Terimakasih Teruntuk Teman Pancasilaku
Sebentar lagi tahun baru Imlek. Nuansa merah sudah tertata rapi di kantor dan ruangan sekitar. Jamuan makan malam antara seluruh pekerja mulai atasan sampai semua karyawan pekerja berlangsung dengan sederhana tapi terasa meriah. Keseruan berburu hong pao merah jadi sesuatu yang dinantikan setiap tahun. Termasuk dinanti saya, hahaha.
Saya memang bukan keturunan etnis Chinese, tapi selama dua puluh tahun ini, telah mengenal dan selalu menjadi bagian dari kemeriahan Chinese lunar new year, berkat kebaikan bos tempat saya bekerja pastinya. Bos tidak membeda-bedakan setiap pegawainya. Tionghoa atau bukan, semua mendapat hong pao. Karena itu setiap pengalaman menjelang Imlek, selalu terasa bahagia.
Acara rutin jamuan makan malam Indosuara. Pte. Ltd setiap jelang Imlek. Foto: Ryan Ferdian
Malah jauh sebelum Natal dan tahun baru 2020, nuansa merah meriah itu sudah terpancar auranya. Bos dan rekan kerja saya selain mayoritas beretnis Tionghoa, juga kebanyakan penganut Nasrani. Jadi perayaan dan kebahagiaan di kantor berlangsung secara terus menerus selama hampir dua bulan ini.
Meski saya Muslim dan urang Sunda asli, saya ikut bergembira dengan perayaan mereka. Dengan penuh hormat saya selalu menghargai hari raya bapak dan ibu bos, juga para rekan kerja yang berbeda keyakinan dan etnis, sebagaimana mereka juga menghargai perayaan hari raya kami, umat Islam.
Seperti biasa, setiap jelang pergantian tahun memang sudah jadi rutinitas perayaan itu secara berurutan. Natal, tahun baru Masehi, lalu tahun baru Imlek. Saya pasti tidak merayakan, namun saya ikut merasakan imbas libur panjang dan atau cuti bersamanya. Termasuk kecipratan kado indah, hong pao atau kuliner lezat tiada tara. Senang pastinya. Alhamdulillah.
Mulai lajang hingga menikah dan kini memiliki anak, saya selalu menceritakan kepada keluarga mengenai kebersamaan lintas batas ini. Upaya merekatkan kerjasama dengan goal target kerja semakin maksimal setiap tahunnya. Sebuah kebahagiaan di akhir dan awal tahun, itu saja.
Oh ya, akhir tahun ini saya malah dapat kejutan luar biasa. Kami di desa, kedatangan blogger Cihuy ibukota. Sebuah penghormatan bagi kami, ketika secara tiba-tiba Bunda Elisa Koraag datang ke rumah kami bersama keluarga. Minim Kak Bastian ding, lupa. Bas gak bisa ikut karena ada pekerjaan.
Selepas merayakan Natal, tanpa direncana Bunda Ica (Buncha) mengontak kami, hendak menengok sekaligus menepati janji bermain dengan Fahmi. Fahmi mengenal Buncha dan keluarga karena sering bertemu dan ikut acara bersamaan.
Bagi kami, silaturahmi ini sebuah berkah dan pengalaman indah. Fahmi terspesialnya. Buncha datang membawa banyak kado, hadiah buat kami. Alhamdulillah. Meski sejujurnya kami merasa malu, karena selama tinggal di desa, tidak bisa menjamu mereka dengan maksimal. Sudah gitu sering ditinggal pula karena kami harus melakukan kewajiban lima waktu dan setiap selesai magrib sampai isya kami bersama anak santri ada kelas mengaji di rumah.
Pertama mengenal Buncha, saat masih suka ikut event di ibukota dan Fahmi masih balita, saya pun sudah bercerita mengenai keluarga Buncha. Dengan maksud supaya tidak salah paham. Itu saja.
Semakin sering kami bersama, liburan sampai acara undangan, Fahmi yang mulai besar semakin banyak tanya. Termasuk bertanya kenapa Buncha tidak ikut solat saat kami melaksanakannya berjamaah. Sejak itu saya jelaskan, Buncha memiliki keyakinan beda.
Fahmi mungkin belum paham benar. Tetapi saya yakin dia mengerti dan saya pun terus menegaskan, jika di negara kita banyak perbedaan keyakinan namun semua kita sama saudara. Perbedaan bukan untuk dipermasalahkan. Kita saling menghormati. Fahmi mengerti itu. Dia tidak lagi bertanya hal yang sama ketika kami keluarga saya dan keluarga Buncha sekian lama bersama saat di Bali, Jember, Yogyakarta, dan tempat lain nya.
Kebersamaan dua keluarga
Sampai keluarga Buncha kembali ke kota, kebahagiaan berkah dari pertemanan dan pertemuan kami terasa masih sangat melekat. Hingga kabar tidak diduga kami terima jika rumah Buncha kena banjir. Banyak barang hancur dan rusak.
Saya tidak akan lupa, dari sekian banyak teman nyata maupun maya, keluarga Buncha yang menyempatkan menengok kami datang ke Cianjur setelah tahu suami kecelakaan dan patah tulang tangan. Buncha juga langsung mengganti kaos blogger yang pernah kami miliki tapi hilang semua karena dicuri maling seperti yang sudah saya ceritakan. Tidak mungkin saya diam saja manakala keluarga Buncha kena musibah kebanjiran. Dari situ kami kembali menemukan betapa bahagianya punya kawan baik. Kawan yang tidak hanya bisa baper apalagi nyinyirin satu sama lain.
Perlahan kondisi rumah Buncha mulai dibereskan. Meski jauh kami tetap merasakan bagaimana kesedihan terdalam yang timbul akibat kehilangan. Namun Buncha dan keluarga tetap menampakan ketegaran dan bahagia, sebagaimana mereka memperlakukan kami ketika tahu kami kecelakaan dan kemalingan. Such as best people i knew.
Kehidupan terus berjalan. Selepas tahun baru Masehi, persiapan untuk Imlek lah yang selanjutnya dirayakan. Perayaan yang tidak dinikmati sendiri, melainkan tetap menjadi manfaat bagi yang lain, dengan cara tetap berbagi.
Adalah kebaikan masih dari teman baik, jika pertengahan antara tahun baru Masehi dan tahun baru Imlek taman baca ala ala yang kami kelola di rumah bersama anak mengaji Al Hidayah mendapat kiriman buku bacaan baru dari kota. Melalui tangan Pak Andre Jayaprana keberlangsungan minat baca dan dunia literasi di sini terasa bangkit lagi.
Kiriman buku bacaan dari donatur, melalui kebaikan Pak Andre Jayaprana. Foto: Andre Jayaprana
Saya dan suami benar-benar merasa dirahmati atas berbagai kebaikan yang datang dari uluran tangan teman-teman. Siapa mereka yang mengirimkan buku bacaan kepada taman baca kami, sedikitpun tidak pernah tahu. Pak Andre tidak pernah banyak kata kecuali banyak bekerja. Bekerja dalam senyap. Untuk kami di desa dengan segala keterbatasan. Padahal Pak Andre bukan siapa-siapa kami, kecuali teman.
Pertemanan dengan orang-orang baik ini sangat membekas dan penuh rahmat. Kami saling membantu, tolong menolong dalam kebaikan dan menjunjung tinggi persatuan.
Saat kami saling memberi dan menerima tak pernah sedikit pun kami menyinggung perbedaan keyakinan atau ras antar golongan. Yang kami junjung adalah kami ini satu kesatuan sebagai mahluk sosial uang satu sama lain memang saling membutuhkan.
Posisi kami mungkin sebagai bos dan bawahan. Pertemanan mungkin terpisah antara kekayaan dan kemampuan. Namun di luar itu sedikitpun kami tidak pernah menyinggung perbedaan. Ah indahnya...
Disadari atau tidak, hubungan yang terjalin antara kami ini salah satu bentuk dukungan terhadap ideologi Pancasila. Bukankah kerukunan umat beragama, saling tolong menolong dan tetap menjalin persatuan dan kesatuan adalah murni bagian dari nilai-nilai lima sila Pancasila?
Interaksi saya dengan rekan kerja yang berbeda keyakinan dan keturunan, hubungan baik antara saya dan teman-teman yang berbeda pandangan, adalah bentuk pengamalan sila Pancasila dengan tanpa mengubah prinsip dan akidah agama kami, masing-masing.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada semua teman-teman Pancasilaku...
Posted from my blog with SteemPress : http://tehokti.com/terimakasih-teruntuk-teman-pancasilaku.html