(Sumber gambar science - IDN Times)
Ibuku pernah berkata, jika seekor kupu-kupu menempel di salah satu sudut rumahmu. Itu berarti kau akan kedatangan tamu.
Perkataan ibu perihal kedatangan kupu-kupu selalu membekas di dalam ingatanku. Sederhana memang, hanya seekor kupu-kupu yang datang bertamu ke rumah kami pada suatu malam. Seekor kupu-kupu berwarna putih abu-abu dan memiliki sayap dengan warna keputihan. Seekor kupu-kupu cantik yang terlihat berbeda dibanding kupu-kupu lain. Seekor kupu-kupu cantik yang menempel di salah satu kursi di sudut ruang tamu kami.
Perihal kupu-kupu cantik yang datang bertamu di suatu malam. Aku jadi ingat perkataan ibu, kami pasti akan kedatangan tamu.
Suamiku, Bang Derga, malah tertawa lebar saat aku menceritakan perihal kupu-kupu yang pernah diceritakan oleh ibu.
“Itu kepercayaan orang dulu!” Katanya dengan wajah menahan tawa. “Mana mungkin seekor kupu-kupu menjadi tanda kalau kita akan kedatangan tamu. Apa hubungan seekor kupu-kupu dengan seorang tamu?”
Bang Derga cekikikan melihat wajahku yang masih serius memandangi matanya. Apalagi ketika aku katakan kalau harus membeli makanan yang banyak untuk persiapan menjamu tamu yang akan datang, Bang Derga gemas melihat ulahku.
Ia memang tak percaya, sama sekali tak percaya. Aku tahu. Tapi, baiklah! Sampai sekarang, aku justru masih percaya dengan ucapan ibu perihal seekor kupu-kupu yang datang bertamu.
Sewaktu kecil, ibu pernah menunjukkan seekor kupu-kupu yang menempel di salah satu ruang keluarga kami. Beberapa hari kemudian, keluarga kami memang benar-benar kedatangan tamu jauh. Adalah paman kami. Ia datang membawa makanan-makanan lezat dari seberang pulau.
Bang Derga masih tertawa mendengar ceritaku. “Itu cuma kebetulan, Sayang.”
“Ya, bisa jadi.” Aku mengangguk-angguk. Meski tidak ada kebetulan untuk yang kedua kali.
Setiap hari, aku menyaksikan seekor kupu-kupu cantik yang masih menempel di ruang tamu kami, di salah satu kursi yang paling sudut. Aku menyentuh sayapnya dengan gerakan lembut. Tetapi, ia tak kunjung beranjak. Ia masih berdiam diri di sana.
Memasuki Minggu kedua setelah kami kedatangan seekor kupu-kupu yang datang bertamu itu, kami masih belum kedatangan tamu.
Ibuku pernah berkata, jika seekor kupu-kupu menempel di salah satu sudut rumahmu. Itu berarti kau akan kedatangan tamu.
“Wahai seekor kupu-kupu yang menempel di ruang tamu. Apakah ada seseorang yang datang?”
Aku hampir gila dan bertanya pada seekor kupu-kupu yang tak akan menjawab pertanyaanku.
Ketika aku pergi ke kantor di pagi hari, kupu-kupu itu masih di sana, menempel di kursi yang paling sudut. Dan ketika pulang di malam yang larut, seekor kupu-kupu cantik itu masih menempel di sana dengan setia.
Aku penasaran, mencoba menghubungi beberapa keluarga jauh. Barangkali diantara mereka akan ada yang datang bertamu ke rumah kami.
“Apa hubungan seekor kupu-kupu dan seorang yang datang bertamu?”
Mereka malah menertawai cerita seekor kupu-kupu yang datang bertamu. Apakah di dunia ini, hanya aku dan ibu yang mempercayai perihal seekor kupu-kupu yang datang membawa tamu?
Ibuku pernah berkata, jika seekor kupu-kupu menempel di salah satu sudut rumahmu. Itu berarti kau akan kedatangan tamu.
Hampir sebulan, kupu-kupu cantik itu masih bertahan di sana. Tapi, kami tidak kunjung kedatangan tamu.
Aku menghubungi teman-teman semasa sekolah dulu. Barangkali di antara mereka akan datang bertamu. Tetapi, seperti biasa, mereka malah menertawai ceritaku. Terbahak-bahak. Cerita konyol! Perihal seekor kupu-kupu yang datang bertamu. Kata mereka, cerita yang paling konyol yang pernah ada. Justru sebaliknya. Menurutku, Ibu benar. Ibu tak pernah berbohong.
Nayla, teman kantor, yang akhir-akhir ini jarang datang ke kantor karena sibuk mengurusi suaminya juga terbahak ketika aku bercerita perihal seekor kupu-kupu yang datang bertamu ke rumah.
“Hahaha… Itu cerita lucu yang pernah kudengar. Apa hubungannnya sekor kupu-kupu dan manusia?”
“Tapi, kupu-kupu itu memang masih di rumah kami, sampai sekarang dia masih menempel di kursi ruang tamu kami.”
“Mungkin kau memang akan kedatangan… tamu. Ehem… bayi…” Ujar Nayla sembari memandangi perutku.
Aku tersentak. Oh, ya, ya, bisa jadi! Bisa jadi kedatangan kupu-kupu itu sebagai jawaban atas doa-doa kami selama ini. Seekor kupu-kupu sebagai penanda kalau kami akan memiliki seorang bayi.
Nayla tertawa.
Aku malah memasang wajah serius. “Tapi, Nay… Aku sudah divonis dokter, aku memang tak akan memiliki keturunan, Nay. Aku wanita mandul.”
Nayla memandang mataku. Ia memelukku.
“Mungkin belum saatnya… Tapi yakinlah, waktunya akan tiba suatu saat nanti.” Ujarnya, semacam member nasihat.
Ibuku pernah berkata, jika seekor kupu-kupu menempel di salah satu sudut rumahmu. Itu berarti kau akan kedatangan tamu.
Aku pulang dari kantor dan aku sudah mencari seekor kupu-kupu cantik itu. Aku mencarinya di ruang tamu, di tempat biasa ia menempelkan tubuhnya. Tapi, tidak kutemukan ia di sana.
Aku mencari-cari. Di bawah kursi, di bawah meja, di bawah bunga-bunga hias, di sekitar guci antik, di balik lukisan-lukisan absurd yang tergantung. Tetapi, seekor kupu-kupu tidak berada di sana.
“Kupu-kupu itu sudah pergi,” gumamku dalam hati sembari mengambil napas lega.
Ketika aku masuk ke kamar, alangkah terkejutnya aku ketika mendapati seekor kupu-kupu cantik itu sudah menempel di tepi tempat tidur kami.
“Kau lihat, kupu-kupu itu masih ada di rumah kita. Sekarang malah berani masuk ke dalam kamar kita…”
Bang Derga tertawa.
“Ya, Tuhan… Kau masih membicarakan kupu-kupu itu?” Bang Derga mensejajarkan bahu kami. Aku bisa memandang matanya lebih jauh. “Jangan percaya dengan kupu-kupu itu. Lupakan, Sayang. Lupakan…” Kata Bang Derga sembari mengecup keningku. Setelah itu, ia mengambil seekor kupu-kupu yang menempel di tepi tempat tidur kami.
“Daripada kau terus membicarakan seekor binatang yang tidak ada artinya ini. Lebih baik binatang ini kusingkirkan saja, ya.” Ujarnya lalu membawa seekor kupu-kupu itu keluar rumah. Barangkali ia membunuh seekor kupu-kupu cantik itu.
Ibuku pernah berkata, jika seekor kupu-kupu menempel di salah satu sudut rumahmu. Itu berarti kau akan kedatangan tamu.
Astaga! Pagi itu, aku sudah berada di Jalan Jenderal Sudirman dan harus kembali ke rumah ketika salah satu berkas kantorku tertinggal. Terburu-buru, aku masuk ke rumah dan membuka daun pintu.
Suasana rumah sedikit hening. Seekor kupu-kupu cantik tidak lagi menempel dan mengganggu pikiranku. Syukurlah, Bang Derga sudah menyingkirkannya.
Langkah kakiku dengan sigap menuju ruang kamar kami. Di sana, aku meninggalkan berkas-berkas penting yang harus kugunakan untuk rapat nanti. Langkah kakiku terhenti ketika daun pintu kamar setengah terbuka dan telingaku mendengar suara-suara.
Aku memajukan sedikit kepala di depan pintu kamar yang agak terbuka dan tampak dua manusia di dalam sana. Aku tidak salah lihat. Aku melihat Bang Derga dan Nayla berada di tepi tempat tidur kami. Sisi tempat tidur di mana aku melihat kupu-kupu pernah menempel di sana.
“Perempuan mandul!!!” Kata Bang Derga sambil tertawa cekikikan. “Dia sudah setengah gila. Setiap hari dia membicarakan kupu-kupu. Sudah gila, kan dia?”
Nayla tertawa.
“Di kantor juga dia membicarakan itu padaku.”
Kedua tangan Nayla melingkar di leher Bang Derga. Bang Derga mengecup kening Nayla dengan perlahan. Lembut,
“Aku mencintaimu, Sayang…”
Ibu, sampai sekarang, aku masih percaya padamu, kalau seekor kupu-kupu akan membawa seorang tamu.
Setetes air hangat terbit dari dua bola mataku.
Dan Ibuku pernah berkata, jika seekor kupu-kupu menempel di salah satu sudut rumahmu. Itu berarti kau akan kedatangan tamu. Sampai sekarang dan seterusnya, aku sungguh masih mempercayai ucapan ibu.