Ada yang menikmatinya sendiri, ada yang ber-dua, ber-tiga, ber-lima, bahkan ber ber ber.. Ada yang sambil bicara dengan orang disebelah, ada yang bicara tak putus-putus bergantian, ada yang sibuk bergelut dengan kertas dan laptopnya, ada juga yang hanya duduk diam, tersenyum, tertawa sendiri sambil matanya tak lepas dari hpnya.
Ada lagi...
Ada bapak-bapak, ada anak muda, ada yang setengah muda, ada pula yang tua bangka. Ada anak sekolahan, anak kuliahan, orang kantoran, bahkan pejabat negara pun ikut menikmatinya.
Kalau kita perhatikan lagi, ternyata semua kalangan menikmatinya.
Pernah nonton atau baca cerita Cut Nyak Dien arahan sutradara Eros Djarot yang diproduksi pada tahun 1987?
Teuku Umar yang diperankan oleh Slamet Rahardjo memberikan semangat kepada pasukannya sebelum pertempuran melawan Belanda di Meulaboh, pertempuran yang akhirnya menewaskan Teungku Umar. Ia berkata, “Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid”. (Besok pagi kita akan minum kopi di Kota Meulaboh atau aku akan syahid)
Ujaran Teuku Umar ini tertulis dalam prasasti di depan pintu masuk makam Teuku Umar. Kutipan itu merupakan bagian dari cerita rakyat turun-temurun, yang dipercaya sebagian besar warga Meulaboh.
Adapun prasasti ini dibuat jauh setelah Belanda angkat kaki dan dirinya dari Aceh dan Indonesia.
Ujaran ini melegitimasi bahwa kebiasaan minum kopi di Aceh sudah ada sejak awal abad 20, tepatnya setelah Belanda menanam kopi besar-besaran di dataran tinggi Gayo, Aceh.
Sekelompok penikmat kopi bisa berganti-ganti topik pembicaraan puluhan kali. Semua topik mampu dipresentasikan, termasuk soal politik. Penikmat kopi adalah pengamat politik yang handal. Gaya bicaranya sungguh meyakinkan.
Tidak hanya itu, mereka juga pengamat ekonomi mumpuni yang lahir secara otodidak. Menjadi kritikus pemerintah yang lihai.
wahai engkau yang telah dikutuk menjadi pemerintah, datanglah kemari. Banyak cerca yang telah kami siapkan untukmu. Ceritakan apa saja yang menjadi masalahmu. Mungkin basa-basi kedai kopi bisa menjadi solusi.
Tradisi minum kopi di kedai kopi tampaknya merupakan pengejawantahan demokrasi yang sesungguhnya. Di sana siapapun bebas berekspresi. Mengeluarkan pendapat, berkomentar, dan bahkan mengkritik, menghina, sekalipun dilakukan tanpa adanya rasa takut ditekan.
Untuk menjumpai seseorang yang kita inginkan pun, kita harus memantau kedai kopi mana yang sering dia kunjungi sebelum akhirnya bisa kita jumpai dan melobby.
Begitu kerennya kedai kopi.
Jangan heran bila pada akhirnya mungkin kedai kopi menjadi sosial media yang nyata. Tak perlu lagi melihat pertemanan di facebook, twitter, ig dsbnya. Cukup ke kedai kopi untuk meng-add pertemanan, dan tidak butuh waktu lama untuk menunggu di konfirmasi. Begitu kerennya kedai kopi.
Di sana mereka saling berbagi informasi dan saling memperbarui informasi. Semua informasi dari yang sangat penting sampai tak bernilai apapun ada dikedai kopi. Tentu kita tak pernah menduga dan menyangka bahwa ditempat-tempat pelosok negeri seperti di warung-warung kopi inilah demokrasi negeri ini dapat kita bangun.
Tulisan apa ini?? Semakin gak beraturan ceritanya. Sudahlah, yang penting hari ini saya sudah menyelesaikan satu tulisan lagi untuk menambang pundi-pundi emas.
Selamat, selamat!
Beres kali wak, lanjutkan, tombol vote udah siap. Haha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit