Sumber

---

Oleh Ayi Jufridar

Pemerintahan Aceh belakangan ini gemar menggembar-gemborkan tingginya minat investor asing masuk Aceh. Sejumlah investor seperti dari India, Korea Selatan, Malaysia, dan China, bahkan sudah datang ke Aceh dan melakukan pembicaraan serius menyangkut investasi. Mereka melihat potensi yang dimiliki Aceh sangat besar, tinggal menyesuaikan dengan bidang yang diminati investor.

Sejauh ini, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, realisasi investasi itu masih minim. Mengikuti pemberitaan di media cetak yang beredar di Aceh, semua investasi itu masih bermain di tataran “akan”. Korea Selatan akan berinvestasi di Aceh. Malaysia akan berinvestasi di bidang perkebunan , Jepang akan berinvestasi di pertambangan, dan masih akan investasi “akan” lainnya kalau kita rajin mengikuti gaya pimpinan pemerintahan daerah kita dalam mengangkat pertumbuhan ekonomi.

Setelah ada sejumlah investor asing menyatakan berminat masuk Aceh, tugas selanjutnya adalah merealisasikan rencana investasi tersebut. Dan ini tentu saja tidak mudah. Pembicaraan di atas meja tentu lebih mudah dibandingkan dengan realisasi di lapangan yang mengadapi banyak kendala. Di Aceh, kendalanya lebih banyak yang sulit diduga. Padahal, inilah sebenarnya yang paling dibenci para investor. Hal yang di luar prediksi ini termasuk biaya siluman yang harus dibayar investor jika masuk ke Aceh.

Majalah The Economists edisi Maret 2006 menyatakan ada tidak kendala mengapa realisasi investasi berjalan lamban; legal certainty, local regulation, dan labour rigidity.

Nah, ketiga masalah itu terdapat di Aceh. Kondisinya lebih spesifik di Aceh karena biaya siluman yang berlipat-lipat dan bukan hanya di tingkat aparatur pemerintahan daerah, tapi sampai juga ke lapangan dari kelompok-kelompok yang sulit diajak berkompromi, meskipun untuk kepentingan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Dalam sebuah acara talkshow di TVRI Stasiun Banda Aceh, seorang pejabat di Pem4rintahan Aceh dibungkam oleh pertanyaan seorang warga Lhokseumawe tentang biaya siluman ini. “Bagaimana investor tertarik kalau belum apa-apa mereka sudah dipalaki,” begitu kira-kira pertanyaan pemirsa TVRI Banda Aceh tersebut.

Menurutnya, banyaknya biaya tak resmi ini justru membuat investor sama sekali tidak tertarik membuang uang di Aceh. Sasaran akhir dari investasi adalah mengambil keuntungan. Tapi kalau dalam tahap awal saja investor harus rugi, lebih baik mereka menanamkan modalnya di daerah lain yang lebih terbebas dari biaya siluman bahkan dengan dukungan infrastruktur yang lebih memadai.

Seorang pengusaha asal Aceh mengungkapkan, ia mengajak rekanan bisnisnya untuk berinvestasi di Aceh. Jawaban yang diperoleh disampaikan dengan nada bercanda tetapi sangat menohok; dua tempat yang tidak boleh berinvestasi adalah di Aceh dan di neraka!

---

---

Jaminan keamanan dan kepastian hukum

Di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca-Tsunami, banyak lembaga asing yang melakukan kegiatan kemanusiaan di Aceh merasakan bagaimana beratnya menghadapi kendala biaya siluman ini. Padahal, mereka organisasi nirlaba yang melakukan kegiatan kemanusiaan dari dana donatur.

Pertanyaannya, kalau untuk melakukan kegiatan kemanusiaan saja harus membayar biaya siluman demikian banyak, bagaimana lagi jika melakukan kegiatan bisnis yang berorientasi keuntungan?

Serangkaian insiden yang dialami NGO baik lokal lebih-lebih asing, jangan dikira akan berhenti sampai di situ. Mereka akan memberi rekomendasi buruk terhadap investasi di Aceh bagi kalangan bisnis. Ini akan membuat investor harus berpikir ulang jika ingin menanamkan modalnya di Aceh, apalagi dalam jumlah yang ratusan miliar bahkan triliunan rupiah.

Dalam berinvestasi, tentunya persoalan yang dihadapi investor sangat beragam. Makanya prinsip tidak menempatkan semua telur di satu keranjang, selalu ditaati para investor. Kondisi ini sebenarnya menjadi celah bagi pemerintahan Aceh untuk mempercepat realisasi investasi. Pemerintah Aceh harus mampu memberi jaminan keamanan bagi investor, termasuk aman dari pungutan yang tidak resmi baik di atas meja maupun di lapangan.

Mengajak kelompok pelaku terlibat di dalam proyek, sudah terbukti tidak menjamin bebas dari pungutan liar. Istilahnya, jangan sampai meminta pencuri sandal di masjid menjaga sandal jamaah yang sedang melakukan salat. Sandalnya memang tidak hilang lagi. Tapi sepeda motor jamaah yang hilang.

Dalam memberikan jaminan ini, tidak bisa tidak akan masuk ke wilayah hukum. Polisi akan terlibat di dalamnya dan harus memberikan rasa aman bagi investor, bukan malah menjadi bagian dari pelaku pengutipan biaya siluman. Kalau kepastian hukum sudah ada, tanpa diundang pun para investor akan masuk ke Aceh.

Jangan lupa, kita bersaing dengan daerah lain bahkan negara lain dalam merebut simpati investor. Indonesia, yang berarti termasuk Aceh di dalamnya, termasuk dalam daftar terakhir setelah Cina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.[]

---

---

---

---

Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers