(Cerpen) Dalam Pesta Cahaya

in story •  7 years ago 

image

Pada serentang waktu dan sehampar ruang, pada bulan Ramadhan, malam dan fajar saling berkejaran, memacu dirinya masing-masing untuk berlari dan bertemu dengan entah siapa: bertemu embun pagi, matahari, kekasihnya atau mungkin bertemu dirinya sendiri. jiwa-jiwa dari semua umat dan usia, tua muda, tergopoh-gopoh menghampiri sebuah tempat yang dibangun oleh sejarah, bangunan berlantai doa, berdinding sabda dan beratap air mata. tampak di atas pintu dan jendelanya hamburan kata dengan kaligrafi klasik yang indah, mirip sekali dengan ayat-ayat suci, barangkali itu firman. ya, malam itu mereka tertatih-tatih oleh perasaan letih, tersuruk-suruk memikul beban dosa masing-masing hanya untuk memasuki sebuah etalase bernama Ruang Hampa.

Ruang Hampa adalah sebuah dimensi yang akan meleburkan siapa saja dengan sang Mahacahaya. lambat laun Ruang Hampa yang juga tempat ibadah itu semakin diyakini sebagai dimensi alternatif bagi siapa saja yang hendak merundingkan nasibnya, melakukan negosiasi dan diplomasi mengenai bagaimana agenda hidup yang semestinya mesti dijalani, serta nasibnya di akhirat kelak. lebih-lebih bagi jiwa-jiwa yang terus berpuasa sepanjang masa demi kemenangan di penghujung usia.

Berapa lama lagi?, seseorang tiba-tiba bertanya.
mohon tahu anda siapa, sepertinya kita saling kenal?, rohati menimpali.

Namaku jiwa berseri, kita bertetangga di alam arwah dulu. ooo ya, kenalkan ini saudara saya, Hati pasrah namanya, ia menjawab dengan mengulurkan tangan, seketika itu disambut oleh Rohati dan Rohani.

Katanya sih, nanti tepat dua pertiga malam, setelah langit bersendiri, angin mati dan seluruh jiwa berbondong-bondong memasuki diri mereka sendiri.

Saat itulah dinding-dinding hati menjadi beku, karena dosa-dosa telah mencapai titik yang begitu dingin, Rohani menjelaskan dengan semangat.

Kita semua akan beku? jiwa berseri penasaran.
apakah dengan itu dosa-dosa kita akan terhapus? hati pasrah memotong.

Yang jelas ketika hening melingkupi empat penjuru, ketika asma-asma Tuhan semakin melengking jauh melebihi lengkung langit, pesta segera dimulai.

Tapi, bukankah di setiap kita menemui Tuhan, memenuhi pamggilannya, menyelenggarakan kebaikan dan kebaktian: ritual, ritus, liturgi dan sakramen lainnya, di situlah pesta cahaya berlangsung? hati pasrah mengernyitkan dahi, serius.

Itu artinya dalam sehari kita berpesta setidaknya lima atau bahkan beratus-ratus kali? selidik Jiwa Berseri.

Mungkin! Rohati menukas, sebab di rumah, pasar, di keramaian ya g riuh rendah, di antara kerumunan dan lalu lalang kehidupan, bahkan di tempat pelacuran dan minum-minum sekalipun selalu ada ruang dan waktu untuk kesunyian.

Apakah pesta itu hanya dalat dilangsungkan dalam keadaan sunyi?

Yang penting kita dapat merasakan sunyi, dalam kebisingan sekalipun!

Malam semakin larut, hanyut bersama dini hari yang kerinyut, Ruang Hampa yang ada sejak zaman para Nabi itu tak ubahnya seperti sarang lebah, semua berkerumun dalam damai, berlalu-lalang menuju Tuhan, bertadarus untuk hati, mengalun Kitab Suci, memasuki hakikat keindahan, karena dalam kegiatan merindu itulah mereka dapati ketenangan nurani yang diajarkan oleh para Nabi dan orang-orang suci. benar, membaca firman Tuhan adalah membasuh dan mencuci diri yang kotor. membaca ayat-ayat Tuhan berarti bercakap-cakap dengan Tuhan itu sendiri.

Sebenarnya undangan pesta itu sudah ada dan disebar sejak Rohani, Rohati, Jiwa Berseri, Hati Pasrah dan jiwa-jiwa parsial lainnya belum lahir ke dunia, tepatnya ketika mereka masih berupa jiwa universal di Lauh Mahfuzh, namun mereka baru menyadari dan memahami setelah dewasa, karena memang undangan itu sejatinya sudah tertulis dalam alam pikir mereka. anehnya, setiap jiwa memiliki alasan berbeda perihal undangan menghadiri pesta cahaya itu.

Aku diundang oleh sabda, kata Sofia.
di undangan ku tertulis firman, kata yang lain.
ada juga yang katanya diundang oleh fatwa, ilham, intuisi, angan dan angin, selengking suara memberi komentar yang berbeda, tampaknya itu suara Nurani Mulia.

