NAPAK TILAS SANG PENAKLUK EROPA

in resensi •  7 years ago 

Buku_Sejarah_Islam_Muhammad_Al_Fatih_1453___Felix_Y_Siau.jpg

Kota Konstantinopel atau yang kini dikenal sebagai kota Istanbul adalah salah satu kota pelabuhan paling sibuk di dunia pada masanya. Ini dikarenakan posisi strategisnya yang berada di tengah dunia, ‘jembatan’ antara Asia dengan Eropa. Kota ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Turki Utsmani, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara, terutama di Benua Biru Eropa. Konstantinopel ini didirikan tahun 330 M oleh Maharaja Bizantium yakni Constantine I dan menjadikan kota ini sebagai “kota yang paling diinginkan di seluruh dunia.” Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Bahkan, Jenderal Perancis di Perang Dunia I Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, “apabila dunia ini adalah sebuah negara, maka tempat yang paling layak sebagai ibukotanya adalah Konstantinopel.”
Sejatinya, kisah tentang penaklukkan Konstantinopel sudah jauh hari dikabarkan Rasulullah Saw dalam satu hadisnya, dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, tiba-tiba beliau SAW ditanya tentang kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW menjawab,”Kota Heraklius terlebih dahulu (Konstantinopel)”. [H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim]. Dengan demikian, ekspedisi Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II) bukanlah ekspedisi yang biasa, ekspedisi yang dipimpinnya kali ini adalah ekspedisi kerinduan selama 825 tahun.
Pijakan untuk memulai penyebaran Islam ke Eropa dimulai ketika pertama kalinya kontak fisik antara pasukan Muslim dengan pasukan Romawi bertemu di Mu’tah pada bulan September 629 M. Kemenangan saat itu memihak prajurit-prajurit Islam yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, Sang Pedang Allah. Pasca Mu’tah, konflik intens Romawi-Islam kerap terjadi yang memunculkan persaingan Barat dan Timur selama ratusan tahun. Dan, tujuan utama umat Islam; Konstantinopel.
Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Konstantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 669 M/44 H di zaman Mu’awiyah bin Abi Sufyan, khalifah pertama Daulah Umayyah. Akan tetapi, usaha itu gagal. Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190 H. Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656 H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arselan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos (Romanus IV/Armanus), tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.
Awal kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildirim Bayazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Bayazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinopel secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk.
Setelah Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan makin terkonsolidasi, semangat jihad hidup kembali. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II), sultan ke-7 Daulah Utsmaniyyah. Ia jugalah yang kelak mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambol (Islam keseluruhannya). Kini nama tersebut telah diganti oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul. Untuk memperingati jasanya, Masjid Al Fatih telah dibangun di sebelah makamnya.
Dibentuk Sebagai Sang Penakluk
Sultan Mehmed II/Muhammad II (juga dikenal sebagai el-Fatih (الفاتح), “sang Penakluk”, 29 Maret 1432 – 3 Mei 1481) merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika & menguasai 6 bahasa saat berumur 21 tahun. Semenjak kecil, Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Kostantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika beliau naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menaklukkan kota pelabuhan itu. Kekuatan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ulama terulung. Ayah Al-Fatih yaitu Sultan Murad II mengutus Syeikh Ahmad Al-Kurani dan Syeikh Aaq Syamsuddin untuk menjadi pengajar Muhammad Al-Fatih. Sebelumnya, Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama untuk mengajar anaknya itu, tetapi tidak diterima oleh Muhammad II. Lalu, dia menghantar Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Muhammad II jika membantah perintah gurunya.
Waktu bertemu Muhammad II dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan, Muhammad II tertawa. Dia lalu dipukul oleh Syeikh Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Muhammad II lantas setelah itu dia terus menghafal Al-Qur’an dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Syeikh Aaq Syamsuddin, seorang ulama yang nasabnya bersambung pada Abu Bakar Assh-Shiddiq merupakan pengajar Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Muhammad II ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur’an, hadits, fiqih, bahasa (Arab, Persi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.
Syeikh Aaq Syamsuddin lantas meyakinkan Muhammad II bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw. di dalam hadits pembukaan Kostantinopel. Ketika naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Syamsuddin untuk menyiapkan bala tentara untuk penaklukan Konstantinopel. Peperangan itu memakan waktu selama 54 hari. Persiapan pun dilakukan. Sultan berhasil menghimpun sebanyak 250 ribu tentara. Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.
Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel tepat pada tanggal 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT.
Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Pekikan “Allahu Akbar, Allahu Akbar!” terus membahana di angkasa Konstantinopel seakan-akan meruntuhkan langit kota itu. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan dzikir. Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentara Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.
Buku ini dengan runut mengisahkan kejayaan Al-Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel. Kupasan kepemimpinannya, pilihan taktik & strategi peperangannya yang dikatakan mendahului pada zamannya dan juga proses rekrutment prajuritnya dibahas secara lugas. Dengan diperkuat gambar dan ilustrasi menurut sumber aslinya mengajak pembaca seperti sedang menelusuri jejak-jejak kejayaan Islam di abad pertengahan. Terlepas dari misi penulisnya untuk menegakkan khilafah Islam yang tercantum di beberapa lembar akhir buku ini, tentunya buku ini amat layak dibaca sebagai referensi, terutama bagi mereka yang tak ingin terdistorsi dan tercerabut dari rajutan sejarah manusia.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://syukririfai.wordpress.com/2012/12/16/resensi-buku-muhammad-al-fatih-1453/