Keeping Professionalism of Journalists in the Middle Hoax: World Press Free Day 2018 | Bilingual |

in press-freedom •  7 years ago  (edited)

Demo .jpg
Photo by Erwin Jalaluddin


The challenges facing journalists in Indonesia and many countries are increasingly diverse in millennial times. The problem of professionalism is still an easy word to say but difficult to apply in the field. Being a professional requires requirements that not only come from the journalists alone, but also there must be support from companies, government regulations, and of course the media consumer community. That is, there are internal and external influences to strengthen the professionalism of journalists.

The press is unlikely to improve the environment if the "press house" is still fragile. If the external aspects are still difficult to influence, then the improvement can be started from "home press" such as increasing the competence of journalists and media companies more concerned with efforts to build professional journalists. Increasing the welfare of journalists is also still a lot to be addressed. Only certain companies are concerned about the welfare of journalists.

The issue of journalists' welfare is highlighted by the Alliance of Independent Journalists (AJI) throughout Indonesia during the World Press Freedom Day (WPFD) warning on May 3, 2018. AJI Indonesia mentions this welfare issue is still the work of "press house" in Indonesia.

Read more on the following link: https://www.merdeka.com/en-us/aji-indonesia-sebut-kesejahteraan-jurnalis-masih-jadi-pr-besar.html

Welfare issues also became the focus of AJI Surabaya when commemorating WPFD on 3 May in front of the Monument Press of Surabaya Struggle and in front of State Building Grahadi on Thursday (3/5/2018). In action, journalists cover their mouths with plaster and pick up black sacks as a symbol of the heavy duty of journalists. Further reading at the following link:

https://www.voaindonesia.com/a/aji-surabaya-serukan-perusahaan-media-perhatikan-kesejahteraan-jurnalis/2744523.html

This is not a new issue because it has long been the theme of journalist demos. Even every year, the problem of this counselor has always been in the spotlight. Just read the news of 2014 ago when AJI Denpasar City demanded to increase the welfare of journalists:
http://bali.tribunnews.com/2014/05/01/aji-denpasar-perusahaan-pers-wajib-berikan-kesejahteraan-journalist

Not only in Indonesia, the level of journalist welfare in the United States is also still below the average of other professions. So, the struggle to improve the welfare of journalists is the struggle of journalists in many countries and long-term struggle.

Professionalism also faces challenges from the "press house" because many media companies are controlled by political party officials. The media tend to be used as a means of covert campaigning of political parties or for the benefit of their owners. This condition also occurs in many countries including in developed countries.

Eradicating hoax information is also a new challenge to build professionalism. In Indonesia in the political year such as 2018 and 2019, hoaxes are already part of the business. Suspects have many arrested. Ironically, the press that should be free from the influence of hoax because it already has a clear sign and firm, still affected by the hoax information.

News hoax still adorns the news media in Indonesia, especially in online media. The news of the hoax is also not equipped with clear confirmation from the parties, so many are harmed by the news. The problem of verification discipline is still a weakness of journalists in Indonesia. In fact, the Code of Ethics Journalists Indonesia has provided guidance for journalists in searching, processing, and presenting news. How many journalists still understand and still obey the Code? Understand and obey are two different things.

Against hoax, information is also part of caring for journalism professionalism. Competence of journalists plays an important role to fight the hoax information. In the competence has included the capacity, ability of journalists, insight, to the understanding of the code of ethics. With all these aspects being maintained, the press can be part of keeping the bad influence of the hoax and instead of becoming a hoax spreader. According to the regulation, one of the functions of the press is as an educational institution.[]


AJI_07.jpg


UKJ_02.jpg
Photos by @ayijufridar


Merawat Profesionalisme Jurnalis di Tengah Hoax: World Press Free Day 2018

Tantangan yang dihadapi jurnalis di Indonesia dan banyak negara semakin beragam di zaman milenial. Masalah profesionalisme masih menjadi kata yang mudah diucapkan tetapi sulit diterapkan di lapangan. Menjadi professional membutuhkan persyaratan yang tidak hanya berasal dari kalangan jurnalis semata, tetapi juga harus ada dukungan dari perusahaan, regulasi dari pemerintah, dan tentu saja masyarakat konsumen media. Artinya, ada pengaruh internal dan eksternal untuk memperkuat profesionalisme jurnalis.

Pers tidak mungkin memperbaiki lingkungan kalau “rumah pers” masih rapuh. Kalau aspek eksternal masih sulit dipengaruhi, maka perbaikan itu bisa dimulai dari “rumah pers” seperti meningkatkan kompetensi jurnalis dan perusahaan media lebih peduli terhadap upaya membangun jurnalis yang profesional. Meningkatkan kesejahteraan jurnalis juga masih banyak yang harus dibenahi. Hanya perusahaan tertentu saja yang peduli terhadap kesejahteraan jurnalis.

Masalah kesejahteraan jurnalis menjadi sorotan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di seluruh Indonesia saat peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau Worls Press Free Day (WPFD) pada 3 Mei 2018. AJI Indonesia menyebutkan masalah kesejahteraan ini masih menjadi pekerjaan “rumah pers” di Indonesia.

Selengkapnya baca tautan berikut: https://www.merdeka.com/peristiwa/aji-indonesia-sebut-kesejahteraan-jurnalis-masih-jadi-pr-besar.html

Masalah kesejahteraan juga menjadi sorotan AJI Kota Surabaya ketika memeringati WPFD 3 Mei di depan Monumen Pers Perjuangan Surabaya dan di depan Gedung Negara Grahadi, Kamis (3/5/2018). Dalam aksinya, jurnalis menutup mulut dengan plaster dan mengangkat karung hitam sebagai simbol beratnya tugas jurnalis. Lebih jauh bisa dibaca di tautan berikut ini:

https://www.voaindonesia.com/a/aji-surabaya-serukan-perusahaan-media-perhatikan-kesejahteraan-jurnalis/2744523.html

Ini bukan isu baru sebab sejak lama masalah ini menjadi tema demo para jurnalis. Bahkan setiap tahun, masalah kesejahetraan ini selalu menjadi sorotan. Baca saja berita tahun 2014 silam ketika AJI Kota Denpasar menuntut peningkatan kesejahteraan jurnalis:

http://bali.tribunnews.com/2014/05/01/aji-denpasar-perusahaan-pers-wajib-berikan-kesejahteraan-wartawan

Bukan hanya di Indonesia, tingkat kesejahteraan jurnalis di Amerika Serikat juga masih di bawah rata-rata profesi lain. Jadi, perjuangan peningkatan kesejahteraan jurnalis adalah perjuangan jurnalis di banyak negara dan perjuangan jangka panjang.

Masalah profesionalisme juga mendapat tantangan dari “rumah pers” sebab banyak perusahaan media dikuasai pengurus partai politik. Media cenderung digunakan sebagai sarana kampanye terselubung partai politik atau untuk kepentingan pemiliknya. Kondisi ini juga terjadi di banyak negara termasuk di negara maju.

Memberantas informasi hoax juga menjadi tantangan baru untuk membangun profesionalisme. Di Indonesia pada tahun politik seperti 2018 dan 2019, hoax sudah menjadi bagian dari bisnis. Tersangka sudah banyak yang ditangkap. Ironisnya, pers yang seharus terbebas dari pengaruh hoax karena sudah memiliki rambu yang jelas dan tegas, masih juga terpengaruh dengan informasi hoax.

Berita hoax masih menghiasi berita media di Indonesia, terutama di media online. Kabar hoax tersebut juga tidak dilengkapi dengan konfirmasi yang jelas dari para pihak, sehingga banyak yang dirugikan dengan pemberitaan. Masalah disiplin verifikasi memang masih menjadi kelemahan para jurnalis di Indonesia. Padahal, Kode Etik Wartawan Indonesia sudah memberikan panduan bagi jurnalis dalam mencari, mengolah, dan menyajikan berita. Berapa banyak jurnalis yang masih paham dan masih patuh terhadap Kode Etik? Paham dan patuh adalah dua hal yang berbeda.

Melawan informasi hoax juga bagian dari merawat profesionalisme jurnalis. Kompetensi jurnalis memegang peranan penting untuk melawan informasi hoax. Dalam kompetensi sudah termasuk kapasitas, kemampuan jurnalis, wawasan, sampai kepada pemahamam kode etik. Dengan seluruh aspek tersebut yang terjaga, pers bisa menjadi bagian dari menjaga pengaruh buruk hoax dan bukan malah menjadi penyebar hoax. Sesuai regulasi, salah satu fungsi pers adalah sebagai lembaga pendidikan.[]



Source


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Tidak bisa dihindari, soal kesejahteraan menjadi penentu utama dalam kata profesional/profesi, walau sebenarnya sudah menjadi sifatnya manusia tidak akan pernah merasa cukup.
Selamat, semoga AJI semakin mewarnai dalam kiprah jurnalis indonesia.

Jurnalis harus bersatu melawan kriminalisasi pers dan bersatu juga dalam memperjuangkan kesejahteraan, tanpa memandang media dan organisasi tempat bernaung. Itu adalah perjuangan bersama. Terima kasih @saifuddin73 yang selalu peduli terhadap isu jurnalisme sejak dulu, kini, dan nanti.

Gagah that bg ayii menyoe lagenyan
Hehe 😁

Ini dia yang menjadi isu hangat semenjak presiden Jokowi dilantik. UU ITE selalu menjadi alat untuk menjerat masyarakat. Dituduh pelanggaran transaksi eletronik dan sebagainya. Padahal saya menilai, justru pers juga termasuk dalam kategori itu dalam banyak moment. Membuat tulisan yang justru mempropokasi amarah dan rasa benci. Akan tetapi bebas dari jeratan UU ITE. Polemik juga itu Bg