Malah, orang tua kami, konon diundang oleh nenek moyang suara dan bunyi-bunyi yang entah dari mana, lagi-lagi Rohani berujar, suara itu adalah suara yang belum pernah tersuarakan sebelumnya, aneh tapi merdu, mungkin itu suara rindu.

Apa mungkin itu suara kalbu? kalbu yang masih polos dan lugu.
tadi siang di simpang jalan, seorang jiwa setengah baya mengaku diundang oleh mimpi, tapi ia tak cukup mampu membagi mimpi, Hati Pasrah setengah berbisik.

Sesaat kemudian, menjelang dini hari, seluruh pasang mata hati saling pandang, jauh memandang ke arah langit, tempat di mana nama-nama jiwa-jiwa suci gugur di angkasa atas nama cinta, semua terpaku oleh kilatan cerlang yang melintas di hadapan mereka, semua mengingat Nabi dan Kitab Suci, terdiam dalam sepi. Sepi pada malam itu semakin melengkung melebihi lengkung langit, melingkungi langit-langit hati dari keramaian hasrat duniawi dan gemuruh keinginan-keinginan bendawi yanh konon dianggap sebagai kemajuan peradaban umat. benar, kadang apa yang kita anggap sebagai kemajuan dan peradaban, meski di satu sisi banyak memberi kemudahan hidup, justru mengaburkan cahaya, cahaya kebenaran sejati.

Begitulah adanya, apalagi di negeri yang penuh warna warni kebohongan diri, di bumi yang selalu dinaungi pelangi kebusukan hati, di tanah yang banyak ditumbuhi tahayul dan mitologi, bahkan di antara rimbun bukit iman, awan keculasan selalu berarak, beriringan dengan kepentingan. matahari yang meninggi tak lagi berakar tentang energi kebenaran, ia hanya terbakar oleh sinarnya yang kabur, kabur oleh angan dan mimpi-mimpi penduduk bumi. jiwa-jiwa pun banyak yang merasa gelap dalam terang, hidup dalam bayang-bayang, dan akhirnya suara hatinya termangsa oleh gulita. mereka pun takkan mendengar apa pun selain bisikan negatif.

Di tengah situasi diam itu, ketika mulut, hati, pikiran dan rasa dililit-lilit oleh hening, disandera oleh senyap, dengan serta merta seorang jiwa berteriak memaki-maki saudara kandungnya sendiri, sudah kubilang, jangan ikut ke sana! bentak seorang jiwa yang bernama Manusia sambil melotot.

Ya, ya aku tahu, namaku memang binatang, tapi kita saudara, kita lahir dari rahim yang sama, Bumiluhur. bukankah jiwaku juga diundang untuk pesta cahaya ini, bersama tetumbuhan, rerumputan, padang ilalang dan bahkan para malaikat? giliran Binatang menyalakan mata.

Tidak, pokoknya tidak bisa! Binatang tetap Binatang, tak mungkin jadi malaikat, manusia, apalagi menjadi Nabi! tampaknya Manusia tak mau kalah.

Aaahh, dasar Manusia! kamu tahu apa tentang cahaya. aku mau ikut pesta, titik! Binatang tetap bersikukuh pada pendiriannya. rupanya, Binatang mulai sadar bahwa kebinatangan memang berbeda dengan kemanusiaan, mulai dari prinsip, gaya hidup, pola sikap dan kecendrungan berkuasa. sisi kemanusiaan memang sudah sempit, sehingga wilayah Binatang juga mulai dirongrong dan dikuasai oleh saudara kandungnya yang bernama Manusia, hal ini terbukti dari berbagai modus kejahatan yang dilakukan Manusia yang lantas menyalahkan Binatang. Misalnya, manusia dengan gampang menuduh saudaranya: kambing hitam, tikus kantor, lintah darat, kutu loncat, bajing loncat, ular berbisa, air mata buaya, dan lain-lain. Ironis memang.

Sudah, sudah, cukup! kalian saudara, manusia dan binatang tak ada bedanya. kebenaran bukan hanya dari manusia, semua diukur dari iman dan taqwa, kebeningan budi dan kearifan moral, kini seorang jiwa bernama tokoh agama menengahi pertikaian itu, kita semua berkumpul di sini bukan untuk saling memaki, jangan bikin keributan dalam pesta cahaya ini, semua akan memdapat pencerahan, merasakan kebahagiaan tertinggi, lebur dalam cahaya serta bergabung dengan keindahannya yang tak berwarna!

Sejenak manusia dan binatang terdiam, sepertinya mereka berdua merasa malu, kenapa sampai tua bangka begini tak mau berdamai, mengalah dan menomorsatukan kebersamaan.

Ingat saudara-saudaraku, nabi dan kitab suci tak bosan-bosan mengingatkan kita, jiwa-jiwa yang dungu dan pikun ini. betapa banyak etalase kebohongan dalam dunia ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah benar-benar sadar akan kebodohan dan kedunguan kita, ketidaksabaran dan ketidaksadaran kita? inilah yang akan menghambat pesta cahaya nanti!

Semua kembali terdiam, tertunduk, memasuki diri masing-masing, diri yang paling sendiri. semakin khusyuk semakin merasa ditusuk-tusuk oleh perasaan dosa, semakin terdiam semakin merasa ditikam oleh kesalahan-kesalahan: kepada diri sendiri, kepada jiwa dan umat yang lain, lebih-lebih kepada Tuhan.

Aku tidak serendah yang manusia kira! gumam binatang dalam hati, Tuhan! bukankah kami para binatang lebih arif melestarikan alam, lebih bijak menjaga keseimbangan bumiMu?

Genderang-genderang kerinduan mulai ditabuh, pawai ribuan angan beriringan bersama angin, gugusan, warna warni surga melingkungi sekujur hening, bunyi shalawat, suara takbir dan dzikir menyambut datangnya malam seribu bulan, inilah saatnya kesunyian paling sunyi yang hanya terdengar oleh hati. pesta cahaya memang sudah dimulai, tapi tak semua jiwa benar-benar merasakannya, kecuali kesungguhan jiwa yang bersabar dan bersyukur atas segala bentuk cobaan dan terjalan nasib hidup, sebab hidup adalah perjalanan mencari pulang menuju keabadian. pesta cahaya adalah sebuah suasana di mana tiap jiwa memasuki kedalaman dirinya sendiri yang utuh dan sangat jauh. jiwa ragawi yang terbatas dan parsial akan mencapai yang tidak terbatas dan parsial akan mencapai yang tidak terbatas dan universal, tak terhingga, jauh tapi dekat, ghaib namun begitu nyata.

Aneka kilau menghampiri surau, langit tertunduk, bumi menengadah, bebatuan menyusun dirinya sendiri menjadi bukit, bambu-bambu menyusun dirinya menjadi rakit, sungai-sungai mencari muara, angin menjadi perahu, mimpi buruk telah berlayar, kini tinggal kedamaian yang berkibar, berkabar tentang tanah yang ramah, pada jejak kaki dan gelisah, ruang dan waktu hanyalah bekas sayatn rindu, rindu yang teramat rindu, tanpa lampu, jendela, etalase dan tak berpintu. karena setiap hembus iman adalah pintu menuju Tuhan, kini semuanya terbuka, terbawa dan terangkat menuju pesta cahaya, seribu purnama. malam seribu bulan.

Dalam pesta cahaya itu, cahaya Tuhan menerangi semesta dari ruang hampa yang terdapat dalam masing-masing diri. ya, setiap umat memiliki ruang hampa, namun sejatinya ruang hampa bukanlah masjid, kuil, gereja atau tempat-tempat ibadah yang dikerumuni jiwa-jiwa itu. ruang hampa terdapat dalam hati, dalam diri kita sendiri, ruang hampa adalah ruang kosong dalam sanubari untuk hanya di isi oleh cemerlang cahaya Tuhan. di atas hamparan sajadah dan gerimia tasbih itu, semua mencapai keteduhan dan ketenangan, mendaki puncak keindahan dan mencapai pencerahan di bawah rimbun keikhlasan seribu purnama. malam seribu bulan.

Bayangkan! kata tokoh Agama, kalau setiap tahun kita dapatkan malam seribu bulan, maka dalam setiap tahun nilai usia kita akan bertambah kurang lebih 83 tahun. kecuali kita memang lebih memilih untuk memangsa diri sendiri dan meludahi bangkai kita sendiri.

Inilah pesta cahaya yang diajarkan oleh Nabi, inilah yang akan kembali melahirkanku dan meluhurkanmu bersama sebuah negeri? kata Rohani.

Malam seribu bulan ini bisa datang kapan saja, bahkan tiap malam, bagi siapa saja yang menghasrati pencerahan, bagi siapa saja yang tidak berpihak pada kegelapan, Rohati tak mau kalah.

Dan senyum Tuhan akan memenuhi semesta ruang dan waktu, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (negeri yang subur-makmur dan diberkahi Tuhan).

Tiba-tiba di kejauhan sana, entah karena terlambat atau apa, seorang jiwa tampak tergopoh-gopoh dan lantas bersimpuh di hadapan Tokoh Agama yang sedang khusuk memimpin pesta cahaya. tanpa basa basi, ia langsung bertanya: Apakah dalam diri saya juga terdapat ruang kosong untuk dipenuhi cahaya? tolong beri penjelasan, pak! apakah saya masih pantas mendapatkan malam seribu bulan?

Anda siapa? tanya tokoh agama.
manusia, nama saya manusia pak! dan jiwa saya adalah jiwa manusia.
anda yakin sudah benar-benar menjadi manusia? tanya tokoh agama.
tolonglah, pak! saya juga ingin seluruh hidup saya bercahaya.

Tokoh agama itu pun hanya terdiam, tapi karena manusia terus mencecarnya dengan perranyaan serupa yang di ulang-ulang. akhirnya pewaris para Nabi itu menjawab: entahlah, saya tidak punya stok cahaya, silahkan tanya sendiri pada Tuhan. saya bukan Tuhan.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Very good.