Terutama Arteria Dahlan, legislator PDIP yang terhormat itu. Netijen boleh bangga dengan mulut berbusa melacurkan segala kata-kata, tapi tolonglah, mem-bully seorang Arteria justru tak menyelesaikan apa-apa.
Kita boleh bilang Arteria tak beradab karena begitu pongahnya menyebut seorang profesor sekelas Emil Salim sebagai prof sesat. Konon, Arteria pun tak menambahkan tanda kutip pada kata-katanya itu. Jadi, yang dimaksud Arteria kalau kita meraba-raba adalah Prof Emil Salim sudah sesat dari segi keilmuannya, bukan di jalan kesesatan versi agama. Jangan terlalu jauh kita meraba agar tidak ikut dituduh sesat oleh Arteria.
Kita juga boleh bilang Arteria punya bacot lumayan pedas. Hal ini tak terlepas dari gelar beliau yang susah payah diperolehnya hingga gelar itu nangkring di laman Wikipedia. Walaupun sementara.
Terkait gelar, yang tidak boleh juga kita lupakan adalah beliau juga ingin mendaku punya gelar "yang terhormat". Kalau Anda teliti, gelar ini kerap tertera pada pembuka sebuah surat resmi.
Saat rapat kerja Komisi III DPR dengan KPK pada 2017, Arteria "ngambek" karena kelima pimpinan komisi antirasuah itu tak menyebut anggota DPR dengan sebutan "yang terhormat. "Ini mohon maaf ya, saya kok enggak merasa ada suasana kebangsaan di sini. Sejak tadi saya tidak mendengar kelima pimpinan KPK memanggil anggota DPR dengan sebutan 'Yang Terhormat'," ujar Arteria seperti dikutip Kompas.
Walakin, sial bagi Arteria, hingga hari ini belum ada lembaga pendidikan berlisensi yang berkompeten mengeluarkan gelar tersebut secara sah. Mohon maaf Bung Arteria, Anda mesti menunggu dulu untuk mendapatkan "suasana kebangsaan" demi menyandingkan gelar tersebut dengan nama Anda.
Lalu, apa yang bisa didapatkan dari tingkah Arteria yang sempat membikin kejang-kejang mulut warganet itu? Begini, menurut analisis gembel versi kami, apa yang dilakukan Arteria di acara Mata Najwa tempo hari menunjukkan kepada kita sebagai rakyat jelata yang kadang tidak diakui negara ini, sebuah pola pikir berintelijensia tinggi khas anggota dewan.
Secara tidak langsung itu adalah sebuah pendidikan politik yang luar biasa, yang tidak bisa ditemukan di sembarangan tempat. Cara-cara Arteria berdebat dan membantah itu menunjukkan sebuah tingkatan kelas yang hanya bisa dicapai oleh orang yang sudah khatam betul dalam politik. Ketika Anda kalah debat, maka memakilah. Kalau Anda tertarik, bergurulah padanya.
Dari Arteria kita juga bisa belajar, menjadi anggota DPR itu harus mampu sesumbar di mana saja. Pita suara harus kuat. Siapa pun yang tidak setuju dengan pendapatnya, boleh dimaki.
Status legislator adalah pangkat yang begitu tinggi derajatnya di mata manusia. Anggota DPR bahkan dibekali kemampuan imunitas sebagai hak untuk tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis. Jadi, untuk apa mem-bully Arteria?
Arteria bukan sekali dua bertingkat demikian rupa. Profesor Emil Salim cuma "korbannya" yang kesekian. Dia pernah memaki beberapa pihak lain. “Ini Kementerian Agama bangsat, Pak. Semuanya, Pak,” ujar Arteria kepada Jaksa Agung, seperti dilansir Tempo.
Lalu, apa kata kolega separtainya? Biasalah, anak muda. Tidak ada yang mampu menyuruh Arteria memperbaiki narasi bicaranya. Dia sudah sedemikian adanya.
Menurut hemat kami yang juga suka memaki ini, Mata Najwa memberikan panggung kepada politikus yang tepat. Mbak Nana yang terhormat mungkin sudah menduga, dengan menghadirkan Arteria, akan muncul kebisingan baru di kancah politik Indonesia. Terutama di Republik Twitter. Setidaknya, nama Ateria Dahlan menjadi trending.
Namun, yang paling konyol dari semua umpatan netijen adalah foto Arteria berbaju MU. Tudingan muncul kalau jersey itu KW. Ah, apa iya bekas kuasa hukum PSSI tak punya duit membeli jersey asli sebuah klub besar macam MU? Sebuah tudingan yang sesat. Siap-siaplah dimaki oleh Arteria.
Posted from my blog with SteemPress : https://breedie.com/agar-tak-sesat-jangan-bully-anggota-dewan/