Nganu Nyastra NyasarsteemCreated with Sketch.

in sastra •  7 years ago  (edited)

gambar_abstrak (49).jpg
(sumber: wahok.com)

Hutan tahun menjalarkan ular pada 2000 ranting di 18 pucuk surat:

Jika sudah disentuhkan pada manusia tidak ada yang benar-benar suci. Apa lagi pada politik praktis.

Sastra? Hanya bahan candaan kan? Toh, orang kita akan bersastra-ria tanpa perlu menunggu seorang teoritikus membuat sebuah definisi.

Kritikus? Ada, tetap ada. Tapi berapa yang benar-benar membuat kritik, sangat jarang kan?

Entah, aku tidak tahu persisnya. Ini hanya sebuah dugaan. Karena sastra kita sudah mengiblat ke salah satu penjuru mata angin dari menjadi beliung mengangkat kearifan gugusan sendiri.

Perjalanan sastra dimitoskan hanya sebuah perjalanan tulisan dan pengaruhnya. Tapi disamping itu kita masih daulat tuan pada kemahkotaan.

Jujur, kadang kita bukan pada semak kata-kata lalu merambah rimba-rimba, melainkan kita telah berkutat di antara pemahaman yang berkelelawar pada semak siapa.

Pakai petisi? Hahaha.
Konyol, tradisi balas pantun tak dianggap sastra lagi, mungkin. Wajar tidak ada balasan. Balaslah ir-penya-ir oi, setidaknya pakai rajahlah.

Puisi peti si penyair, sedang peti si pui politisi.

Belum perang kok sudah ingin merdeka. Apa juga teriakkan ini perang kebudayaan.

Kelak akan menjadi 8000 ular pada 100 pucuk di 2 surat kertas:

Pada zaman dahulu para sastrawan membuat petisi dari pada membuat negasi. Hihihi, kata kanak-kanak kepulauan yang bukan lagi berbahasa Indonesia.

20 kucing 18 anjing:

Kusarikan dari percakapan kucingmu--Miau ngiau Ngiau ngiau. Guk guk Guk guk--dan anjingku.

Yi Lawe.
Yogyakarta, 2018.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!