In Memoriam: The Going of the Literacy Struggle from Indonesia: Hernowo Hasim | Bilingual |

in steemit-writing •  6 years ago  (edited)



When I opened my Facebook account, I read the shocking information on Helvi Tiana Rosa's wall—a female writer in Indonesia. She wrote a poem as an introduction. I wonder what prompted me to continue reading poetry to the end and closed with the death information of two authors. One of them is a female author who I often hear her name. And another one, this is a surprising part, Hernowo Hasim, author of a number of bestseller books in Indonesia, past away also.

I immediately find out in the search engine about the news of the death of Hernowo Hasim. Hardly found at all. There is only one or two pieces of information, even in some people's personal blogs and in a blog run by people closest to Mas Hernowo in Publisher Mizan, many books Hernowo Hasim published publishers based in this city of Bandung. Two information about Hernowo Hasim's past away I got here link and here link.

How could the achievements of Hernowo Hasim who wrote about 24 bestsellers in four years, not recorded a lot of mass media. How could the departure of the literacy fighter-so many people filling it-did not appear in a number of mainstream online media in Indonesia. Is this an indicator of how indifferent the Indonesian people-even the press that stands in front of the literary struggle—is not interested in literacy?

I hope this hypothesis is not correct. Hopefully the search engines do not summarize all the news about the departure of Mas Hernowo Hasim.


Hernowo Hasim became known after the book Mengikat Makna (The Binding Meaning) became one of the bestseller books in Indonesia. But I know it through another book that also became a bestseller, Andaikan Buku itu Sepotong Pizza (Suppose the Book is a Piece of Pizza). Incidentally, at the end of the book he put his email address and it is common in the author's biodata page.

I often to send email writers, discuss book material, give a few notes or stuff. However, many do not respond and I assume they include email addresses just plainly without actually reading incoming emails from people they do not know yet. One of the two writers who responded and looked less enthusiastic.

Hernowo Hasim is different. I still remember my message back then in an email about pizza. There is a section, tell my Mom does not really like the pizza because the cheese is long like jackfruit sap when pulled. Mas Hernowo says the pizza is just a parable. Think of it as our favorite food and not pizza. Obviously, our book greedy with pleasure as if that is the last food we can enjoy.

Our discussion continues to the creative process of each. I consider learning from our communication via email which then continues with the short message service on mobile. According to me, Mas Hernowo is very diligent and meticulous. He does things that are commonly known in the world of literacy, but his persistence and creativity give him another color.

One time, he attended a literacy event in Medan, North Sumatra. To a journalist who interviewed him he claimed to have a journalist friend in Aceh. His name is Ayi Jufridar. The journalist told me about it. I am really touched because we never met until he breathed his last in Bandung, on Friday, May 25, 2018. So far, we only communicate via email and mobile only. He once invited me to his house if to Bandung. I really regret not contacting him when several times to Bandung.

Our last communication took place in July 2016. I reopened the book Flow in Socmed Era and was surprised to see the note that the book I bought also Friday 29 July 2016 in Gramedia Depok. At that time there was an event on oil and gas for academics at the University of Indonesia campus. I sent my photo with the book to WhatsApp Mas Hernowo. We also discussed little books about writing, reading and building communication civilization.

Now Mas Hernowo Hasim has been gone forever without we have time to meet. The sciences of Hernowo Hasim remain immortal to the legacy of literacy connoisseurs in Indonesia, and that became the good rewards for Hernowo Hasim, the struggle literacy from Indonesia.[]






Perginya Hernowo Hasim, Sang Perjuang Literasi (in Memoriam)

Tatkala membuka akun Facebook, saya membaca informasi mengejutkan di dinding milik Helvi Tiana Rosa—penulis perempuan di Indonesia. Dia menulis sebuah puisi sebagai pengantar. Entah apa yang mendorong saya untuk terus membaca puisi sampai akhir dan ditutup dengan informasi kematian dua penulis. Seorang di antaranya penulis perempuan yang sering saya dengar namanya. Dan seorang lagi, ini bagian yang mengejutkan, Hernowo Hasim, penulis sejumlah buku bestseller di Indonesia, juga meninggal dunia.

Saya segera mencari tahu di mesin pencari tentang berita kematian Hernowo Hasim. Hampir tidak menemukan sama sekali. Hanya ada satu dua informasi, itu pun di blog pribadi beberapa orang dan di sebuah blog yang dikelola orang-orang terdekat Mas Hernowo di Penerbit Mizan, banyak buku Hernowo Hasim diterbitkan penerbit yang berbasis di Kota Bandung ini. Dua informasi tentang kepergian Hernowo Hasim saya peroleh di sini tautan dan di sini tautan.

Bagaimana mungkin prestasi Hernowo Hasim yang menulis sekitar 24 buku bestseller dalam empat tahun itu, tidak tercatat banyak media massa. Bagaimana mungkin kepergian pejuang literasi itu—demikian banyak orang menggelarinya—tidak muncul di sejumlah media online arus utama di Indonesia. Apakah ini menjadi indikator betapa tidak pedulinya masyarakat Indonesia—bahkan pers yang notabene berdiri di depan dalam perjuangan literasi—tidak menaruh minat terhadap literasi?

Saya berharap hipotesa ini tidak benar. Semoga saja mesin pencari tidak merangkum semua berita mengenai kepergian Mas Hernowo Hasim.


Hernowo Hasim mulai dikenal setelah buku Mengikat Makna menjadi salah satu buku bestseller di Indonesia. Tapi saya mengenalnya melalui buku lain yang juga menjad bestseller, Andaikan Buku itu Sepotong Pizza. Kebetulan di bagian akhir buku itu ia mencantumkan alamat emailnya dan itu sudah biasa dalam halaman biodata penulis.

Saya sering mengirim email kepada penulis, mendiskusikan materi bukunya, memberikan sedikit catatan atau sebagainya. Namun, banyak yang tidak merespon dan saya anggap mereka mencatumkan alamat email hanya basa-basi tanpa benar-benar membaca email masuk dari orang yang belum mereka kenal. Satu dua penulis ada yang membalasnya dan terlihat tidak terlalu antusias.

Hernowo Hasim berbeda. Saya masih ingat pesan saya waktu itu di email tentang pizza. Ada bagian, saya menceritakan ummi saya tidak terlalu suka pada pizza karena keju yang panjang seperti getah nangka ketika ditarik. Mas Hernowo bilang, pizza itu hanya perumpamaan. Anggap saja buku itu seenak makanan kesukaan kita dan tidak mesti pizza. Tentunya buku kita lahap dengan nikmat seolah itulah makanan terakhir yang bisa kita nikmati.

Diskusi kami berlanjut kepada proses kreatif masing-masing. Saya menganggap sedang belajar dari komunikasi kami via email tersebut yang kemudian berlanjut dengan layanan pesan singkat di handphone. Saya lihat, Mas Hernowo sangat tekun dan teliti. Dia melakukan hal-hal yang sudah lazim diketahui dalam dunia literasi, tetapi ketekunan dan kreativitasnya memberikan warna lain.

Suatu waktu, ia menghadiri sebuah acara literasi di Medan, Sumatera Utara. Kepada seorang jurnalis yag mewawancarainya ia mengaku memiliki seorang kawan jurnalis di Aceh. Namanya Ayi Jufridar. Jurnalis tersebut mengabarkan kepada saya tentang itu. Saya sungguh terharu karena kami tidak pernah berjumpa sampai ia mengembuskan napas terakhir di Bandung, pada Jumat 25 Mei 2018. Selama ini, kami hanya berkomunikasi lewat email dan ponsel saja. Dia pernah mengundang saya ke rumahnya kalau ke Bandung. Saya sungguh menyesal tidak menghubungi dia ketika beberapa kali ke Bandung.

Komunikasi terakhir kami terjadi pada Juli 2016. Saya membuka kembali buku Flow di Era Socmed dan terkejut melihat catatan bahwa buku itu saya beli juga hari Jumat 29 Juli 2016 di Gramedia Depok. Saat itu sedang ada acara tentang minyak dan gas bagi akademisi di kampus Universitas Indonesia. Saya sempat mengirim foto saya bersama buku tersebut ke whatsapp Mas Hernowo. Kami juga berdiskusi kecil mengenai buku yang membahas tentang menulis, membaca, dan membangun peradaban komunikasi.

Kini Mas Hernowo Hasim telah pergi selama-lamanya tanpa sempat kami berjumpa. Ilmu-ilmu Hernowo Hasim tetap abadi menjadi warisan penikmat literasi di Indonesia, dan itu menjadi amalan Mas bagi Hernowo Hasim.[]




Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Dunia literasi Indonesia berdukacita...🙏

Benar sekali #denysatika. Beliau sangat rendah hati dan suka membantu.

Beliau salah satu penulis yang sekaligus guru untuk free writing. Sekarang beliau memang sudah tiada, tetapi karya dan apa yang beliau tinggalkan sudah sepatutnya terus dipelajari dan dikembangkan sebagai rasa hormat. Sungguh mengejutkan memang, karena tak ada kabar apapun sebelumnya.

Sayang sekali, saya tidak ingat untuk ke rumahnya saat Meetup Nasional, Februari lalu. Padahal, dulu saat kami intens berkomunikasi, Mas Her selalu mengundang untuk main ke rumah kalau kebetulan di Bandung. Karya-karyanya memang sangat menginspirasi, Sista @mariska.lubis. Saya sering membaca berulang-ulang.

Alfatihah.

Semoga amal ibadahnya terus mengalir dari setiap kata yang dibaca oleh pembaca karya. Semoga juga steemit menemukan penerus perjuangan mereka.

Amin atas doanya @andrianhabibi.

Nah, saya juga sempat merasakan keheranan yang sama, Bang AJ. Rasanya tak mungkin jika mesin pencari luput dari merangkum info2 tentang kepergiannya, jika memang ada sumbernya. :)

Anyway, sepakat dengan Teh Mariska, walau kini Mas Hernowo telah pergi, namun karya-karyanya akan abadi dan semoga bermanfaat bagi yang menikmatinya, ya!