Oleh: Nazar Ashy
Letaknya ± 9 Km arah selatan Kota Lhokseumawe. Simpang Keuramat merupakan salah satu nama kecamatan dalam wilayah pemerintahan kabupaten Aceh Utara. Kecamatan yang memiliki jumlah penduduk 8.653 jiwa ini dulunya merupakan bagian kemukiman dari kecamatan Kuta Makmur.
Dikala pagi menyapa, panorama Gunung Merapi yang terlihat jauh di daratan Gayo sana, seakan menambah keasrian Simpang Keuramat sebagai pelosok dataran tinggi yang mempesona. Terlahir sebagai pribuminya Simpang Keuramat sungguh saat menyenangkan bagi saya. Menyandang nama Simpang Keuramat saat di ’interogasi’ alamat oleh masyarakat luar, saya bak disinyalir bagian dari keturunan-keturunan yang memiliki kelebihan supranatural. Kenapa ? tak lebih karena emble ’keuramat’ nya.
Begitu pun, saya tidak berbusung dada, ya memang saya bukan keturunan ’keuramat’. Seperti lazimnya di ketahui, asal usul nama suatu daerah di Aceh khususnya tidak lepas dari ’sepak terjang’ sejarahnya nenek moyang masyarakat setempat. Begitu juga dengan Simpang Keuramat, yang dalam terjemahan memori kita pasti daerah yang memiliki keajaiban-keajaiban (keuramat nya) penduduk setempat tempo dulu.
Anehnya, sepanjang jalan menuju ke arah Simpang Keuramat tidak ditemui adanya makam-makam atau apa saja yang menandakan adanya peninggalan benda-benda ’keuramat’. Terlintas di pikiran dan benak saya, apa mungkin penyematan kata ’keuramat’ pada nama kecamatan Simpang Keuramat merupakan sebuah mitos yang dibubuhkan orang-orang tempo dulu??
Dengan dasar tugas mata kuliah dikampus untuk menyiapkan sebuah karangan feature, saya sangat berkeinginan untuk menelusuri dan ’menginvestigasi’ jejak nama Simpang Keuramat yang sebenarnya.
Malam itu, Rabu 3 November 2010. Gerimis mulai membasahi ’keude simpang keuramat’ yang tak lain adalah pusat pemerintahan kecamatan setempat. Jarum jam tepat menunjukkan pukul 20.15 Wib saat saya mengeluarkan sepeda motor dari pekarangan rumah. Dengan tanpa ditemani seorangpun, saya melaju ke sebuah perkampungan arah timur Simpang Keuramat. Gampong Mns. Dayah Spk merupakan target saya malam itu.
Berharap hasil tugas yang baik dan penambahan ilmu (saya menamakan ’expedisi sejarah’), dusun Blang Krut yang letaknya begitu terasing dengan ’gampong’ nya itu merupakan lintas ’perjalanan sejarah’ yang harus saya datangi. Desingan sepeda motor memecahkan sunyi nya malam di dusun tersebut yang para penduduknya banyak yang mengurung diri dirumah karena gerimis telah bergerak cepat menyentuh bumi. Maklum November. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah beriklim tropis seperti kita di Indonesia, bulan ’sebelas’ itu merupakan ’bulan hujan’. Tak salah bila Guns ’N’ Roses menciptakan lirik musik berjudul ’November Rain’.
Akhirnya, saya sampai disebuah pintu pagar rumah. Lampu rumah Tgk. Abu Bakar Makam masih terang. Menandakan beliau masih belum beranjak ke peraduan. Dengan kondisi badan sekali-kali menggigil dingin, saya ketuk pintu rumah yang sekarang tepat di depan saya.
”Assalamu’alaikum Abi..”, sedikit tinggi nada suara saya supaya terdengar oleh tuan ruma kala itu.
”Wa’alaikumsalam.., drokeuh agoe. Tameung nyak..”, Tgk. Abu Bakar Makam yang dipanggil Abi Nek oleh keluarganya mempersilakan masuk.
Tgk. Abu Bakar, pria kelahiran 7 Januari 1929 bisa dikatakan salah seorang tokoh yang tau banyak tentang sejarah daerah. Tidak heran, beliau juga merupakan ’orang yang dituakan’ dalam struktur KPA (dulunya GAM) daerah setempat.
Ruang tamu yang tidak begitu luas, namun nyaman dipandang mata itu langsung saya tempati. Tanpa ’ba bi bu’ panjang lebar, Keuchik Abu, begitu panggilan populernya langsung menanyakan hal ihwal kedatangan saya ke rumahnya.
”Puna pakat malam-malam nyak..”, tanya beliau.
Setelah menceritakan maksud saya menyambangi rumahnya dari awal, akhirnya beliau berujar. ”Nyoe meunan, bah jinoe loen celitra (cerita)” .
Tahun 1958, areal ’keude simpang keuramat’ sekarang merupakan rawa-rawa yang maha luas. Tidak banyak masyarakat yang menghuninya. Kala itu, ’simpang keuramat’ telah dihuni oleh 1-3 kepala keluarga yang membuka usaha dengan berjualan pliek u (patarana). Se ingat Keuchik Abu, Tgk. Marhaban dan Ampon Samidan merupakan ’dalang utama’ dalam mencetuskan pedesaan waktu itu. Gubuk-gubuk kecil berbahan bambu didirikan sebagai tempat mereka membuka usaha. Masyarakat dari Buloh Blang Ara saat itu banyak yang mengunjungi sekadar melihat-lihat bagaimana Tgk. Marhaban, Ampon Samidan dan beberapa keluarga kecil lainnya dengan tanpa mengenal lelah saban hari membersihkan rawa kemudian menimbunnya hingga tampk luas bak sebidang lapangan bola kaki. Setelah mereka berembuk, akhirnya masyarakat ’rawa’ tersebut waktu itu menemakan tempat mereka dengan Simpang Peut Keuramat (Simpang IV Keuramat). Alasannya, tepat di pinggiran rawa yang mereka huni terdapat persimpangan empat arah. Dan uniknya kemana pun arah yang akan dilalui, tak sulit untuk menemukan makam/kuburan yang di anggap ’keuramat’ dalam sejarah walaupun letaknya tak persis di pinggiran jalan. Arah utara menuju ke Buloh Blang Ara disitu terdapat pusaranya Paduka Tuan, Selatan ke arah Kilometer VIII kita dapat menemukan kuburannya Tgk. Keuramat, Barat ke Alue Lim kita dapat mendapati makamnya Tgk. Di Banda, dan Timur tertuju ke Blang Mangat dapat kita temukan makamnya Tgk. Di Syahid. Hingga saat ini, penulis belum mendapatkan sumber yang bisa memberitahukan nama asli dari tokoh-tokoh ’keuramat’ tersebut. Konon kabarnya, beberapa penduduk yang rumahnya tidak jauh dari areal makam Paduka Tuan sering melihat cahaya putih menjulang keluar dari makamnya. Kejadian tersebut kerap terjadi kala malam jumat dinihari. Dan banyak masyarakat yang bernazar (kaul) dengan berkah nama-nama mereka, alhamdulillah dikabulkan maksudnya oleh Allah. Untuk mencapai makam/kuburan tersebut, kita harus rela untuk sedikit bersahabat dengan yang namanya ’rimba’.
Dalam rentangan tahun 1953-1962, kala itu DI/TII di Aceh meletus, perkampungan Simpang Peut Keuramat semakin banyak di huni oleh masyarakat pendatang. Penduduk dari Buloh Blang Ara sangat tertarik untuk mendiami perkampungan itu. Mereka juga ’mengungsi’ dari ketidaknormalan suasana desa mereka sendiri waktu itu karena ’penjajah’ Belanda telah menginjak kan kakinya di Beureughang. Tahun terus beranjak dari lamunannya. Pada suatu ketika, Simaang Peut Keuramat berubah menjadi perkampungan yang ramai. Tgk. Syech Ahmad kala itu di percayakan sebagai Qadhi (semisal Bupati sekarang) yang berpusat di Keude Simpang Peut Keuramat. Sedangkan Asisten Qadhi (semisal Camat sekarang) yaitu M. Kasem Rusydi menetap di kemukiman Buloh Blang Ara. Dalam memori Keuchik Abu, Syech Ahmad lah yang mengubah Simpang Peut Keuramat menjadi ’Simpang Keuramat’ seperti nama yang kita kenal sekarang. Tanpa penyematan ’Peut (IV)’ nya.
Tujuan Syech Ahmad mengsimplekan nama ’Simpang Keuramat’ agar mudah pengucapan dan pengingatan masyarakat. ’Simpang Keuramat’, itu lah nama yang diketahui oleh mayoritas ’generasi simpang keuramat’ sendiri. Mereka kurang tau, bahkan tidak tau, barangkali tidak mau tau, bahwa ’Simpang Keuramat’ sekarang merupakan ’pembuangan’ nama dari Simpang Peut (IV) Keuramat. Bisa diyakini dan patut diketahui, ’Simpang Keuramat’ adalah persimpangan untuk menuju ke arah makam-makam keuramat. Persimpangan tersebut sampai sekarang ’masih’ terletak di pusat keude. Di persimpangan itu pula, telah didirikan pintu gerbang bak pintu istana yang seolah-olah, gapura itu berkata, ” Selamat Datang Ke Simpang Keuramat”.
Saat ini, kebanyakan masyarakat sebatas mengetahui bahwa nama ’Simpang Keuramat’ merupakan nama yang pindahkan tempatkan dari suatu persimpangan di Gampong KM VIII yang terletak 8 Km arah Selatan Keude Simpang Keuramat itu sendiri.
Gerimis masih sendu berirama. Dua jamlebih saya telah menghabiskan waktu bersama Keuchik Abu. Tak terasa lama. Aliran noktah sejarah seakan membawa saya ke alam bawah sadar bahwa jarum jam telah standby di pukul 22.45 Wib.
Tidak berapa lama, saya mohon izin dari ’sumber sejarah’ itu. Lampu-lampu ruang tamu rumah penduduk dusun Blang Krut telah padam. Mereka telah bermimpi bersama dinginnya malam. Tidak dengan saya. Laju motor memaksa saya untuk berkonsentrasi dengan jalan yang berkubang lumpur. Namun, perasaan kesal dengan badan jalan, rasa kantuk yang tak tertahankan, musnah seketika tatkala ’sebungkus sejarah’ yang telah saya temui.
Sejarah yang menjadi ’cambuk’ motivasi bagi saya untuk terus berbangga sebagai ’mustautin’(bertanah air) nya Simpang Keuramat.