Kampung Adat Cireundeu: (Bagian 1) Tradisi Masyarakat Tidak Makan Nasi
Belum mengaku sudah makan kalau belum ketemu nasi. Begitu mayoritas yang dirasakan masyarakat di daérah saya. Tetapi ternyata memang ada masyarakat yang justru selama 101 tahun tidak pernah konsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Dan itu berada tidak jauh dari tempat saya, Désa Wisata Ketahanan Pangan (Dewi Kepa) Cirendeu,di kecamatan Leuwi Gajah Kota Cimahi, tepatnya.
Informasi tentang tradisi tidak makan nasi ini saya ketahui ketika saya mengikuti acara Forum Group Disscussion (FGD) yang diadakan oleh Pemkot Cimahi melalui Dinas Pariwisata atas undangan serta informasi yang disebar di group Generasi Pesona Indonesia (GenPi).
Keluarga petualang, Walikota Cimahi, Kadis Pariwisata Pemkot Cimahi
Alhamdulillah panitia salah satunya Koordinator GenPi Bandung Raya yang membawahi 4 wilayah terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi, Kang Dede Diaz mengizinkan saya membawa Fahmi ke lokasi. Ya, saya membawa anak karena kebetulan suami juga ikut menjadi peserta acara #GenpiJalanJalan ini.
Tapi jujur, sebelum sampai di Cireundeu saya belum tahu ciri khas dari Kampung Adat Cireundeu (KAC) ini apa. Saya pun tidak mencari informasi. Saya pikir keunikan tradisi KAC apa biar jadi kejutan saja. Fokus saya hanya ke persiapan apa yang harus di bawa (terkait bekal anak) karena di rundown acara, ada kegiatan treking dan kemping. Dan itu sudah bikin kami senang secara tahun 2019 ini jika ikut adalah akan jadi kemping pertama #keluargapetualang.
Seperti biasa berangkat menggunakan sepeda motor dari rumah di Pagelaran sehari sebelum acara. Mengingat kondisi jalan serta jarak yang cukup jauh ke kota Cianjur dulu. Padahal kalau melihat di Gugel Maps ada jalan yang lebih dekat dari Pagelaran tempat kami tinggal ke lokasi KAC yaitu lewat Sukanagara ke Cililin dan lanjut ke Cimahi. Tapi tidak kami ambil karena tahu di perbatasan Cianjur – Bandung nya jalan masih rawan serta sepi. Apalagi cuaca tidak bisa diprediksi. Takutnya ada longsor di perjalanan. Akhirnya kami menginap dulu di Cianjur kota, baru keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Cimahi bareng dengan Kang Dinsams, salah satu GenPi Cianjur juga.
Nah ketika sampai di lokasi KAC lah, yang dibuka oleh Walikota Cimahi Bapak Ajay M. Priatna saya baru tahu kalau tradisi yang unik di sini ialah masyarakat setempat memegang teguh adat serta budaya tidak mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Lalu makan apa mereka? Mereka mengganti nasi dengan singkong. Tidak heran kalau masyarakat KAC terkenal dengan kepiawaiannya dalam mengolah beras singkong yang disebut “rasi”.
Tapi meski mereka pantang makan nasi dan turunannya (apapun makanan berbahan dasar beras) namun makanan lain seperti sayur mayur, buah-buahan dan sumber protein lain seperti hewani dan nabati termasuk susu mereka boleh mengonsumsi.
Camilan masyarakat Cireundeu
Rasi, beras singkong. Ini nasi goreng terbuat dari singkong
Tradisi Dewi Kepa KAC sudah berjalan selama 101 tahun. Kang Jajat selaku salah satu sesepuh di KAC mengatakan tradisi mereka berasal ketika nenek moyang mengalami peceklik karena keganasan penjajah Belanda yang tidak hanya menjajah kemerdekaan bangsa dan negara tetapi juga menjajah perut rakyat pada tahun 1800an akhir. Saat itu beras hasil panen rakyat semua diangkut oleh kompeni. Menyisakan kelaparan yang merajalela bagi warga pribumi.
Melalui tokoh Aki Ali serta Mak Omah, sejak 1918 masyarakat Cirendeu berhenti mengonsumsi beras. Enam tahun kemudian tepatnya 1924 tokoh dan masyarakat sepakat untuk tidak makan beras dan menjadikan singkong sebagai pengganti nasi dan itu berlanjut sampai sekarang.
Kang Tri dan Kang Jajat dari KAC
Pantas ketika memasuki lingkungan KAC ada tulisan yang berbunyi:
Teu boga sawah asal boga pare. Teu boga pare asal boga beas. Teu boga beas asal bisa nyangu. Teu nyangu asal dahar. Teu dahar asal kuat.
Yang artinya:
Tidak punya sawah asal punya padi. Tidak punya padi asak punya beras. Tidak punya beras asal bisa menanak nasi. Tidak punya nasi asal makan. Tidak makan asal kuat.
Itu menunjukkan walaupun mereka tidak punya makan beras tetapi aktivitas serta kelangsungan hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Pengolahan Rasi
Penasaran bagaimana mereka mengolah singkong, saya pun mengintip ke dapurnya. Banyak para ibu yang sedang mengolah rasi beserta lauk pauk yang akan disajikan kepada kami para pengunjung. Rasi yang diolah berbahan dasar singkong ini dimulai pengolahannya dengan memarut singkong khas Cireundeu lalu diperas, dibuang airnya. Sama seperti mengolah beras secara tradisional di Tatar Sunda, beras singkong yang telah diparut itu dicuci bersih kemudian dikukus dalam aseupan yang disimpan di atas seeng. Setelah matang, rasi yang bentuknya sekilas mirip butiran nasi ini sudah bisa dimakan atau diolah lagi menjadi menu lain seperti rasi goreng (seperti olahan nasi goreng) dan lain sebagainya.
Beras dari singkong
Jadi meski tidak makan berbentuk nasi, olahan makanan dari rasi dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai olahan makanan nasi. Dari rasa dan tekstur pun saya sendiri beneran tidak bisa membedakannya. Saat dijamu makan di Imah Panggung, saya pikir itu nasi biasa. Baru ngeh kalau yang dimakan bukan nasi setelah ingat masyarakat KAC pantang makan nasi.
Untuk menghasilkan rasi yang pulen dan berkualitas memang tidak sembarangan jenis singkong yang mereka olah. KAC memiliki singkong unggulan yang dipanén satu tahun sekali. Adalah jenis singkong Garnawis dan singkong Karihkil yang jadi unggulan di Cireundeu.
Sambil makan ngobrol dengan Kang Tri, salah satu pengurus KAC juga, iseng saya bertanya, “Dulu kan awalnya tidak makan nasi karena penjajahan. Sekarang setelah merdeka kenapa masih tidak makan nasi juga?”
Menurut sawangan (pandangan) memang demikian. Namun masyarakat KAC berpikir kondisi alam dan kondisi manusia yang terus bertambah disertai alih fungsi lahan membuat manusia harus berkompetisi. Jiwa semakin banyak sementara lahan semakin sempit itu yang menjadi pedoman mereka untuk tetap menjaga tradisi adat serta istiadat leluhur. Toh tanpa makan nasi mereka tetap kuat dan bisa menjalankan segala aktivitas keseharian.
Kepercayaan
Kepercayaan Sunda Wiwitan yang dipegang sebagian masyarakat KAC alam memiliki 3 hukum dan semua itu harus dipegang teguh.
- Gusti anu Ngasih (Tuhan yang memberi)
- Alam nu ngasah (Alam yang mendidik)
- Manusa nu ngasuh ( manusia yang menjaga)
Dari kepercayaan itu diambil kesimpulan Tuhan telah memberikan karunia berupa alam dan kekayaannya tinggal manusia menjaga serta melestarikan. Tidak ada jarak antara manusia dengan alam dan Pencipta. Itu yang membuat masyarakat KAC tidak membolehkan pengunjung menggunakan alas kaki khususunya ketika memasuki wilayah alam yang oleh mereka sangat dikeramatkan. (Ada di tulisan selanjutnya Mendaki dan Kemping ke Puncak Salam tanpa Sendal)
Di Puncak Salam ini ada banyak pantangan dan kisah religius. Ulasan lengkap nantikan di tulisan bagian 2 ya...
Sanksi dan hukum
Masyarakat KAC tabu makan beras dan turunannya lalu bagaimana kalau ada yang melanggar adat tersebut atau secara tidak sengaja makan makanan berbahan dasar beras? Apakah ada hukuman? Ada.
Tetapi hukuman bukan berupa hukuman fisik atau semacam dikeluarkan dari adat, melainkan sangsi sosial saja. Dimana jika seseorang warga KAC baik sengaja atau tidak makan makanan berbahan dasar beras, akan ada rasa bersalah pada dirinya. Ini merujuk pada nurani dan kejujuran. Orang lain mungkin tidak tahu kita makan apa. Tetapi hati nurani bukankah tidak bisa dibohongi? Hanya ketakutan yang akan menghantui yang bersangkutan jika ia sudah tidak lagi turut adat.
Namun jika ada warga KAC yang makan beras karena alasan tertentu, seperti menikah dan tinggal di luar KAC sehingga sulit mendapatkan rasi, hal itu diperbolehkan dengan lebih dulu melakukan upacara adat atau ritual yang dilakukan di KAC tepatnya di Puncak Salam, sebuah hutan lindung yang dikeramatkan oleh masyarakat KAC.
<a href="http://tinypic.comref=2uho6pz" target="_blank"><img src="" border="0" alt="Image and video hosting by TinyPic"></a>
Upacara Tradisional
Setiap tahun masyarakat KAC memiliki tiga kali upacara adat yang masih sangat kental tradisional.
1. Upacara Mulasara Sirah Cai.
Sirah cai atau mata air bagi masyarakat KAC adalah sebuah kabuyutan alias kapamalian yang tidak boleh diganggu. Setelah ada bencana longsor di TPA Leuwigajah yang jadi longsor terbesar di Indonesia upacara malasti atau mulasara sirah cai ini ditetapkan setiap tanggal 21 Februari yang bertepatan dengan peringatan longsor Leuwigajah (HPSN)
2. Ngarajah di Puncak Salam
Awalnya dinamai Jurit Wengi. Adalah perjalanan malam hari menuju Puncak Salam saat akan memperingati hal penting seperti upacara kemerdekaan 17 Agustus.
3. Tahun Baru Suro Saka Sunda
Upacara adat Sasih Suro ini sejatinya dilangsungkan selama 1 bulan hanya itu dilakukan secara intern. Adapun secara umum biasanya dilaksanakan 3 hari 3 malam.
Salah satu keunikan dalam rangkaian upacara adat ini adanya hasil alam berupa buah-buahan yang dipajang dan boleh diambil oleh siapa saja secara gratis. Filosofis nya, pada momen itu kita bisa melihat berbagai sifat dan karakter manusia. Ada yang mengambil secukupnya untuk dimakan saat itu, ada yang bawa banyak dengan mengambil beberapa sekaligus, dan bahkan ada yang serakah bin tamak, mengambil banyak sekali untuk dibekal dibawa pulang!
Ada banyak ilmu dan filosofis hidup yang bisa kita dapat saat berkunjung ke KAC ini. Mulai tahun 2017 Pemerintah mendukung masyarakat adat Cireundeu untuk melestarikan dan menjaga kearifan lokal yang dimiliki untuk terus dipertahankan dengan mensuport lembaga adat. Selain infrastruktur yang diperbaiki, fasilitas lain pun mulai dibenahi.
Belajar membuat janur bersama Kang Tri
Ada banyak paket yang bisa kita ambil jika akan berkunjung ke KAC baik untuk melihat saja, atau belajar lebih banyak tentang adat dan budaya yang sampai sekarang masih berjalan. Selain mempelajari cara mengolah rasi pengunjung juga bisa belajar mengolah rasi pengganti tepung terigu, rasi dan olahan turunannya seperti kue, keripik, dll, termasuk mempelajari seni dan budaya ada permainan tradisional: jangkungan, panahan, oray-orayan, hahayaman. Kesenian tradisional seperti angklung buncis, kacapi suling dan kreasi janur.
Semua itu ditawarkan dengan harga per paket mulai Rp. 60K saja per orang termasuk makan serta fasilitas lain. Tetapi karena ada banyak seni dan adat budaya sepertinya sehari berkunjung tidaklah cukup. Minimal harus menginap semalam seperti kunjungan kami kemarin. Jika ingin menginap kita bisa pilih tinggal di homestay dan atau kemping di Puncak Salam (harga tentu saja menyesuaikan dengan tarif minimal Rp.250K per pax). Selain datang langsung ke KAC untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi sesepuh KAC, ada Kang Yana, Kang Jajat dan Kang Tri.
Tulisan selanjutnya mengenai keseruan, mitos dan kisah spiritual perjalanan kemping di Puncak Salam. Kenapa harus nyeker alias tidak pakai alas kaki, kenapa tidak boleh pakai baju warna merah, ada firasat apa jika saat mendaki ke sana kita “bertemu” hewan khas dan apa akibatnya? Semua itu ulasan lengkapnya ditunggu di tulisan lanjutan bagian ke 2 saja ya.
Posted from my blog with SteemPress : http://tehokti.com/kampung-adat-cireundeu-tradisi-masyarakat-tidak-makan-nasi.html
Congratulations @tehokti! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Thanks
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit