Malam Minggu Bersama Emel
Cerpen @ayijufridar
KETIKA ketua DPRD menjumpai konstituennya di masa reses, ia berpidato bahwa dalam waktu dekat akan mengundang investor luar negeri untuk menanam modal. Perekonomian di daerah akan tumbuh sehingga tersedia lapangan kerja yang cukup bagi generasi muda selaku angkatan kerja produktif.
“Di sini akan dibangun pabrik tektil..!” katanya penuh semangat.
Ajudannya yang berdiri di belakang langsung mengingatkan; “Kurang ‘S’, Pak…” katanya dengan nada berbisik.
“Sekalian pabrik es-nya kita bangun!” sambung ketua DPRD yang disambut hadirin dengan tepuk tangan bergemuruh.
Seusai pidato itu, Dimas langsung menjumpai ketua dewan yang terhormat itu. Iseng-iseng ia bertanya apa yang dimaksud dengan ‘tektil’ tersebut dan apa hubungannya dengan pabrik es.
“Itu lho, usaha yang memproduksi garmen. Pakaian dan sebagainya.”
“Jadi, kenapa perlu pabrik es?”
“Tadi katanya kurang es?”
Dimas tersenyum lebar untuk menahan tawanya. “Maksudnya Pak, kata yang benar itu tekstil, bukan tektil.”
Kalau Dimas berhasil menahan tawanya, tapi tidak demikian dengan orang-orang sekitar yang mendengar percakapan itu. Mereka tertawa terbak-bahak. Padahal, tadi ketua DPRD tersebut sudah mengucapkan kata yang sama dalam pidatonya. Mungkin tadi para hadirin nggak ngeh dengan kata tersebut.
Itulah awalnya. Bapak Awaluddin Arifin yang terhormat itu merasa dipermalukan di depan umum yang notabene adalah konstituennya. Dia malu tak kepalang tanggung. Dan yang lebih membuat malu lagi, dia diingtkan oleh Dimas Sambo, seorang jurnalis kampus yang baru seminggu punya kartu pers. Kalo wartawan sekelas Ibrahim Pase, mungkin tak jadi masalah. Tapi tentu aja Ibrahim Pase punya pikiran panjang untuk nggak mempermalukan seorang ketua dewan di hadapan khalayak pemilihnya dalam pemilu lalu.
Tapi selaku politisi, Pak Awaluddin tidak memperlihatkan ketersinggungannya. Dia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kendati dalam hati dia sudah kesal sama wartawan ceking itu. Menurutnya begitulah komunikasi politik yang benar; mampu menyembunyikan isi hati sebenarnya.
Kejadian itu hampir dilupakan Pak Awaluddin kalau aja Dimas tidak membuat ulah lagi. Seusai wawancara bersama sejumlah wartawan di ruang kerjanya, tiba-tiba Dimas meminta nomor ponselnya. Dia langsung berikan sebuah nomor yang memang secara khusus diberikan untuk orang yang baru dikenal dan tak terlalu penting. Dimas baginya termasuk wartawan tidak penting. Majalah kampus, berapa ‘sih oplahnya. Paling yang baca mahasiswa dan sebagian kecil kalangan kampus. Mungkin setelah empat atau lima edisi, majalah itu sudah almarhum karena ketiadaan dana. Biasanya begitu nasib majalah kampus.
Setelah memberikan nomor hp, tiba-tiba Dimas bertanya apakah Pak Awaluddin punya email atau tidak. Sungguh, Pak Awaluddin tak mengerti email itu apa. Tapi biar nggak keliatan bodoh, dia menjawab asal aja; “Dulu sih ada. Tapi sekarang sudah saya jual!”
“Emangnya kambing, Pak. Bisa dijual,” sahut Dimas yang membuat seluruh wartawan yang ada di sana tertawa. Bahkan ada yang megang-megang perut saking gelinya.
Bukan main malunya Pak Awaluddin diperlakukan seperti itu. Tapi seperti kasus pertama, dia hanya tersenyum untuk meredam kemarahannya.
Pulangnya di rumah, Pak Awaluddin bertanya kepada Sheila, putrinya yang masih kelas dua SMA.
“Emel itu apa, sih?”
“Bukan emel, tapi email. Itu surat elektronik. Papa sudah waktunya punya email agar mudah menerima aspirasi rakyat yang tak bisa jumpa dengan Papa secara langsung. Papa harus punya blog juga. Nanti Sheila buatin kalau Papa mau. Ada kawan Sheila yang jago soal itu. Atau bila perlu buka akun di Steemit sekalian. Itu platform yang keren, Pa. ”
Pak Awaluddin hanya manggut-manggut saja. Nggak berani cerita kejadian tadi siang di kantor karena malu dengan Sheila. Dalam hati ia berjanji akan membuat emel, eh, email suatu hari nanti.
Sejak saat itu, nama Dimas mulai melekat di hati Pak Awaluddin kalo ia berjumpa dengan wartawan. Ia pikir kejadian memalukan tersebut sudah berakhir. Dia tidak mau lagi menjadi bahan tertawaan di depan khalayak. Namun, kenyataannya tidak begitu. Kejadian tersebut berulang kembali ketika sejumlah wartawan konfirmasi soal rencana alokasi dana aspiratif bagi seluruh anggota dewan. Maksudnya, dana itu dialokasikan bagi sektor pendidikan, kesehatan, dan sebagainya di daerah pemilihan masing-masing anggota dewan. Meski usulan dari anggota dewan, tapi mereka nggak pegang uangnya. Uang tetap ada pada masing-masing dinas teknis.
Namun, kalangan LSM dan orang-orang yang menyebut dirinya pemerhati sosial, atau yang mengaku aktivis antikorupsi, pada protes dengan alokasi dana yang mencapai Rp10 miliar per anggota dewan. Mereka bukan saja menilai jumlahnya terlalu banyak, tapi juga rawan penyelewengan.
Sejujurnya, Pak Awaluddin juga nggak setuju dengan alokasi dana tersebut. Tapi partai dan fraksinya setuju. Demikian juga dengan anggota dewan dari partai lain. Kalau dia bersikeras menolak, bisa-bisa nanti dimosi tak percaya.
Untuk itulah, para wartawan konfirmasi alokasi dana aspiratif tersebut. Dimas terlihat di antara wartawan yang mencegat Pak Awaluddin seusai rapat anggaran dengan pihak eksekutif.
“Wah, kalau soal dana aspiratif itu, untuk sementara saya no commitment. No commitment…” sahut Pak Awaluddin berulang-ulang.
“Bukan no commitment, Pak. Mungkin maksudnya no comment…” sahut Dimas. Seperti yang sudah-sudah, kalimat Dimas selalu disambut dengan derai tawa para wartawan dan sejumlah pejabat eksekutif yang kebetulan melintas. Merah padam muka Pak Awaluddin. Kali ini dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi dengan senyum. Dia buru-buru meninggalkan tempat itu dan masuk ke dalam mobilnya dengan alasan sudah waktunya salat dan makan siang. Dengan cara itulah dia menyelamatkan diri untuk sementara.
PAK AWALUDDIN mengakui, yang dikatakan Dimas memang benar. Tapi janganlah main tembak langsung di depan umum begitu. Dasar anak sekarang, tidak bisa menghormati orang tua. Katanya sih demokrasi. Padahal, kalau salah menerapkannya, demokrasi cuma beda tipis dengan democrazy. Demokrasi seharusnya jangan menggilas nilai-nilai ketimuran yang santun. Dia marah betul dengan cowok ceking itu.
Makanya pas malam Minggu ia melihat Dimas berdiri di depan pintu rumahnya, Pak Awaluddin tidak mampu menahan emosi. Mereka sama-sama kaget. Dimas tak menyangka akan disambut Pak Awaluddin, dan Pak Awaluddin tak menyangka wartawan ceking itu akan ke rumahnya.
“Tidak ada konfirmasi di rumah. Urusan kantor, di kantor!” tegas Pak Awaluddin tanpa menyuruh Dimas masuk. Sebenarnya, dia beralasan saja gitu. Wartawan senior sekelas Ibrahim Pase sering konfirmasi ke rumahnya dan selalu dilayani dengan ramah.
Cowok ceking itu tampak gelagapan. Penampilannya lain dari biasa. Kalo hari-hari ia terlihat berkaos dekil dengan jins butut, malam ini terlihat lebih rapi. Kemeja dan dimasukin ke dalam meski tetap dengan jins, tapi bukan jins butut.
“Eh, anu Pak. Saya bukan mau konfirmasi. Tapi mau jumpa dengan Sheila,” sahutnya gugup.
“Tidak bisa. Dia lagi belajar!”
“Tapi kami udah janjian, Pak.”
“Janji dibatalin, dan kamu boleh pulang.
“Tapi Pak. Kami…”
“Tak ada tapi-tapian. Kamu boleh pulang sekarang!”
Saat mendengar suara papanya membentak, Sheila tiba-tiba ke luar. Dia melihat Dimas yang berdiri di teras dan papanya yang berkacak pinggang di bawah bingkai pintu. “Lho, Bang Dimas kok nggak disuruh masuk, Pa?” katanya sembari menerobos pintu hingga papanya menyingkir. Lalu dia menarik tangan Dimas ke dalam. Papanya hanya bisa melongo.
“Bang Dimas ini lho yang mau bikin akun Steemit Papa. Bikin blog Papa,” kata Sheila ketika melihat papanya masih diam tanpa kata di dekat pintu.
“Blog itu apa lagi?”
“Papa bisa masukin agenda kerja di situ. Apa saja yang sudah diperjuangkan dewan untuk rakyat bisa dibaca di situ. Rakyat juga bisa memberi kritik dan saran di blog Papa,” jelas Sheila sembari nyuruh Dimas duduk di sofa. Tapi karena Pak Awaluddin masih berdiri, Dimas memutuskan untuk tetap berdiri.
Mulut Pak Awaluddin terkunci. Tidak menyangka ternyata Sheila malah minta bantuan pada Dimas. Padahal, Dimas adalah satu-satunya wartawan, masih pemula pula, yang dibenci Pak Awaluddin. Kini Dimas malah yang akan jadi pahlawannya.
Sebagai politisi, Pak Awaluddin terpaksa tersenyum ramah kendati kemarahannya terhadap cowok ceking itu belum reda.
“Selain blog, tolong buatin emel juga,” katanya kemudian.
“Bukan emel, Pa. Email,” ralat Sheila.
“Mau emel kek, mau email kek, mau Ismail kek, terserahlah!” sahut Pak Awaluddin. “Pokoknya aku harus punya itu. Buat yang bagus, jangan cepat basi.”
Sheila dan Dimas tertawa.
“Kalo email bisa kelar malam ini. Tapi kalo akun Steemit mungkin kita isi datanya lain waktu, Pak. Butuh waktu untuk menunggu konfirmasi dan password di Steemit, Pak,” jelas Dimas.
“Aku tahu. Malam Minggu depan kamu mau kembali lagi ke sini, kan? Aku juga pernah muda meski zaman dulu belum ada emel.”
Sheila dan Dimas kembali tertawa.***
mantap
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih @klen.civil. Saleum.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Si Emel nya dijual? H3he... Lha yg ngangkat Bpk itu sbg ketua DPR K itu siapa? kasihan betul rakyat Kabupaten tsb...😂😂
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Itu kisah aseuli yang saya dengar dari kawan wartawan Pak @ismadi. Terima kasih sudah singgah di lampoh saya. Saleum.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Mantaapzz bg
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih CD @wahyuddinalbra.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hehehe. Tlg jual email saya jg ya
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Siap CD @wahyuddinalbra. Asal harganya cocok.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bereh
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Thanks so much @dahlanaceh.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sakit perut bacanya! Hahaha.... Jadi teringat ada seseorang yang meminta saya membantunya belajar pakai "brutu" di HP-nya. Hahaha... bluetooth! Bukan brutu! Mana ada pantat ayam bisa dipakai di HP... wkwkwk....
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sista @mariskalubis percaya tak, sebagian joke di atas beneran terjadi, termasuk ketika dua wartawan mendapat jawaban no commitment terhadap konfirmasi mereka. Maksudnya sih, no comment.
Ada juga anggota parlemen studi banding ke kota di Jawa dan mereka naik kereta api ketika menuju sebuah kota. Petugas kereta api bertanya ke seorang anggota dewan, "Bapak eksekutif, ya?" Maksudnya tiket Bapak yang terhormat itu kelas eksekutif. Langsung dijawab; "Bukan, saya legislatif!"
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
😂😂😂😂. Kasihan sekali rakyat yg telah mengangkat BPK2 itu sbg anggota Dewan. Tp ngomong2 itu kisah nyata di Kab/kota/ Prov mana nih...?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahahahaha.... Nanti saya kasih bocorannya Pak @ismadi...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sudah saya upvote, tolong upvote balik blog saya
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih @daeng.adi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Cant help to read this. ..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
If you smile went read this short story, I will get success @alchaidar. Thanks so much
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kisahnya lucu, memang itu bisa saja terjadi karena gagal komunikasi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Gagal komunikasi atau gagap komunikasi @suci? Atau gaptek alias gagap teknologi?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
kerak,
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hangus sampai berkerak barang @masriadi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Wah ini yang salah partainya atau pemilihnya ya?
Kalo ada sekelas ketua DRPD yang seperti itu? Hadehh ,kasihan rakyatnya,
atau kaderrisasi di partainya macet?
Atau nepotisme atau uang ya? Kok ada kerua DPRD kayak gitu? Hahahahaha, mantap ceritanya bang
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Makasih Bro @kunrishartanto. Kejadian sebenarnya nggak segitunya kale. Cuma ditambah imajinasi agar efek drama komedinya lebih kental, hehehehe... Terima kasih.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
wkwkwkwk ternyata sense of humor banya AJ sangat bagus. Ini kisah nyata yg dikemas sangat apik dalam sebuah cerita fiksi.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya suka menulis dalam berbagai genre @bahagia-arbi. Di majalah Anita dulu pernah ada cerita serial komedi situasi yang dipesan khusus redaksi. Saya pernah satu kali diundang. Ceritanya ringan, lucu, tapi juga punya pesan yang kuat bagi pembaca. Trims responnya
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Halo @ayijufridar! Posting bagus dan sudah kami upvote.. 😀
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Thanks so much @puncakbukit.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Setengah nyata ya bang. wkwkwk
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Pasti masih ingat sebagian kisah ini @mushthafakamal...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya hanya ingat bagian "komitmen", itupun cerita saat ngelawak..haha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit