•Hari pertama Naina Mathur mengajar.•
Industri film Bollywood hampir tak pernah berhenti menyuguhkan film-film bertema pendidikan. Masih segar dari ingatan kita betapa mengagumkan film Tree Idiot hingga film Taara Zameen Par. Dua film tersebut telah menampar banyak orang untuk lebih adil lagi arif melihat persoalan pendidikan.
Baru-baru ini, film "Hichaki" juga kembali membuka mata hati kita untuk menengok ulang bagaimana pendidikan itu berjalan. Film yang mengangkat sisi seorang guru yang mengidap Sindrom Tourette; penyakit neuropsikiatrik yang membuat seseorang mengeluarkan ucapan atau gerakan yang spontan tanpa bisa mengontrolnya.
Dalam film yang diperankan oleh Rani Mukherjee, (dalam film itu) seseorang yang sedari kecil mengindap sindrom tersebut, -maaf- mengeluarkan suara seperti cegukan dan gerakan tangan yang seolah menyapu dagu. Rani, dalam film tersebut berperan sebagai Naina Mathur.
Naina, sejak kecil harus menghadapi kenyataan yang meyakitkan, menerima perlakuan diskriminatif. Kehadirannya dianggap aneh, mengganggu murid lainnya manakala cegukannya berlangsung. Ironisnya, Naina dianggap tidak normal. Terhitung, 12 kali ia berpindah sekolah hanya karena ia dianggap seolah berkebutuhan khusus.
Tapi ibunya tak pernah patah arang, ia bersikukuh mencari keadilan dengan segala daya upaya agar anaknya tetap diberikan kesempatan yang sama dengan anak lainnya. Singkat cerita, di suatu pertunjukan akhir semacam pertunjukan drama, Naina bersama ibunya hadir. Dalam kekhusyukan menyaksikan pertunjukan drama, sindromnya keluar. Dan hal itu mengganggu para orang tua dan murid lainnya.
•Naina kecil saat diminta naik ke panggung dan ditanyai penjelasan mengenai apa yang menderanya. Sebuah titik baik yang kemudian mengubah cara pandang dan meningkatkan kepercayaan dirinya.•
Orang tua Naina tampak seolah iba dengan kenyataan ini, sedangkan Naina mendadak murung. Tak disangka, saat pertunjukan berakhir seorang guru yang juga pengasuh drama tersebut dalam sambutannya malah bertanya; "Apakah hadirin mendengar sesuatu suara yang menggangu kita?", para hadirin serempak mengangguk sembari menoleh ke arah Naina.
Di luar dugaan, guru yang bernama Pak Khan ini mempersilahkan Naina naik ke atas pentas. Di atas pentas itulah Pak Khan berterimakasih kepada Naina karena telah memberikan pendidikan kepada semua khalayak, kemudian ia menggaransikan Naina untuk mendapatkan hak setara seperti murid-murid pada umumnya.
Momen itu cukup membekas dalam kehidupan Naina dan terus menjadi motivasi terbesar dalam hidupnya. Naina tumbuh sampai menyelesaikan kuliah S2 lulusan Sains. Cita-citanya cuman satu; menjadi guru. Ayah kandungnya tidak suka Naina menjadi guru. Tapi tidak pernah membuatnya patah arang. Tak kurang bolak-balik ia melamar menjadi guru, ia selalu jatuh saat proses wawancara hanya karena sindrom yang menderanya.
Akhirnya, setelah melamar 18 kali panggilan itu pun tiba. Naina dipercayakan menjadi seorang guru. Naina senang bukan kepalang, cita-citanya terkabulnya. Tapi Naina harus menghadapi kenyataan bahwa ia mengajar di kelas 9F. Kelas murid tak dianggap dengan rekor bandel kelas kakap. Bahkan para murid kelas 9F bertaruh memprediksi berapa lama seorang guru baru sanggup bertahan.
Anak-anak kelas 9F merupakan anak-anak dari lingkungan kumuh di sekitar sekolah setempat. Tanah tempat mereka tinggal adalah tanah sengketa, tapi pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan hak pendidikan. Hanya saja, diterimanya mereka mungkin lebih kepada hutang Budi sekalipun dianaktirikan.
•Proses wawancara saat ia melamar menjadi guru.•
Bagi anak-anak 9F masa depan mereka adalah segala kekumuhan dan keterbelakangan. Rasa minder dan ketakutan dalam jiwa itulah yang saban waktu menggerogoti alam pikirnya. Baru setelah ibu guru Naina datang hal-hal seperti itu didobrak. Tentu setelah melewati proses ospek yang keterlaluan dari anak-anak terhadap ibu Naina. Tapi Naina tak menyerah, ia percaya bahwa setiap anak istimewa, hanya perlu pendekatan berbeda dengan pengakuan dan kepercayaan.
Maka dirubahlah metode belajar, murid kelas 9F yang berjumlah hanya 14 orang, tidak belajar lagi di dalam kelas formal. Tetapi di bawa ke pekarangan sekolah, mereka belajar di pekarangan dengan alam sebagai ruang. Matematika dan fisika tidak diajarkan langsung dengan rumus, namun melalui ilustrasi, ia melemparkan telor ke udara lalu disambut anak-anak. Ia juga menggunakan lapangan basket hingga rumah olahraga. Maka ditelitilah satu persatu perkejaan sehari-hari mereka.
Seorang murid yang tiap hari hanya menjadi bandar judi, diminta oleh Naina untuk mengajar hari itu. Ia bertanya perkalian dengan ilustrasi judi, dan tangan Naina memegang kalkulator untuk menghitung, hasilnya tepat. Naina bangun dan mengakui bahwa si murid berbakat, ia tak lupa memberikan solusi, jika kamu mau berjudi, berjudilah yang legal; menjadi pemilik saham di pasar modal. Dan diikuti satu persatu murid dengan bakat masing-masing.
Bagi Naina, guru adalah panggilan jiwa, bukan paksaan. Bukan hanya karena seberapa besar gaji. Ada satu quote inspiratif dari film ini: "Guru biasa hanya memberi ilmu, guru hebat membuatmu mengerti, guru yang sangat hebat menunjukkan cara mengamalkannya. Tapi ada guru yang menginspirasi kita".
Ada banyak pergulatan dalam film ini, namun tak cukup ruang dan pegel ini jari untuk mengetik utuh. Silahkan nonton sendiri agar tak ada penasaran (lagi) diantara kita. Yang pasti, Naina sebagai guru berusaha meyakinkan muridnya, melakukan pendekatan non mainstream, dan tak kenal lelah. Menguras emosi pasti, menguji kesabaran, apalagi! Sebab guru juga manusia biasa. Yang membedakannya hanyalah guru biasa dan guru luar biasa.
•Pak Khan, sosok dibalik perubahan besar dalam hidup Naina.•
Dalam perjalanannya ada persaingan antara kelas 9A yang unggul dengan 9F. Diujungnya pertaruhan mendapatkan lencana "Prefect". Sebuah simbol keberhasilan. Sayang, diujung mendekati ujian, siswa 9F diskor akibat skandal sabotase projek Sains. Lagi-lagi Bu Naina pasang badan, mengdahap kepala sekolah, meminta anak-anak tidak dikeluarkan dan diberikan kesempatan mengikuti ujian. Permintaannya disanggupi, tapi sebagai sanksi mereka tidak bisa masuk kelas, diskor.
Anak-anak yang merasa bersalah mati-matian belajar di rumah, dan belajar di luar dengan ibu Naina. Pertaruhannay hanya mereka yang lulus dengan nilai 9 entah diatas 9 yang dibolehkan itu partisipasi untuk kemudian menjadi nomine penyandang lencana Prefect. Sayang, H-1 cobaan lagi-lagi menghampiri anak-anak 9F.
Seorang pesuruh sekolah tersebut dibutuhkan (sabotase) oleh seorang murid 9A dengan tawaran bocoran soal. Seorang murid kepala Genk bersama tangan kanannya tergoda. Ia membaca kumpulan bocoran soal kepada teman-temannya saat sedang belajar bersama di suatu malam. Teman-teman menolak, mereka tidak mau mengecewakan ibu Naina untuk kesekian kali.
Merekapun belajar seperti biasa. Di ujian, soal yang keluar malah berbeda dengan bocoran soal yang dipelajari ketua genk dan tangan kanannya. Rupanya, soalnya sengaja dipalsukan oleh seorang oknum anak 9A. Tapi hasil akhir berkata lain, anak-anak 9F semuanya lulus. Tapi lagi-lagi ini menjadi masalah. Wali kelas 9A curiga bahwa anak-anak 9F melakukan kecurangan dengan bukti yang ada. Kepsek pun kecewa berat, ibu Nina berusaha mempertahankan mereka dengan dalil, jika benar mereka melakukan kecurangan maka hasilnya pasti paralel dan sama. Nyatanya berbeda. Tapi kepsek tak bergeming, ia telah memberikan banyak kesempatan kepada ibu Naina.
Ia pun keluar dari ruang Kepsek. Anak-anak 9F menunggu diluar. Mereka mengakui bahwa benar kepala genk dan tangan kanan ada mengambil bocoran soal. Tapi mereka memastikan bahwa mereka lulus bukan karena itu, soalnya berbeda. Ibu Naina percaya bahwa mereka tidak curang.
•Lencana kebanggaan, titik puncak prestasi seorang murid di sekolah tersebut.•
Akhirnya, di hari puncak sekolah, sebelumnya seorang murid kelas 9A membeberkan kepada wali kelasnya bahwa ia lah yang mensabotase. Mulanya, murid 9A ini berasumsi bahwa wali kelasnya yang sejak awal meremehkan ibu Naina menyukai perilaku Murib 9A. Ternyata, pada pidato penganugerahan lencana, wali kelas 9A yang juga wakil kepala sekolah membeberkan semuanya.
Anak-anak 9F yang sedari tadi sedang menunggu untuk dikeluarkan secara berjamaah dan tidak terhormat, tiba-tiba shock mendapati kenyataan bahwa mereka benar dan diakui tidak melakukan kecurangan. Akhirnya mereka diminta naik ke panggung secara bersamaan, dan lencana Prefect tersebut disematkan kepada mereka. Tangis haru, senyum bahagia tampak mengocok-goncok banting kita saat menyaksikan ending film ini.
Dari film Hitcki kita belajar bagaimana pendidikan sejatinya memberikan ruang keadilan tanpa diskriminasi. Setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk pendidikan, dan setiap anak memiliki masa depan cerah tak peduli apapun latar belakangnya. Lebih dari itu, metode dan silabus bukanlah satu-satunya jalan untuk mencerdaskan murid sekalian. Setiap anak butuh pendekatan masing-masing yang tidak bisa disamarkan serta merta.
Ada satu kalimat dalam film tersebut yang bisa kita bolak balik: "Dalam kehidupan mata pelajaran tidak diuji. Dan saudara harus tahu, siswa diuji dalam ruang sekolah". Sindrom Tourette hanya satu dari contoh bahwa ada diskriminasi di dalam dunia pendidikan kita, ada banyak lain bentuk diskriminasi yang mungkin tidak muncul ke permukaan. Kadang, dalam tatanan pendidikan kita, ada anak yang sedikit berbeda dan dianggap beban bagi guru atau sekolah, langsung dianjurkan untuk mencari sekolah berkebutuhan khusus. Kadang-kadang pendidikan kita kerap tak mendidik sejak awal.
***
Not: Semua foto dibidik ulang dari layar komputer.
Terima kasih... langsung masuk list :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sama-sama, kak
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit