Untuk melawan kelompok feodal yang mendirikan Markas Uleebalang di Lameulo, Pidie, kelompok pendukung Republik Indonesia mendirikan Markas Besar Rakyat Umum di Garot, Pidie. Perang berlangsung selama 84 hari, upaya persiapan pendaratan Sekutu/NICA di Aceh berhasil digagalkan.
Markas Besar Rakyat Umum didirikan pada 22 Desember 1945, tugasnya menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan kelompok Uleebalang yang dimotori Daod Cumbok, yang mencoba merebut Kota Sigli untuk menyiapkan pendaratan tentara Sekutu di Aceh paca kekalahan Jepang.
Markas Besar Rakyat Umum mengeluarkan maklumat yang berisi empat poin, yakni: Melarang membakar rumah penduduk, enwalaupun siapa punya, melarang mengambil harta benda penduduk walau tidak berharga, memperlakukan musuh yang ditangkap dengan baik, serta tidak diperbolehkan memukul tawanan.
Pembukaan jalur kereta api Beureunuen-Lameulo 15 Juni 1906 Sumber
Bersamaan dengan itu, pada tanggal 8 Januari 1946, Pemerintah Residen Aceh mengeluarkan ultimatum kepada Markas Uleebalang. Isinya, meminta kelompok Marka Uleebalang di Lameulo untuk menyerahkan semua senjata dan menghentikan perlawanan, kalau tidak, maka akan ditundukkan dengan kekerasan. Dalam ultimatum itu diberi batas waktu sampai pukul 12 siang Kamis, 10 Januari 1946.
Kelompok Markas Uleebalang tidak mengindahkan ultimatum tersebut, bahkan semakin meningkatkan perlawanan dengan menembak para pemuda PRI, pemuda PUSA, Laskar Mujahidin, Divisi Rencong dan TKR. Mereka juga membakar dan merampas harta penduduk.
Ketika batas waktu yang diberikan dalam ultimatum itu habis, maka Markas Besar Rakyat Umum dikordinir melalukan serangan serentak ke Markas Uleebalang. Serangan dilakukan pada pukul 12.00 siang tanggal 10 Januari 1946, sasaran serangan adalah tiga kelompok pasukan Markas Uleebalang, yakni pasukan kelompok cap sauh, cap bintang dan cap tombak.
Perang frontal terjadi di Lameulo, dan usai shalat magrib perang semakin sengit. Pertempuran bukan hanya terjadi di Lameulo, tapi juga di Leungputu, Meureudu, dan Beureunuen. Perang saudara itu terjadi selama tiga hari tiga malam, baru pada hari Minggu tanggal 13 Januari 1946 Markas Uleebalang di Lameulo berhasil ditaklukkan.
Daod Cumbok dan sisa-sisa pasukannya melarikan diri ke arah barat, menuju pegunungan Seulawah, berusaha untuk melarikan diri ke Sabang, karena Sabang pada waktu itu sudah dikuasai oleh pasukan Nederlandsch Indie Civiele Administratie atau Netherlands-Indie Civiele Administration (NICA), setelah kekuasaan Jepang di pulau itu dilucuti Sekutu pada 25 Agustus 1945.
Untuk mencegah Daod Cumbok dan pasukannya melarikan diri ke Sabang, pantai di sebelah utara kaki gunung Seulawah diblokir, setiap perahu atau kapal yang merapat digeledah. Pasukan pro republik dari berbagai laskar dan kelompok juga siap siaga jika sewaktu-waktu tentara Sekutu/NICA dari Sabang merapat ke pantai untuk menjemput Daod Cumbok dan sisa-sisa pasukannya.
Pada 16 Januari 1946, Daod Cumbok dan pasukannya ditangkap. Markas Besar Rakyat Umum menyataan perang telah usai. Daod Cumbok ditangkap di dekat water scheling Padang Tiji di kaki gunung Seulawah.
Meski demikian, sebuah maklumat yang berisi ultimatum kepada sisa-sisa pengikut Daod Cumbok dikeluarkan oleh Markas Besar Rakyat Umum. Isinya menegaskan bahwa, jika masih ada yang mencoba membuat kerusuhan dan menghasut rakyat untuk melawan pemerintah, maka akan dijatuhi hukuman mati.
Perang saudara selama 84 hari ini dikenal dalam sejarah Aceh sebagai “Revolusi Desember”. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pasukan Daod Cumbok terungkap bahwa kelompok Markas Uleebalang memang telah menyiapkan rencana pendaratan Sekutu/NICA ke Aceh. Hal itu diperkuatkan dengan sejumlah dokumen kelompok Daod Cumbok yang disita laksar Mujahidin dan PRI dari seorang kurir penghubung kelompok Daod Cumbok dengan Sekutu/NICA di Medan yang ditangkap di Langsa.