Sudah beberapa waktu lalu saya mengambil jarak dengan puisi. Bukan bosan atau jenuh. Tapi ibarat sebuah hubungan, kita memang perlu menciptakan jarak agar rindu terus terjaga, bukan? Pergulatan saya dengan puisi, tidak mungkin menjadikan saya putus hubungan. Lewat puisi, banyak kota telah saya singgahi. Tersebab puisi, banyak pencapaian-pencapaian saya yang terasa ajaib dan penuh kejutan. Saya tahu, sejauh apa pun saya pergi, bertualang di rimba kata-kata, puisi akan tetap memanggil saya kembali. Saya "dilahirkan" puisi. Di sela berjarak itulah, saya kerap menulis ulasan, naskah, cerita pendek, atau fiksimini. Juga membaca buku-buku selain puisi.
Selalu tiba waktu puisi merindukan saya, atau sebaliknya. Juga perasaan "terpaksa rindu" karena satu-dua alasan lain. Kali ini panggilan puisi menuntun saya membaca buku Herlinatiens berjudul "Kereta-kereta di Kepala Zialo" yang terbit pada Oktober 2020.
Anda tahu bagaimana rasanya saat haus lalu disodori segelas minuman kesukaan? Anda tentu akan menikmati dengan kelegaan, perlahan, seteguk demi seteguk. Inilah yang saya lakukan pada buku kumpulan puisi pertama Herlinatiens. Saya lebih dulu kenal penulisnya sebagai prosais, yang telah menerbitkan 14 novel. Sebuah kejutan, puisi-puisi di dalam buku ini mampu menyedot perasaan saya --sesuatu yang sudah lama saya nantikan.
Benang merah pada buku ini ada pada judul di atas. Ya, saya terhanyut ke dalam tokoh aku, mencintai Zialo atau kekasih-kekasih lain yang singgah menitip hati lalu pergi. Kepasrahan jadi seseorang yang diabaikan di antara beragam alasan, tapi dicari ketika kekasihnya kesepian adalah perasaan-perasaan melankolik bagi perempuan yang dadanya dipenuhi cinta yang semena-mena datang dalam situasi tidak tepat.
Saya kesulitan memilih puisi favorit di buku ini. Nyaris setiap setelah jeda halaman berisi ilustrasi, saya memilih satu, dua, atau tiga puisi. Tetap saja jadi banyak. Saya merasa Herlina melibatkan seluruh pancainderanya dalam menulis --enam, dengan hatinya. Dan sesuatu yang ditulis dengan hati, akan sampai pula ke hati. Saya tidak akan bertanya pengalaman siapa yang dimasukkan ke dalam tokoh setiap aku di puisi-puisinya. Sebab sebagai penulis, bahkan pengalaman yang didengar, dilihat, dan dibaca pun bisa menjadi seperti teralami sendiri.
Cinta yang keras kepala bertahan menjadi-jadi dalam puisi. Ia akan mencari cara. Seperti di halaman 13, puisi berjudul "Berbincang dengan Subuh" pada paragraf awal:
"Aku membeli satu set akrilik dan kanvas. Hendak
kutanam bangku panjang pohon rindang dengan
lampu kota dan sebuah buku. Agar kita bisa lebih
gampang bertemu. Di dalam situ."
Lihatlah, betapa ketidakberdayaan pada situasi tertentu membuat si tokoh aku dalam puisi tersebut menguatkan dirinya untuk menciptakan dunia sendiri. Walau tetap saja rasa sakit tak jua sembunyi jelang paragraf akhir:
Juga pada puisi "Merapal Rel di Tubuhmu"
...
aku memiliki jendelaku sendiri
untuk memandang jaring laba-laba
dan tetap mengasihimu
sebagai sudut remang yang sesekali saja kau temui
hatiku mulai berakar
aku hanya akan diam-diam
aku hanya akan diam-diam
aku hanya akan diam-diam
...
Cinta ternyata semenyakitkan itu. Namun seperti dalam puisi "Pertemuan Teh dan Kopi" pada halaman 21, sekali lagi penulis mengungkapkan betapa keras kepalanya cinta:
"...
apa yang tidak aku tahu adalah, ratusan purnama
menunggu, puluhan musim menanti, untuk kulalui
seorang diri dan disangkal di kemudian hari."
Tentu saja, ada beberapa yang mengganjal bagi saya pribadi ketika berjumpa rangkaian diksi. Misalnya "menenun air" atau "tumbuh mencair tanpa tali". Kedua contoh tersebut membuat saya sejenak berhenti membaca dan mencoba memikirkan majas yang dibuat. Saya tidak akan mencoba membedah dengan pisau teori apa pun. Kali ini, saya hanya ingin menikmati. Sebenar-benarnya menikmati, sampai ke dalam hati. Silakan pembaca lain menanggapi.
Akhirnya puisi-puisi di buku ini terasa ibarat suara yang menyisakan gaung yang panjang dari dinding gua bernama hati. Setiap habis membaca satu puisi, selalu tarikan napas panjang diperlukan demi melegakan dada. Iya, mencintai bisa demikian sakit sekaligus candu untuk kekeh bertahan, walau posisi aku lirik seperti tidak pernah berubah pada banyak puisi: jadi kekasih yang diabaikan.
Bacalah, sebab buku ini akan membuatmu memahami cinta dalam dirimu sendiri.
#RAB, 12 Mei 2022
Judul: Kereta-kereta di Kepala Zialo
ISBN: 978-623-93949-7-4
Penerbit: Galeri Buku Jakarta
Halaman: xxi+110 halaman, 11 cm x 18 cm