“Apa yang lebih sempurna dari perpaduan secangkir kopi dan satu buku yang bagus?”
Kening Yura mengernyit saat matanya menangkap judul buku yang disodorkan padanya. ‘Mati Ketawa Ala Rusia’. Astaga, buku zaman rikiplik begini masih ada? Tapi keheranan itu hanya bertahan tiga detik. Perhatiannya spontan teralihkan oleh jemari panjang-panjang yang mendorong buku tadi. Tak ada cincin melingkar di jari manisnya.
Tanpa sadar senyum Yura terulas. Sesaat kemudian dia kembali heran, apa arti senyumnya barusan? Kelegaan? Kali ini senyumnya mengembang lebih lebar. Dia jengah dengan pikiran nakal yang bermain di kepalanya.
“Apa ada yang salah dengan ucapan saya?”
Yura tergeragap. Dia lupa, laki-laki itu belum beranjak dari hadapannya. Kalau tak ingat harus menjaga sikap di hadapan orang yang belum dia kenal, bisa jadi saat ini Yura sudah menepuk dahinya berulang kali. Hal yang selalu dia lakukan tiap kali merasa konyol.
Bersiap menjawab pertanyaan adalah kesempatan Yura untuk menatap wajah laki-laki itu. Dia berharap bisa merekamnya baik-baik dalam benak dan menghafal setiap pahatan sempurnanya.
“Maaf, saya hanya teringat sesuatu yang lucu,” Yura sengaja menatap tepat di mata laki-laki itu,”tadi Anda bilang apa?” Sebenarnya dia hanya berbasa-basi tadi. Tapi entah mengapa, Yura ingin menahan laki-laki itu sebentar saja. Sekadar untuk mengulang ucapannya yang terkesan manis tadi.
Laki-laki yang mengingatkan Yura pada Profesor Xavier muda itu menggeleng. Matanya terlihat kecewa. Tarikan bibirnya tidak lagi terkesan ramah.
“Lupakan. Enjoy your morning coffee…,” ucap laki-laki itu sebelum berbalik dan kembali ke balik bilik yang memisahkan pantry dan area penyajian.
Sesudahnya Yura menyesal. Dia membeku di atas kursi bar, tak lagi berselera dengan cangkir kopi Americano-nya. Rasa kesalnya melebihi ketika janji malam minggunya dibatalkan sepihak oleh Han, karena harus meng-entertain klien.
Ini adalah kali keduanya dia singgah. Sebelumnya dia tidak pernah tertarik, sekadar untuk menoleh pun tidak. Letak kedai kopi ini terselip di antara salon yang megah dan dealer motor. Dari tempat parkir hanya terlihat seperti perpustakaan tua yang membosankan. Dinding luarnya memang hanya berupa kaca dengan lapisan sun blast minimalis yang masih memungkinkan orang untuk mengintip ke dalamnya. Pada bagian atas kanopi yang memayungi pintu masuk tertulis ‘Kopitian and Old Books’.
Pekan lalu Rheta mengajaknya masuk sambil menunggu antrean giliran treatment di salon langganannya itu. Saat itu Yura dibuat kagum dengan dinding dalam yang seluruhnya tertutup oleh rak buku. Uniknya, hanya buku-buku lawas yang ada di situ.
“Percaya deh, dari pada bosan dan mengantuk menunggu di dalam salon, lebih baik nongkrong di sebelah,” bujuk Rheta.
Salahkan semuanya pada Rheta, kalau hari ini Yura sampai sengaja membuat janji temu dengan klien di tempat ini. Demi seorang Tian.
***
“Espresso? Seperti biasa?” Han bergerak ke area dapur Yura, yang tak berbatas sekat apa pun. Laki-laki yang sudah hampir dua tahun menjalin hubungan dengan Yura itu mulai menata mesin brewing, menakar butiran kopi dan mengatur tekanan airnya.
Apartemen Yura hanya punya satu kamar tidur, dan kamar mandi. Sisanya berupa layout minimalis. Separuh ruangan terisi oleh sofabed yang menghadap dinding, tepat di seberang televisi berukuran 42 inch. Separuh lagi dipenuhi oleh meja makan sekaligus meja dapur. Dinding di belakang meja dapur berhias rak-rak sederhana dengan pajangan pernak-pernik bertema kopi. Cangkir-cangkir merchandise dari bermacam kedai kopi, bahkan beberapa dari luar negeri, lalu quote-quote tentang kopi dalam bingkai bercorak shabby chick.
Yura merespon pertanyaan kekasihnya dengan berdeham pendek. Dia duduk bersandar malas pada sandaran tangan sofa. Matanya menatap ke arah dinding dapur, melewati sosok Han, dan jatuh pada satu bingkai yang kalimat di dalamnya terus mengganggunya.
‘Happiness is a cup of coffee and a good book.’
Quote anonim itu mengingatkan Yura pada ucapan Tian tempo hari. Tepatnya dua minggu yang lalu. Setelah hari itu, Yura masih beberapa kali singgah, tapi dia terlalu takut untuk duduk di meja bar. Dia trauma dengan tatapan Tian yang menusuk. Jadi dia memilih bertengger di bangku tinggi, menikmati kopinya sembari menopang dagu pada papan meja yang menempel di dinding, sambil sesekali menelengkan kepala, mencuri pandang ke arah pantry. Entah mengapa, setiap tegukan kopinya berlipat sedapnya meski pandangannya hanya membentur punggung Tian.
“Akhir-akhir ini kopi buatanmu beda. Kamu ubah takarannya?” tegur Yura saat mendekatkan cuping hidungnya ke atas kepul asap cangkir kopinya.
Sebuah tradisi di Minggu pagi. Han akan datang pagi sekali, lalu membuatkan Yura kopi. Seharian itu akan mereka habiskan bersama. Entah hanya di apartemen saja, atau keluar sekadar berbelanja kebutuhan harian masing-masing. Sebenarnya, yang paling penting adalah: Han ingin belajar meracik minuman favorit kekasihnya.
Han menggeleng tak suka. Ini sudah kesekian kalinya Yura mengkritik kopi buatannya.
“Mungkin karena kamu mulai terbiasa dengan kopi dari kedai kecil itu….”
“Kopitian!” sergah Yura.
Bibir Han mencibir. “Namanya pun maksa banget. Numpang beken sama kedai kopi yang sudah duluan tenar itu.”
Yura tak ingin mendebat. Bagaimana pun dia yang salah. Tertarik pada laki-laki lain di saat sudah memiliki kekasih—bahkan telah bertunangan—adalah sesuatu yang salah, bukan? Salahkan saja Rheta. Sebab di momen pertama itu, aroma laki-laki itu sudah mengganggunya. Lelaki beraroma kopi.
***
“Kenapa kamu uring-uringan?” Han menoleh sekilas pada Yura sambil memindahkan kecepatan mobil.
Yura buru-buru menyimpan kedua tangannya di atas pangkuan. Baru saja dia mengomel karena kesulitan mencari saluran radio favoritnya. Sebelumnya dia menggerutu karena mendapat pemberitahuan meeting mendadak untuk besok pagi.
Rheta yang duduk di bangku belakang terkekeh pelan. Dia tinggal di gedung apartemen yang sama dengan Yura. Jadi terkadang, kalau situasinya memungkinkan, dia akan pulang sama-sama dengan sahabatnya itu.
“Beberapa hari ini kedai Kopitian tutup, Han,” celetuk Rheta. Masih diselingi tawa tertahan.
Lewat kaca spion tengah, Yura melempar tatapan tajam pada Rheta. Buru-buru dia berkilah pada Han. “Aku cuma capek, Beib.”
Di sela konsentrasinya membawa mobil, Han sesekali menoleh. Yura memang terlihat lelah. Pekerjaannya sebagai konsultan dekorasi sebuah event organizer, membuat mobilitas Yura sehari-hari begitu tinggi. Han tak melihat ada sesuatu yang salah.
Saat mobil mereka keluar dari pintu tol Bintaro, dan melewati komplek pertokoan, Han menangkap gerakan kepala Yura yang tiba-tiba menoleh hingga nyaris berbalik badan. Sekonyong-konyong dia sadar, kalau sesaat tadi mereka melewati kedai Kopitian.
Tangan kiri Han buru-buru mengusap punggung tangan Yura.
“Besok aku temani kau ke sana. Kita cari tahu, apa yang membuat kopi buatan kedai itu lebih enak dari kopi yang biasa kita minum.” Usai mengucapkan kalimat itu, Han merasa sedikit tenang karena dia masih menangkap senyum tersipu yang sangat khas di wajah Yura.
Untuk mencairkan suasana, Han melirik Rheta yang merasa salah tingkah. “Ta, kamu boleh ikut, kalau mau.”
Senyum simpul Yura pecah menjadi tawa kecil saat Rheta memekik kegirangan. Untuk sesaat, dia merasa kembali menemukan pesona Han.
***
“Mas Tian kok, nggak kelihatan?” Rheta mendahului bertanya pada salah seorang pegawai kedai, karena tidak tega melihat Yura menoleh ke sana kemari. Pasti sahabatnya itu canggung karena ada Han di sampingnya.
“Oh, Mas Tian sedang honeymoon, Kak!”
Terjawab sudah mengapa beberapa hari lalu kedai itu tidak beroperasi. Yura tiba-tiba menundukkan kepala untuk beberapa saat. Setelah itu, kedua tangannya memeluk erat lengan Han sambil menengadahkan wajahnya pada laki-laki itu. Kedua matanya membulat. Han mau tak mau tersenyum. Sinar mata Yura untuknya, telah kembali. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Oya Mas, boleh kami lihat mesin brewing yang dipakai untuk membuat kopi?”
Pegawai itu mengernyitkan dahi, ”Mesin? Mesin apa tadi namanya?”
Han mengulang kalimatnya.
Kali ini pegawai itu menggeleng dengan yakin.”Tidak ada mesin canggih yang kami pakai,” telunjuknya terangkat ke arah pantry, ”kami hanya menyeduh bubuk kopi dengan air panas dari dispenser.”
Melihat ketiga orang tamunya hanya diam sambil saling pandang, pegawai itu pun berlalu dan menghilang di balik pantry. Beberapa saat kemudian dia mendengar sebuah ledakan tawa.[]
Ditulis oleh: Oky E. Noorsari
Reviewer: Seno NS
Posted from my blog with SteemPress : http://temupenulis.org/lelaki-beraroma-kopi/