Dolphijn dan Awal Kisruh Perang Aceh

in story •  7 years ago  (edited)

Satu kisah tragis terjadi di perairan Aceh pada tahun 1836. Anak buah kapal Dolphijn membunuh nahkodanya. Mereka kemudian merapat di pelabuhan Aceh, menyerahkan kapal tersebut kepada syahbandar.

Peristiwa itu kemudian diketahui Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia. Investigasi dilakukan, hasilnya, Belanda meminta Kerajaan Aceh untuk menyerahkan anak buah kapal Dolphijn beserta kapal itu kepada Pemerintah Kolonial Belanda, para pembunuh nahkoda itu akan dihukum sesuai hukum kolonial.

Raja Aceh Sulthan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah menolaknya. Alasannya, duta Belanda itu tidak membawa surat kuasa dari Gubernur Hindia Belanda di Batavia. Utusan Belanda itu kemudian kembali ke Batavia, setelah mendapat surat yang diminta Sultan Aceh, mereka kembali lagi ke Aceh untuk mengambil kapal Dolphijn. Tapi, ketika mereka tiba, kapal itu tidak ada lagi, sudah dibakar di Pidie.

20180327_152636.jpg
Salah satu bendera perang Kerajaan Aceh. Repro: The Dutch Colonial War in Aceh

Inilah awal-awal sengketa Kerajaan Aceh dengan Kolonial Belanda. Kerajaan Aceh yang masih berdaulat dianggap sebagai batu sandungan bagi Belanda di Selat Malaka. Padahal Selat Malaka merupakan pintu masuk kapal-kapal Eropa ke nusantara. Belanda beranggapan tak guna menguasai rumahnya, kalau pintunya terkunci. Sudah tiga abad Belanda menjajah nusantara, tapi Aceh masih merdeka, belum bisa ditaklukkan.

Kasus kapal Dolphijn kemudian dijadikan sebagai titik awal untuk menggiring Aceh kepada pertentangan yang lebih besar. Berbagai provokasi di Selat Malaka dilakukan Belanda. Sultan Aceh paham bahwa Belanda sedang bermain, mereka bernafsu untuk menginvasi Aceh. Maka, Sultan Aceh membangun sebuah benteng di Pulau Kampai, kini masuk wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Malah Sultan Aceh mengutus Tuwanku Hasyim Banta Muda sebagai wakilnya di wilayah timur Aceh. Untuk memperkuat benteng Pulai Kampai, Kerajaan Aceh mengimpor 15.000 pucuk senapan dan mesiu. Senjata dan amunisinya itu didatangkan lewat Penang, Malaysia. Menariknya, pembelian senjata itu dilakukan dengan cara barter rempah-rempah.

Sementara di sebelah selatan wilayah timur Kerajaan Aceh, benteng juga dibangun di Barus, kini masuk wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Selain itu Sultan Aceh juga memperkuat dan menempatkan pasukan tambahan di Singkil.

Penulis Belanda EB Kielstra dalam buku Eschrijving van den Atjeh Oorlog, 1883 menjelaskan, pada tahun 1840, empat tahun setelah kasus kapal Dolphijn, Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia mengutus Kolonel HVM Michiels untuk memerangi Kerajaan Aceh. Serangan pertama Belanda ini berhasil mengalahkan pasukan Aceh di Barus. Sejak saat itu kapal-kapal Eropa tak lagi mendapat sambutan baik di pelabuhan Aceh.

20180327_152524.jpg
Ilustrasi pasukan meriam Kerajaan Aceh yang dimuat koran Inggris. Repro: The Dutch Colonial War In Aceh

Kemenangan di Barus itu bagi Belanda tidak memberi dampak apa-apa. Karena tujuan sesungguhnya adalah menaklukkan Kerajaan Aceh dan menguasai Selat Malaka. Kerajaan Aceh yang terus memperkuat diri dengan mengimpor senjata secara besar-besaran tak bisa dikalahkan dengan perang.

Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengusulkan perjanjian perdamaian dengan Aceh. Pada tahun 1857 Mayor Jenderal Van Swieeten menandatangani perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan Sulthan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah.

Dalam perjanjian itu baik Aceh maupun Belanda sepakat untuk mencabut tuntutan atas pertiakan yang terjadi sebelumnya, termasuk soal Dolphijn dan perang Barus. Selanjutnya Aceh dan Belanda akan menjalin hubungan dagang dengan mengindahkan undang-undang yang berlaku di Aceh. Bahkan dalam salah satu klausul perjanjian itu disebutkan, Aceh dan Belanda akan sama-sama memberantas pembajakan dan perdagangan manusia (human trafficking) di Selat Malaka.

Meski demikain, Sultan Aceh menyadari bahwa sewaktu-waktu Belanda bisa mengkhianati perjanjian itu, maka pada tahun 1872 diplomat Aceh dikirim ke Singapura untuk melakukan pertemuan rahasia dengan Konsul Amerika, Perancis dan Italia. Duta Aceh itu terdiri dari Panglima Muhammad Tibang, Tgk Nyak Muhammad, Tgk Lahuda Muhammad Said, Tgk Nyak Akob, serta Tgk Nyak Agam.

Tentang diplomasi Kerajaan Aceh di Singapura ini ditulis oleh ahli internasional relation dari California, Amerika Serikat, Jamer Warrant Gould. Ia mengungkap sebab musabab perang Aceh. Hasil penelitiannya dimuat di majalah Annals of Iowa.

Kembali ke diplomat Aceh di Singapura. Mereka berhasil meyakinkan Konsul Amerika di Singapurea Mayor AG Studer untuk berpihak kepada Aceh. Mayor Studer mengirim kawat kepada Panglima Skadron Angkatan Laut Amerika Serikat yang sedang berada di Laut Cina Selatan, meminta kapal tersebut menuju Singapura untuk membantu Aceh. Studer juga merancang sebuah konsep persahabatan antara Aceh dengan Amerika. Konsep pakta pertahanan Aceh-Amerika ini sampai sekarang masih tersimpan di museum militer Amerika.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Trimong geunaseh bg @isnorman postingan droeneuh sangat bermanfaat

Seru dan menarik, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya dan mengenalkan pada generasi penerus agar menambah kecintaan

Iya, kita berharap generasi muda Aceh bertambah cinta pada sejarah bangsanya..., maaf ikut nimbrung @farrohahulfa,

Silahkan nimbrung brader @munaa biar seru dan sama-sama merawat sejarah untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya, tulis dan tulis itu cara yang kita punya selemah-lemah iman. he he he he

hehehe

Ya betul @farrohahulfa karena itu mari terus mewartakan sejarah, agar kita tidak lupa.

Sama sama rakan @shofie, berarti tak sia-sia saya menulis sejarah ini. Semoga kita bisa terus berbagai pengetahuan di sini. Salam.

Mantap @isnorman salam sukses selalu

Terimakasih Brader @ilyasismail sudah singgah dan membacanya, terima kasih juga atas votenya. Tabik nyang lambong untuk Pak Ketua KSI Chapter Aceh Timur.

bereh bang... smoga sukses ... di steemit...

Terimakasih sudah berkunnung dan membacanya, sukses juga buat rekan @iskandarishak

Sejarah akan menjaga ingatan kita atas masa lalu untuk membangun masa depan.

ya, sejarah adalah spion, pengingat, agar kita tidak salah bertindak, tidak jatuh pada lobang yang dulu pendahulu kita pernah jatuh ke dalamnya.

keledai saja tidak mau masuk kelobang yang sama, mungkin begitu maksud @isnorman... ?

Ya, makanya kita harus cerdas, penguatan sumber daya harus terus dilakukan. Endatu kita sudah meninggalkan sejarah yang hebat, jangan sampai kita menjadi generasi yang lembek. Malu kita pada nenek moyang.

  ·  7 years ago Reveal Comment

Siap Brader @emong.soewandi akan terus kita gali untuk kita sampaikan melalui tulisan kepada generasi selanjutnya. Salam.

Sejarah membangun manusia lebih kreatif dan bangkit.

Ya Sista @willyana makanya pesan Bung Karno, Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sekali aja tidak boleh, apa lagi sering melupakannya. Salam.

Seokarno itu pembual, meski ungkapannya benar, tapi tak layak jadi referensi.. hahaha

Bukan sekedar pembual, tapi juga cengengnya itu lo Brader @munaa saat merengek menangis minta kepada rakyat Aceh melalui Abu Beureueh untuk membelikan dua pesawat terbang bagi republik Indonesia yang saat itu baru berusia 3 tahun. tapi kemudian Soekarno mengkhianati Aceh dengan menghapus provinsi Aceh dan meleburkannya dalam provinsi Sumatera Utara. Aceh pun memberontak. Ketika Aceh sudah angkat senjata melawan, malah wakil presiden Muhammad Hatta yang dikirim ke Aceh untuk mendinginkannya. tapi Hatta malah tak berkutik sampai di Aceh.

Tercerahkan bang @isnorman, mengisahkan jati diri dan nilai tawar pemimpin di masa lampau.

Disamping itu, ada satu catatan menarik diceritakan dalam manuskrip Aceh, sebuah data primer yang patut dipertimbangkan dalam menulis sejarah perang Aceh-Belanda. Sebuah rekaman sejarah tentang pecahnya perang Belanda melawan Aceh pada 8 Muharam 1289 (18 Maret 1872); mundur dari ibu kota pada tahun 1290 (1873/74); dan pecahnya pertempuran baru pada 1 Zulkaidah 1298 (25 September 1881) dan lagi pada 1299 (1881/82). Manuskrip tersebut sekarang dalam koleksi The British Library.

In 1840 Dutch troops arrived in Barus to push back the Acehnese. This note describes how two religious leaders and their congregations set off to fight the Dutch in Barus in 1840, and were killed in Barus in1843.
Recording the outbreak of Dutch war against Aceh on 8 Muharam 1289 (18 March 1872); the retreat from the capital in 1290 (1873/74); and the renewed outbreak of fighting on 1 Zulkaidah 1298 (25 September 1881) and again in 1299 (1881/82).[Credit]

Masih dalam manuskrip yang sama, menceritakan tentang perang Aceh-Belanda di Barus pada tahun 1840. Sebagian teks manuskrip dialih aksara oleh @keuudeip telah diposting di group facebook @mapesa [LINK]menggunkan akun Musafir Zaman.

(1). Adapun maka tatkala Hijrah Nabi Shalla-Llah 'alaihi wa Sallam seribu dua ratus lima puluh enam tahun (1256), maka pergi Teungku Lam Kraq (Lam Krak) dan Teungku 'Id serta dengan jama'ah keduanya ke Negeri Barus berperang Sabil pada sehari bulan Rajab, maka syahid Teungku Lam Kraq dan Teungku 'Id dan jama'ah keduanya di Negeri Barus dalam sehari bulan Sya'ban sanah 1259.
(2). Maka tatkala hijrah Nabi Shalla-Llah 'alaihi wa Sallam seribu dua ratus lapan puluh sembilan tahun sanah 1289 pada bulan Muharram hari Khamis 7, diperang oleh Belanda Negeri Aceh. Pada tahun sembilan puluh (1290) mundur orang Aceh serta raja-raja dan diambil Kuta Raja - Inna li-Llah wa Inna ilaihi Raji'un. Kemudian dari itu pada tahun seribu dua ratus sembilan puluh lapan tahun, sehari bulan Dzil Qa'dah, sanah 1298, terbangkit pula perang selama duduk di Masjid Meureu, kemudian di Kuta Bak id (Ba'et), kemudian di Kuta Meurah Samagani dan di Kuta Ta (?) Piyeung, kemudian pada tahun sanah 1299 berbangkit perang kedua pada enam (?) di Masjid Bueng Cala.


http://www.bl.uk/manuscripts/Viewer.aspx?ref=or_16764_f035r

Sumber lain yang menceritakan tentang perang Aceh-Belanda di Barus, diceritakan dalam penjelasan jatuhnya salah satu bendera perang milik tentara Aceh ke pihak Belanda.

In 1839 werd Baros aan de Noordwestkust van Sumatra bezet door de Nederlanders. Het naburige Atjeh, dat Baros onder zijn invloed wilde houden, zette daarop een aanval in. De Atjehers belegerden Baros, maar werden in april 1840 teruggedreven onder het bevel van kolonel A.V. Michiels. De vlag werd buitgemaakt bij de bestorming van de versterkingen die de Atjehers hadden opgeworpen. Eerste-luitenant C.H. Bischoff (1808 - 1840) die de vlag neerhaalde, werd daarbij zwaar gewond door elf klewanghouwen. Gewikkeld in de met bloed bevlekte vlag werd hij weggedragen. Hij overleed enkele dagen later, op 3 mei, aan zijn verwondingen. Volgens de teksten op het banier behoorde de vlag toe aan de Atjeehse legeraanvoerder Al-Iskander. [Credit]

NG-1977-279-2-A.jpg
'Banier van Al-Iskander' of 'Baros Vlag'. Wol, met maan en kromzwaard van katoen. Opschriften in het Arabisch. Vlag vertoont kogelgaten en bloedvlekken. [Source]

Krak, melihat postingan ini membuat diriku semakin semangat untuk menulis sejarah. Setiap tambahan data dari Brader @vannour membuat rangsangan yang luar biasa. Tabek nyang lambong keu rakan-rakan Mapesa.

Saban2, InsyaAllah kita sama2 dapat berbagi informasi.

Sip. Fragmen fragmen sejarah Aceh harus terus ditulis secara terus menerus, karena sejarah yang tidak ditulis akan jadi dongen, sementara dongen yang sering ditulis akan dianggap sejarah.

menarik kali cara Bang Is menuliskan cerita sejarah ini.... btw, apakah pernah menulis tentang sejarah bangku marsose yang di tangse itu bang?

Akan kita tulis pada kesempatan lain. Sejarah harus ditulis dengan cara baru untuk menarik pembaca, karena tak semua orang suka membaca buku secara. Cara penyampaian yang ngepop dan ringan akan membuat pembaca tidak mudah bosan. begitu Sis @ihansunrise

Betul betul betul.... Kalau Bang Is Yg tulis dah ngga diragukan lagi

Ha ha ha shengkiyu sudah singgah dan membacanya. Teruslah menulis @ihansunrise untuk membuktikan bahwa kita pernah ada.