/2/
di tengah kota—satu saat
aku buka sajak yang aku gubah di desa
desa mendesah tentang lenguh dari sebuah lengah
Berapa waktu telah melingkari jam di dindingku
di kota ini aku bukan siapa dan di desa aku?
dan puisi? hanya menjadi sebuah tanda
yang tak harus lagi kekasihku menanyakan.
Tinggalakan aku, permintaan kekasihku
Telah ku tunaikan. aku tinggalkan kekasihku dalam sebuah sajak
“kau tega” adalah teriaknya saat telingaku tak mendengar percaya
Aku terus saja memungut potongan puisi
dari senyum pamanku yang hilang di tengah bulan
saat aku pulang untuk menyampaikan satu khotbah
lalu kembali mencari setungkus khotbah lagi
aku meninggalkan janji;
aku akan membuat puisi
pamanku tidak perlu tahu
bahwa aku pengacara adat menjadi sajak
aku tahu kerbau itu tidak salah
tapi mengapa kau melepas tali cucuk dari ikatnya?
lihatlah, hampir saja pamanku
—demi umpan anaknya—
melepaskan tebas
di urat lehermu yang lebih keras dari tengkorak.
Tapi, pamanku bukan sesiapa.
Pamanku adalah seorang yang harus kalah
Untuk sebuah kemengan petani lainnya
Agar umpan anak isterinya
tidak menjadi umpan kerbaumu.
/3/
Aku merasa tidak mesra;
waktu itu hanya aku yang tamu
di tanah air dan sawah
yang tugasku seharusnya menjamu
Apa yang lebih timbul dari sebuah gambar
Kalau bukan menjadi ibu untuk sebuah kenangan
Apa yang paling ganas dari sebuah hukuman
Kalau bukan senyum pahit mesti kau ditelan
Perlahan
Perlahan
Lahan
Perlahan
Itulah kenyataan, seperti sajak ini harus kita telan
Atau kita benamkan, itu terserah.
Kuingatkan padamu, bahwa yang bangkit adalah resah.
Yi Lawe.
Lawe Sawah-Kotagede, 2016-2018
(sumber: https://hquizzagan.wordpress.com)