/1/
Soreku tiba-tiba saja tiba
mengapa tidak membawa sekalian senja?
Mungkin karena cintamu tiba-tiba saja tiba
Membawa cita sampai senja sekalian
Tanpa aku bertanya mengapa
Pokoknya aku tak boleh kecewa
Padahal hari masih sangat terik
Kehadrianmu dulu
dan jangkrik sekarang
apa bedanya?
Sama-sama menyanyikan sepi kan?
Aku dan anak bulan masih mencari kamu dan kosakata;
Untuk tempat cintamu bersembunyi dalam kota kata.
Menjadi candu yang selalu menambah kadarnya
sampai cinta menjadi bangkai
akupun harus tahu memakamkan di mana.
Mengukirkan nisan di apa.
Menggalikan dalam seberapa.
Itu aku harus tau.
Aku dan anak bulan tertawa saat aku ceritakan;
baru mendengar jerit lukaku sendiri.
Saat aku tau luka semakin menganga
baru sesaat sesudah anak bulan
menjadi sabit di langit kotaku. Masih perih diammu
yang kuterjemah menjadi kosakata
Masih di tengah kota.
Ada aroma matamu yang pekat dalam satu saku bajuku.
sampai sabit menerbitkan bait menjelmakan
rupa purnamamu.Kau masih diam.
dalam ketiadaan puisi dan
Keberadaan sajak, apa bedanya. Akhir pasrahku.
Kamu adalah kataku yang menjadi malam. diam.
dari pada menyahuti mulut gerimis awan kota
yang terlalu berani aku menafsir itu romansa romantic.
tapi sebelum kering saja kita sudah tidak bersama kan?
Diam-diam purnama sempurna.
lalu menyungkilkan tanah berbau prosa
untuk ku cium, ujarnya pada telinga kananku
saat kuping kiriku mendengarkan mulut terakhirmu:
“Kenapa tidak mengabariku?”
“Ha? Apa?”
“Kau tidak sayang? !@#$%^&*”
diamku ternyata alasan seribu hari diammu
hari ke seribu satu.
Aku harus mendengar segala ucap
mengapa kau tidak mencintaiku:
“!@#$%^&” katamu
“maaf” kataku
“hanya sepotong maafkah untuk sepanjang nafasku?” nafasmu menuduhku seakan tidak pernah terengah mengejar saat hatimu lari.
“maaf” pintaku
“???” maafmu pun menjadi tanda tanya saja.