Ridwan al-Makassary
Istilah “kurang piknik” acap disematkan bagi orang yang pandangannya, termasuk dalam politik dan keagamaan, picik dan dangkal. Esai ini mengkaji hubungan antara perjalanan, agama dan keIslaman. Ia berpijak dari buku Peter Mandaville tentang Transnational Muslim Politics Reimagining the Umma (2004). Sejatinya, gagasan mengenai perjalanan adalah penting bagi banyak agama. Ia mungkin mengambil bentuk sebagai perjalanan ke tempat ibadah (masjid, gereja, kuil, sinagog, pura, dll) atau mungkin sebuah perjalanan spiritual. Dewasa ini, banyak acara-acara “lintas iman” di Indonesia sudah dan sedang menggunakan sarana kunjungan ke rumah ibadah untuk wahana menumbuhkan toleransi beragama. Institut Dian/Yayasan Interfidei, organisasi lintas iman di Yogyakarta, misanya, mempraktikkan hal tersebut dalam training-training mereka. Selain itu, jutaan Muslim naik haji ke Mekkah saban tahun, atau orang Kristen yang berkunjung ke Vatikan, Israel, atau, penganut Budha yang berkunjung ke Candi Borobudur. Sebagai tambahan, mahasiswa yang bepergian untuk menuntut ilmu juga bagian dari perjalanan (rihla).
Namun, ide umumnya tetap sama: perpindahan dari satu tempat ke tempat lain menjadi lebih penuh makna. Bahkan, kerap perjalanan tersebut dikelindankan dengan bentuk transformasi dan pergeseran dari kebodohan menuju pencerahan atau dari keduniaan menuju ruang-ruang sakral. Sidharta Budha Gautama yang “pindah” dari istana megah kemudian bersemedi di bawah pohon Bodhi dan ujungnya beroleh pencerahan. Intinya tetap sama, perpindahan menerbitkan perubahan atau memproduksi beberapa bentuk perbedaan. Bahkan, lebih dari sekedar kita berpindah di dalam agama, namun agama juga mengalami perjalanannya sendiri. Secara tak terhindarkan, agama-agama berubah.
Menurut Stuart Hill (dikutip dalam Mandaville), fenomena tersebut sebagai sebuah proses yang ajek mengenai pendobrakan, pengaturan ulang dan penggorganisasian kembali, dengan mana formasi agama diatur-ulang, yang akhirnya menyediakan praktik dan bahasa keagamaan baru di dalam sebuah artikulasi realitas sejarah yang baru. Misalnya, di Perth, penulis menjumpai berbagai cara khutbah Jumat: ada yang khatibnya tidak pakai salaam, ada yang ceramah dulu baru azan dikumandangkan, dan lain-lain. Ketika seseorang bepergian agama mereka turut serta. “Secara nyata ini bukanlah sekedar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, Eickelman dan Piscatori (1990) menyatakan, “namun berutang pada kekuatan imajinasi agama mereka melibatkan perpindahan spiritual atau temporal juga”. Seperti saya yang terkaget-kaget dengan cara beribadah yang berbeda. Namun, kebanyakan tetap sama. Simbol dan bahasa agama mungkin berubah dengan makna yang baru, tetapi tetap berfungsi menyediakan sebuah kerangkakerja yang familiar dan sebuah rasa identitas.
Islam memiliki kosa katanya yang kaya tentang perjalanan. Dalam banyak hal Hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada 622 adalah sebuah peristiwa historik yang monumental. Terdapat juga perjalanan ke Mekkah yaitu haji, yang wajib sekali seumur hidup bagi Muslim. Perjalanan penting lainnya adalah perjalanan menuntut ilmu yang disepadankan dengan jihad di jalan Allah. Ada Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw, dan juga ziyarah ke tempat kubur orang-orang suci. Untuk yang terakhir popular disebut wisata ziarah misalnya ke makam para wali di Jawa. Hijrah misalnya mengandung gagasan perpindahan dari paganisme, tribalisme, dan di atas segalanya, tidak percaya pada Tuhan, menjadi sebuah komunitas tauhid. Bahkan, istilah hijrah masih menemukan kekuatan dalam beberapa kelompok yang menggunakannya seperti grup Takfir wal Hijrah di Mesir atau al-Muhajirun di London. Seruan untuk Muslim keluar dari tanah “tidak Islami” masih beresonansi kuat hingga detik ini di mana para pimpinan agama banyak melemahkan Muslim yang hidup di daerah yang diklaim tidak Islami, terutama di Barat, termasuk di Indonesia. Gerakan-gerakan pemurnian Islam yang berasal dari luar, misalnya Hizbut Tahrir, gerakan salafi, dll, tumbuh bagai cendawan di musim penghujan dan berupaya menghadirkan imajinasi tentang hijrah Nabi membangun kota Madinah.
Islam sudah barang tentu telah mengalami perjalanan melintasi pergantian abad. Dunia Muslim yang terentang dari Maroko hingga Merauke telah mengetahui betapa banyak contoh tak terhingga tentang perpindahan dan migrasi baik di dalam atau di luar batas wilayahnya. Ross Dunn (dikutip dalam Mandaville) menyatakan, “Perluasan Islam adalah sebuah proses budaya, bahkan ia adalah sebuah gerakan sosial, sebuah migrasi manusia yang rumit didorong untuk mencari pengalaman baru dari semua jenis motif personal dan publik”. Jauh dari sekadar sebuah fenomena pertengahan, perjalanan Muslim juga mesti dilihat sebagai sebuah komponen kunci dari sejarah modernitas. Senada dengan itu, Nederveen Pieterse (dikutip dalam Mandaville) mencatat, “Islam kosmopolit berkembang melalui karapan dan perdagangan maritim, melalui diaspora dan setlemen, melalui jaringan pengetahuan dan melalui ekspansi militer, telah memberikan bentuk bagi dinamika sejarah tentang globalisasi, dengan mana dunia kapitalisme adalah satu manifestasi”.
Kita mungkin mengenal Ibnu Battuta, sang pengelana Muslim abad ke-14, yang melahirkan karya tentang perjalanan yang sangat kaya. Mandaville dalam karyanya yang disebut di atas mengutip Abdurrahm El Moudden yang berpandangan bahwa perjalanan adalah ambivalen: di mana pada satu sisi seorang pejalan menjadi sangat terikat dengan ide tentang komunitas Muslim secara keseluruhan, tetapi pada saat yang sama belajar apa yang khusus bagi dirinya dan budayanya. Seperti laiknya seorang penerima beasiswa (pejalan) yang berpindah dari daerahnya akan berada dalam kondisi di mana pengetahuan “lokal” menjadi relatif dan subjek untuk berubah melalui pintu masuk translokalitas. Pengetahuan dan pengamalan agama mereka akan berjumpa dengan pengamalan agama baru dan menumbuhkan sikap untuk menerima relativitas beragama di tempat yang baru. Termasuk cara pandang dan pengetahuan. Salah satu contoh yang mengalami transformasi perjalanan itu adalah ideolog Iran, Ali Shariati. Pengalamannya berpindah ke Paris telah mengubah pandangannya yang sangat Shi’a sentris ke arah yang lebih terbuka setelah mengalami relativitas budaya dan saling berinteraksi dengan orientalis Luis Massignon, sosiolog George Gurvith, filsup Jean-Paul Sastre mendiskusikan isu-isu terkait kolonialisme dan dunia berkembang.
Karenanya, penting bagi semua kita, Muslim secara khusus, untuk memaknai perjalanan baik di dalam agama maupun perjalanan secara umum, termasuk untuk pendidikan, ke dunia mana saja mereka berjalan untuk melihat ragam pola dan praktik budaya dan mengalami relativitas budaya, bukan untuk mengunggulkan budaya tertentu yang dianut. Namun, setelah kembali dari perjalanan dengan pencerahan bahwa pengetahuan dan pengamalan agama tidak tunggal. Bukan monolitik. Sampai di sini penulis teringat Patrick Bourdieu, ketika penulis mengikuti training perdamaian di Filipina (2016), mengatakan semakin jauh masyarakat dengan awal kehadiran sebuah agama akan beragam cara pandang dan pengetahuan tentang agama tersebut.
Pungkasannya, penganut agama beragam, termasuk penerima beasiswa, yang beruntung menikmati perjalanan menjangkau tempat-tempat yang memiliki budaya dan peradaban yang berbeda dengan tempat di mana mereka dibesarkan dan berkarya. Sebuah karunia perjalanan yang mungkin tidak pernah hinggap dalam mimpi mereka yang paling liar. Perjalanan tersebut sejatinya memperkaya pandangan keberagamaan dan kebinekaan, untuk bersikap inklusif, jauh dari tribalisme dan ignoransi modern, bagi kejayaan Indonesia tahun 2045.
Penulis: Peneliti dan pekerja perdamaian di Papua. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan doktor di University of Western Australia dengan beasiswa LPDP Afirmasi Papua
Congratulations @ridone! You have received a personal award!
1 Year on Steemit
Click on the badge to view your Board of Honor.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @ridone! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit