Awas Generasi Brengksek

in remaja •  7 years ago 

Beberapa waktu lalu kita terhenyak dengan berita sebuah koran lokal yang menampilkan hasil survey pada suatu seminar terhadap remaja oleh Dinas Kesehatan. Di antara hasilnya adalah 70 persen pelajar melakukan seks pra nikah di Lhokseumawe dan Banda Aceh sebanyak 50 persen. (Serambi Indonesia, Jumat, 15 Februari 2013 ). Walaupun kita masih harus mempertanyakan beberapa hal, seperti berapa jumlah responden, sebaran tempat tinggal dan pendidikan mereka. Hal ini perlu untuk mengetahui lebih detil keakuratan penelitian, sehingga tidak terjadi proses generalisasi yang salah.
Kalaupun demikian hal tersebut juga merupakan sebuah peringatan awal, bahwa pergaulan antar remaja, atau perilaku seksual para remaja sudah demikian parah. Di mana sebenarnya akar permasalahan dan kemungkinan langkah yang bisa kita ambil sebagai orang tua, atau para pengambil kebijakan untuk menyelesaikan persoalan ini. Atau kita akan menunggu lahirnya sebuah generasi “brengseks” sebagai pewaris Nanggroe Aceh Darussalam.
Penulis mencermati ada berbagai pendorong menjadi pemicu terjadi pergaulan bebas dikalangan remaja. Pertama, tidak adanya teladan dan kontrol orang tua atau keluarga. Dalam falsafah orang Aceh dikenal istilah “kiban u minan minyeuk, kiban ma meunan aneuk”,ungkapan ini merujuk pada peran sentral orang tua dan pengaruh mereka dalam kehidupan anak.
Orang tua adalah patron bagi anak-anak, namun sayangnya tidak semua kita mampu memberikan teladan bagi anak-anak. Padahal periode remaja merupakan fase krusial di mana seseorang sedang dalam proses mencari jati diri. Menjadi remaja yang masih tergantung pada orang lain atau menjadi orang dewasa mandiri.
Di samping sebagai patron, orang tua adalah pengontrol bagi kehidupan remaja. Mampukah orang tua sekarang mengontrol kehidupan anak yang menjadi tanggung jawabnya. Apa saja yang mereka lakukan dalam keseharian dengan segala fasilitas diberikan, mulai dari uang jajan, kereta, handphone dan fasilitas lainnya. Berbeda dengan pola kehidupan barat yang memberi kebebasan penuh melakukan apapun, pada remaja Islam harus sejak dini diajarkan perlunya ketaatan pada orang tua sebagai pengontrol kehidupan hidup mereka yang merupakan tanggung jawab agama.
Kedua, salah memilih teman dalam pergaulan. Remaja yang sedang mencari jati diri terkadang sangat mudah terpengaruhi oleh temannya. Apalagi sekarang dunia pertemanan menjadi sangat tidak terbatas dengan adanya jejaring sosial di internet seperti facebook, twitter dan lainnya. Hubungan antar remaja tidak hanya dalam hubungan fisik saja tetapi mereka bisa berhubungan dengan siapa saja tanpa batas.
Remaja kadang membentuk suatu kelompok tersendiri yang berbeda dengan masyarakat tempat mereka hidup. Kelompok-kelompok kecil yang menghasilkan suatu ikatan, budaya tersendiri ini melahirkan sebuah nilai khas yang dikenal dengan kultur remaja. Fungsi pertemanan di sini sangat kuat sehingga ada istilah anak gaul dan tidak gaul. Seorang remaja biasanya akan sangat merasa tersisih bila tidak dikategorikan tidak gaul oleh temannya. Maka untuk mendapatkan gelar, atau bisa masuk dalam komunitas budaya remaja inilah, dilakukanlah berbagai upaya yang terkadang menyimpang dari nilai-nilai budaya yang lebih tinggi, berupa agama atau aturan-aturan hukum positif lainnya.
Di sini posisi teman sebagai pemancing ke arah kebaikan atau keburukan sangat penting. Kelompok bermain para remaja menjadi potret apakah mereka masuk dalam kelompok yang benar-benar dalam pergaulan yang sehat, atau sudah berada dalam jurang kebinasaan yang perilakunya di luar nilai-nilai yang mulia. Maka pesan dari zaman dulu, bahwa bila seorang ingin melihat seseorang lihatlah temannya. Maka ini sangat cocok sangat untuk dipedomani oleh para remaja.
Ketiga, Uang di zaman konsumerisme ini menjadi sangat menentukan. Maka faktor uang menjadi salah satu penyebab anak-anak jatuh ke jurang pergaulan bebas. Karena ingin memakai gadget atau ingin memiliki barang-barang yang mewah sebagian remaja rela melacurkan diri untuk mendapatkan uang. Pada awalnya mungkin bukan sebagai pelacur, tetapi korban percintaan yang salah urus, lalu terjerumus dalam dunia pelacuran, atau bisa juga korban perdagangan manusia.
Keempat, Iman yang lemah. Ini sebenarnya yang menjadi kunci permasalahan dari banyak terjadinya perilaku menyimpang. Remaja yang didalam jiwanya tidak tumbuh nilai-nilai agama tentu dalam bersikap dan melakukan suatu perbuatan tidak brdasarkan pertimbangan nilai agama. Kekuatan iman adalah suatu panel kontrol bagi remaja bila memang mereka ditanamkan nilai-nilai tersebut.
Menurut Dadang Hawari penyebab terjadinya sek bebas dikalangan remaja juga karena adanya proses westernisasi di negara kita. Apa yang dikatakan Dadang Hawari ada benarnya, telah terjadi pergeseran nilai yang sangat kuat di negeri ini dan di Aceh khusnya. Pola hubungan antar jenis menjadi sangat liberal, dari masyarakat yang dulunya sangat peka terhadap permasalahan tersebut. Kini hubungan ini menjadi sesuatu yang lumrah.
Perlu Langkah kongkrit
Melihat pada peliknya persoalan ini kiranya semua pihak patut waspada terhadap hal ini. Karena suatu generasi dimulai dari kehancuran kaum mudanya. Kalau para para remajanya sebagian besar adalah pelaku zina atau perbuatan-perbuatan yang mendekati zina, seperti pacaran yang sudah mawabah. Maka tentunya generasi mendatang adalah para anak-anak yang sebagian besarnya anak zina.
Langkah kongkrit yang bisa diambil oleh para pihak berkepentingan mulai dari keluarga, para pemimpin formal dan informal untuk memberi penyelesaian masalah penyakit sosial ini. Pertama, pemerintah melalui berbagai lembaga bentukan seperti MPU, Dinas Syariat, Polisi Syariat dan Depag, harus lebih aktif mengakrabi dunia remaja. Selama ini lembaga-lembaga ini terlihat menjadi lembaga untuk para orang tua. Belum terlihat ada suatu kegiatan yang massif selain sekolah yang sangat formal untuk tempat remaja mengakrabi dan bisa masuk ke sana untuk mendapatkan pelayanan dan bimbingan dari mereka. Di sisi lain pemerintah juga harus lebih memperkuat sisi penghukuman yang memberi efek jera bagi para pelaku, bahkan kalau perlu hukuman maksimal harus diberikan kepada pelaku kejatan seperti ini.
Kedua, penguatan keluarga. Setiap keluarga harus menyadari bahwa mereka adalah sebuah lembaga yang didalamnya ada peserta didik yaitu anak-anak mereka. Maka memberi pendidikan terbaik di dalamnya adalah tugas utamanya. Proses pendidikan dalam keluarga tentunya berlangsung tanpa batas waktu dan kurikulum, walau di sana harus ada tujuan untuk menjadikan keluarga yang mawaddah wa rahmah. Pemberian pendidikan yang baik hanya mampu diberikan oleh orang-orang yang memang telah mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya. Yang selalu siap memberikan teladan utama dalam seagala aspek kehidupan.
Ketiga, perlunya diarahkan para remaja pada kegiatan keremajaan yang lebih positif dalam menghabiskan waktu luangnya. Anak-anak di setiap sekolah dan rumah tangga harus lebih dibiasakan untuk berorganisasi, seperti pramuka, palang merah remaja, rohis dan lainnya. Namun sayangya kita melihat kegiatan keorganisasian ini tidak mendapat perhatian serius dari hampir semua sekolah yang ada di Aceh. Mereka sudah sangat sibuk dengan muatan kurikulum yang seakan tidak pernah habis, padahal kegiatan keorganisasian tersebut juga punya peran besar dalam membentuk karakter remaja. Di dalam masyarakat sebenarnya juga harus lebih banyak diaktifkan kegiatan yang sama untuk dapat menjadi wadah para remaja mengefektifkan penggunaan waktu sehingga tidak terjerumus pada kegiatan negatif.
Keempat, Pendidikan Seks yang berlandaskan moral. Pendidikan seks yang dimaksudkan disini adalah yang didalamnya mengandung nilai-nilai moral agama, seperti yang banyak terkandung dalam kitab fiqih dan akhlak. Hanya diperlukan penafsiran yang lebih kontekstual untuk memudahkan pemahaman para remaja.
Pendidikan seks ala Barat yang disponsori oleh banyak LSM adalah omong kosong, karena memang telah terbukti gagal, disebabkan pola pikir bebas yang diajarkan dalam proses pendidikannya. Menurut Dadang Hawari kegagalan pendidikan seks ala Barat karena, Pendidikan seks yang diajarkan ternyata telah menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antarremaja. Jadi yang diajarkan bukanlah soal moral dan etik atau komitmen agama yang melarang dan mencegah hubungan seksual sebelum dewasa dan melalui pernikahan, melainkan bagaimana memenuhi kebutuhan biologis pranikah dan di luar nikah dengan rasa aman. Rasa aman yang ditanamkan di sini adalah rasa aman dari kehamilan, rasa aman dari penyakit kelamin, dan rasa aman dari rasa bersalah apalagi rasa berdosa. Tetapi dalam kenyataannya apa yang terjadi adalah kebalikannya; permasalahan biopsikososial. Hal itu disebabkan karena dimensi "spiritual" atau komitmen agama di abaikan dalam kurikulum "pendidikan seks" (http://www.pelita.or.id/ Sabtu, 16 Februari 2013). Terakhir kita hanya berharap bahwa negeri ini tidak diwarisi oleh para generasi “brengseks” yang tidak takut pada janji azab Allah.

Nashori (1996) menunjukkan angka statistik tentang tentang deviasi (penyimpangan) perilaku anak remaja yang semakin besar dari tahun ke tahun terkait dengan perilaku seks para nikah. Era tahun 1970, penelitian mengenai perilaku seks para nilkah menunjukkan angka 7 â 9 persen. Dekade tahun 1980, perilaku bebas seks pra nikah meningkat menjadi 12 â 15 persen. Berikutnya tahun 1990 meningkat lagi menjadi 20 persen. Kondisi yang demikian itu, seakan ditegaskan oleh hasil penelitian Presidiem SMA Kolese De Brito pada tahun 1994 yang menyatakan bahwa 22 persen pelajar di DIY setuju hubungan seks di luar nikah.

Prof. Dr. Dadang Hawari pernah menuliskan hasil rangkuman beberapa pernyataan dari sejumlah pakar tentang kondom sebagai pencegah penyebaran HIV/AIDS. Berikut sebagian pernyataan tersebut:

  1. Direktur Jenderal WHO Hiroshi Nakajima (1993), “Efektivitas kondom diragukan.”
  2. Penelitian Carey (1992) dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Maryland, USA: Virus HIV dapat menembus kondom.
  3. Laporan dari Konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995): Penggunaan kondom aman tidaklah benar. Pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang; dalam keadaan meregang lebar pori-pori tersebut mencapai 10 kali. Virus HIV sendiri berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian, virus HIV jelas dengan leluasa dapat menembus pori-pori kondom.
  4. V Cline (1995), profesor psikologi dan Universitas Utah, Amerika Serikat, “Jika para remaja percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti mereka telah tersesatkan.”
  5. Hasil penelitian Prof. Dr. Biran Affandi (2000): Tingkat kegagalan kondom dalam KB mencapai 20 persen. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan dari Prof. Dr. Haryono Suyono (1994) bahwa kondom dirancang untuk KB dan bukan untuk mencegah virus HIV/AIDS. Dapat diumpamakan, besarnya sperma seperti ukuran jeruk garut, sedangkan kecilnya virus HIV/AIDS seperti ukuran titik. Artinya, kegagalan kondom untuk program KB saja mencapai 20 persen, apalagi untuk program HIV/AIDS; tentu akan lebih besar lagi tingkat kegagalannya.

american-football-1460541__340.jpg

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!