mandi, sholat, kemudian makan siang. Setelah itu saya membuka laptop. Awalnya saya ingin membuka steemit dan membaca post-post terbaru. Ya sekedar iseng. Tapi saya membuka lebih dulu Line di laptop dan melihat-lihat timeline. Tidak begitu menarik, walau sudah sekian lama saya tidak membuka timeline. Tapi kemudian saya temukan sebuah kiriman yang berisi kata-kata "ide-idenya terbuang di sudut perpustakaan penuh debu yang tak terurus". Rasanya sedikit mengganggu.
Jujur saja, saya tidak tahu bagaimana perasaan saya setelah membaca tulisan itu. Begitu juga bagaimana saya harus menaggapinya untuk diri saya sendiri. Rasanya aneh bila perpustakaan sering bersanding dengan kata "debu", "sudut', "tak terurus", "suram", "gelap", "angker", dan lain sebagainya. Mungkin wajar bila kesan-kesan perpustakaan di masyarakat kita negatif. Karena memang kenyataannya masih tidak sedikit perpustakaan berkondisi tidak baik. Entah kenapa bisa seperti itu. Perpustakaan sekolah utamanya.
Semester 2 yang lalu, saya dan teman-teman Prodi Perpusinfo mendapat tugas observasi. Lebih dari setengahnya ditugaskan mengobservasi perpustakaan sekolah dari tingkat SD sampai SMA baik swasta maupun negeri. Hasil observasi tersebut sebenarnya tidak begitu mengejutkan, karena kita semua tahu bagaimana kondisi perpustakaan sekolah di negara kita saat ini. Ya, seadanya. Hasil yang mengejutkan adalah kondisi salah satu SMA yang kami observasi sangat tidak sebanding dengan statusnya sebagai sekolah favorit dan dikenal berkualitas. Padahal pada penyajian hasil observasi sebelumnya, kondisi sebuah sekolah dasar negeri jauh lebih baik dari SMA tersebut menurut saya pribadi. Saya merasa aneh. Bahkan bila dibandingkan dengan SMP saya dulu yang bukan SMP favorit hasilnya masih lebih baik.
Itu kondisi perpustakaan kita saat ini. Memang tidak sedikit yang masih belum memenuhi standar, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali sekolah yang sudah memiliki perpustakaan yang baik dan layak. Memang agak sulit untuk menyelesaikan permasalahan ini, karena pandangan sebagian besar orang tentang perpustakaan masih,… ya... suram, kelam, dan saya rasa kita semua tahu. Lalu bagaimana melawan pandangan-pandangan negatif tentang perpustakaan seperti itu? Tentu saja dengan menanamkan pandangan baru yang lebih baik.
Pernahkah teman-teman mendengar kata-kata "perpustakaan adalah jantung pendidikan"? Kata-kata itu adalah kata-kata luar biasa pertama yang saya dengar tentang perpustakaan. Pertama kali saya mendengar kata-kata itu adalah saat masa pengenalan kampus, sebelum masa kuliah semester pertama. Dari kata-kata itu juga saya memahami bagaimana seorang siswa berhasil dalam dunia persekolahan namun tidak dalam pendidikan. Begitu juga bagaimana seseorang menjadi terdidik dengan buku di perpustakaan tanpa masuk dalam sistem persekolahan. Pernahkah anda membayangkan bagaimana dan kemana suatu ilmu itu mengalir dan berputar dalam sebuah siklus pendidikan? Sebagaimana darah yang berputar ke seluruh tubuh dengan jantung sebagai stasiun pusatnya, ilmu pengetahuan dan sumber pendidikan seharusnya mengalir ke perpustakaan terlebih dahulu. Darah diproses di jantung dan menyebar ke seluruh tubuh, dan ilmu diproses di perpustakaan sehingga dapat dan mudah digunakan masyarakat umum untuk pendidikan termasuk persekolahan.
Keberadaan suatu ruang tempat menyimpan pengetahuan adalah sebuah keniscayaan. Ketika kita ingin mengetahui sesuatu, kita memerlukan ruang tersebut yang menyediakan setiap informasi dan pengetahuan yang kita butuhkan. Otak manusia saja tidak akan begitu membantu untuk menyebar luaskan pengetahuan dunia, karena ia hanya bisa diakses oleh pemiliknya saja. Kemana seorang guru akan mencari rujukan pembelajaran tanpa perpustakaan? Kemana seorang ilmuwan memenuhi rasa haus ilmu pengetahuan tanpa perpustakaan? Kemana para ulama mencari kitab hadist, tafsir, fiqh, dan akidah tanpa perpustakaan? Apakah mereka membeli semuanya ke toko buku? Apakah mereka meminjam semuanya pada teman-teman mereka? Mungkin bisa jadi membeli seluruhnya, atau meminjam seluruhnya. Tapi bukankah itu akan merepotkan mereka? Perpustakaan adalah satu-satunya ruang yang dapat menjadi solusi pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sehingga benar bila dikatakan "perpustakaan adalah jantung pendidikan".
Pandangan ini baiknya kita tanamkan pada diri kita mulai sekarang, semoga dapat menular pada penerus bangsa. Mengalahkan pandangan-pandangan negatif tentang perpustakaan yang ada.
Sebuah pertanyaan lagi. Saat suatu peradaban musnah, apa yang akan melestarikannya? Bukan reruntuhannya, tapi kelestarian informasi peradaban tersebut. Namun bagaimana suatu informasi tentang peradaban dapat lestari? Jawabannya adalah perpustakaan. Lain waktu saya ingin bercerita tentang perpustakaan sebagai simbol peradaban.
Salam Literasi...
Sepakat 1000% Mas @muhammadhaidar. Negara-negara maju bila kita amati pasti memiliki perpustakaan yang luar biasa dan minat membaca masyarakatnya patut diacungi jempol. Sayangnya di Indonesia minat baca masih relatif minim, Indonesia menduduki peringkat 61 dari 62 dalam hal budaya membacanya. Semoga dengan adanya platform Steemian akan memacu semangat membaca di Indonesia. Amin .... Salam literasi!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Benar Kang @adrienoor. Negara-negara maju dengan perpustakaan yang baik memiliki minat baca yang tinggi. Berbeda dengan negara kita yang minat bacanya rendah. Ini juga alasan diselenggarakannya Gerakan Literasi Sekolah oleh pemerintah. Memang benar hasil pemeringkatan minat baca negara kita jauh berada di bagian bawah, tapi dalam sesi kuliah Perspektif Ilmu Perpustakaan yang saya hadiri 1 tahun yang lalu, Dosen saya berbagi cerita bagaimana masyarakat kita sesungguhnya memiliki potensi minat baca yang tinggi. Ternyata yang menjadikan minat baca mereka rendah bukan karena tidak adanya keinginan membaca dari diri mereka. Saat satu masyarakat diberikan fasilitas membaca termasuk buku dan tempatnya, reaksi yang muncul justru menampakkan bahwa minat baca masyarakat kita tinggi. Kesimpulan saya pribadi pada akhirnya adalah minat baca masyarakat kita sebenarnya tinggi, tetapi masih dalam bentuk potensi. Potensi ini perlu di pancing agar keluar dengan penyediaan fasilitas membaca seperti Taman Baca Masyarakat dan Perpustakaan Keliling.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit