Bertahun-tahun menjadi orang disiplin, rajin dan mentaati Pak Guru dan Bu Guru ketika masih menimba ilmu di sekolah. Tidak pernah melanggar aturan sekolahan. Fokus di kelas ketika mendengarkan guru menjelaskan pelajaran di sekolah dan aktif bertanya, sering pula menanya hal yang sesungguhnya telah diketahui jawabannya. Tidak ngerokok, tidak pernah bolos apalagi tawuran. Semua catatan keteladanan disapu bersih oleh siswa teladan di sekolah untuk mendapatkan prediket orang baik.
Ketika lulus sekolah, mereka melamar perguruan tinggi negeri yang populer, diterima sebagai mahasiswa undangan karena sekolah menilai prestasi akedemiknya sangat memuaskan. Setelah masuk atmosfer universitas, prilaku dan kebiasaan teladan di sekolah dijalankan kembali, menjadi mahasiswa aktif di kelas, di organisasi, kenal baik dengan dosen, ikut lomba-lomba ilmiah dan mendapatkan gelar cumlaude ketika lulus sarjana.
Entah apa yang terjadi ketika mereka berada di tempat kerja, mereka merubah haluan. Segala hal yang dulu dilakukan bahkan prilaku yang dulu dilakukannya di sekolahan hingga menjadi sarjana tidak lagi dilakukan bahkan sengaja tidak dilakukan, seakan-akan kepalanya habis di pukul benda tumpul hingga mengalami amnesia. Ketika berada di tempat kerja segala disiplin, rajin dan aktif tidak lagi dihiraukan. Mereka menjadi liar tidak karuan, seakan-akan seperti singa yang kelaparan yang dilepaskan dari kandang jeruji. Perlahan sisi peduli mereka hilang, ilmu yang dikumpulkan, ajinya berkurang dikarenakan ilmu hanya dijadikan media tambang kekayaan.
Mereka bangga ketika tampak di dunia kerja dikenal sebagai orang yang rebellion menentang segala macam aturan. Lalu muncul pertanyaan, kenapa ya dulu ketika sekolah, mereka yang bayar sekolah, malah mereka merasa terikat oleh kewajiban-kewajiban yang mengekang jiwa pemberontakannya. Padahal mereka bayar sekolah. seharusnya mereka berhak ya, untuk bertindak semaunya. Toh mereka yang bayar kok, kalau rugi kan rugi sendiri tidak merugikan pihak lain. Sekarang mereka yang dibayar malah bangga ketika melakukan tindakan yang merugikan lembaga atau perusahaan yang membayar mereka. Padahal hak dan kewajiban mereka lebih jelas sekarang, bahwa ketika mereka di bayar, harus benar-benar mendahulukan dan menjalani kewajiban mereka.
Sungguh terbalik paradigma mereka tentang hak dan kewajiban. apakah mereka meletakkan koordinat hak dan kewajiban diproyeksikan di proyeksi datum yang berbeda dengan frame peta kehidupan semestinya , sehingga posisi hak dan kewajiban yang ada di hati dan pikiran mereka, tidak berada diposisi yang semestinya.
Mereka sekarang memegang kendali dilembaga-lembaga resmi negara. mulai menjadi abdi negara hingga menjadi pemimpin. Ribuan unit-unit kerja tersebar dibawah kendali mereka, menjadikan lembaga terkotak-kotak dengan ribuan ambisi pula.
Akibatnya unit-unit kerja tetap menjadi ribuan unit tidak menjadi 100 unit kerja yang terintegrasi, 10 apalagi 1 kesatuan lembaga negara. semua mempunyai ambisi untuk unjuk gigi dan menyampingkan keinginan untuk bersatu. Bagaikan ribuan butiran air yang memilik ribuan gaya tekanan tinggi yang berbeda satu sama lain. sehingga ribuan butiran air tersebut tidak pernah menjadi air hanya menjadi embun saja yang mana ketika terkena sinar matahari langsung hilang menguap ke udara. Padahal sejatinya air terdiri dari butiran-butiran fluida kecil yang tak berdaya, namun mereka menyatu dan sepakat mengikuti satu tekanan tinggi, sehingga walupun mereka cair namun karena mereka saling berintegrasi air, menjadi salah satu sumber daya alam yang paling berharga di dunia ini.
Lucu sekali, padahal dulu di sekolah tidak pernah tawuran kenapa malah sekarang siswa-siswa teladan tersebut kelak menikmati menjadi preman ketika berkarya di kanca dunia kerja. Fenomena ini terjadi karena apa? apa yang menyebabkan mereka dulu teladan sekarang malah menikmati menjadi preman. Telat nakalnya? apa dulu mereka puasa menjadi orang brutal? yang jelas, hal ini terjadi dikarenakan mereka tidak murni ketika menjadi sesuatu. Ketika mereka menjadi siswa teladan mereka sesungguhnya melakukan itu bukan karena keinginan murni untuk menjadi insan teladan, namun karena teladan itu dapat menjadikan mereka sosok yang diperhatikan dan dikagumi oleh publik.
Ketika mereka mencari pengetahuan belajar mati-matian bukan untuk memahami sebuah pengetahuan itu secara tuntas. Mereka belajar mencari pengetahuan dan berhenti ketika mendapatkan penghargaan duniawi, untuk mendapatkan pengakuan, untuk bahan pamer dan untuk menumpuk kekayaan. Mereka lupa kalau pengetahuan merupakan proses mendapatkan ilmu. Mereka mabuk tidak sadar bahwa ilmu merupakan alat untuk merasakan kehadiran. kebesaran, Sang Pencipta serta, sebagai cahaya bagi mereka untuk berjalan di gelapnya lembah kebodohan di dunia.
Ketika mereka memiliki ilmu mereka malah tawur dengan orang-orang yang juga memiliki ilmu. mereka ahli kitab, hafal kitab suci dan aturan lainnya. Saling protes menyalahkan, menggiring publik untuk menjadi pengikutnya. tawuran di belakang, rukun di depan lawan. Sepertinya malaikat sebagai assesor manusia sekarang memiliki form yang sangat kompleks dalam mengaudit makhluk-makhluk ciptaan Sang Pencipta. Parameter orang baik sekarang tidak sesederhana dulu, mana yang baik dan buruk sudah sulit dibedakan.
Mungkin para malaikat meminta bantuan setan dan iblis untuk menyusun form audit prilaku khusus manusia. Sepertinya mereka sudah dilebur jadi satu oleh tuhan ke dalam satgas penilaian prilaku manusia. Berkat kita, dua golongan yang menurut umat manusia saling berlawanan kini bersatu. Sukurlah pak, kita menambah pekerjaan baru bagi mereka, tapi gk apalah pak, itung-itung manusia menjadi hiburan bagi seluruh mahluk yang ada di alam semesta ini. Bangsa jin sudah jarang menakut-nakuti manusia loh pak, mereka asik menonton kita.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit