Kisah Pidato Perjuangan Tiga Menteri Republik Indonesia di Taman Sari

in story •  6 years ago 

Tiga Menteri bersama Wakil Presiden Muhammad Hatta mengisi Rapat Samoedra di Taman Sari Banda Aceh. Menjelaskan tentang jalan akhir perundingan Indonesia dengan Belanda.

Pada 7 Juni 1949 di Taman Sari Banda Aceh dilangsungkan rapat umum yang disebut sebagai Rapat Samoedra, menyambut Wakil Presiden Muhammad Hatta yang datang ke Banda Aceh dua hari sebelumnya.

Puluhan ribu masyarakat Banda Aceh, Aceh Besar dan sekitarnya ikut menghadirinya. Rapat dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, kemudia dilanjutkan dengan pidato Residen Aceh TT Muhammad Daodsyah dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Dr Soekiman Wirjosandjojo.

tugu2.jpg
Tugu Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Taman Sari, Banda Aceh Sumber

Mendagri Soekiman menjelaskan tentang garis besar rencana Belanda yang hendak meleburkan dan menghilangkan Republik Indonesia, dan akan menyesuaikannya dengan keinginan mereka. Belanda melakukan blokade supaya rakyat Republik Indonesia kelaparan, sehingga bisa ditekan untuk menerima resolusi perdamaian yang sesuai kehendak Belanda.

“Mereka memblokade supaya Republik kelaparan, mengadakan kepungan politik dan daerah-daerah istimewa untuk mengadu domba antara kita sesama. Tetapi maksud Belanda ini telah gagal, karena timbul reaksi dari dunia internasional yang menyatakan Republik Indonesia tidak mati dan tetap hidup. Disebabkan oleh hal ini di kalangan Belanda timbul kegelisahan. Apa bila negara-negara federal ciptaan Belanda sendiri makin hari makin memihak kepada Republik,” jelas Soekiman.

Setelah Mendagri Soekiman berpidato, naik pula ke podium Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Ali Sastroamidjojo, yang memberi penjelasan tentang perjanjian Roem-Royen, sebuah kesepkatan wakil Indonesia Mr Muhammad Roem dengan utusan Belada Dr van Royen, mengenai langkah-langkah perdamaian.

TT Moch Daodsyah.jpg
Residen Aceh TT Muhammad Daodsyah Sumber

Menurut Ali Sastroamidjojo, perundingan Indonesia dengan Belanda akan menemukan jalan penyelesaian yang terakhir. Apa yang dikatakannya itu kemudian memang terbukti, berpegang pada kesepakatan Roem-Royen kemudian digelar perundingan yang fenomenal yang dikenal sebagai Konferensi Meja Bunda (KMB) dimana Belanda harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

“Perundingan kalau bisa ditempuh kita tempuh, tetapi bukanlah berarti kalau kita diserang diam saja. Kita harus siap sedia,” kata Ali Sastroamidjojo yang juka wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam beberapa perundingan dengan Belanda.

Giliran selanjutnya berpidato adalah Mr Nazir Dt Pamontjak. Ia merupakan wakil Indonesia yang sudah berpengalaman dalam diplomasi luar negeri. Kepada rakyat Aceh yang ikut Rapat Samoedra di Taman Sari itu ia mengungkapkan bahwa negara-negara di dunia, terutama negara-negara Asia dan negara-negara Arab sudah sangat bersimpati dengan kemerdekaan Republik Indonesia.

“Pengakuan negara-negara Arab dan negara-negara Asia sangat besar harganya, lebih-lebih pada saat Belanda menyerang kembali Republik. Kita sudah membuka perwakilan di berbagai negara di dunia untuk perjuangan diplomasi kemerdekaan kita,” tegasnya.

M Natsir dan Ali Sastroamidjojo di Banda Aceh.jpg
Menteri Muhammad Natsir dan Ali Sastroamidjojo di Banda Aceh Sumber

Saat itu Republik Indonesia memang sudah membuka 12 kantor perwakilan luar negeri, mulai dari Amerika Serikat (Dr Soemitro Djojohadikoesoemo), Inggris (Dr Sobandrio), Mesir (Hadji Rasjidi BA), India (Dr Soedarsono), Pakistan (Idham), Burman.Myanmar (Mardjunani), Siam/Thailand (Izak Mahdi), Filipina (B Soesito), Australia (Dr Oesman Sastroamidjojo), Chekslowakia (Soeripno, kemudian dipecat karena terlibat PKI), Afghanistan (Abdoel Kadir), dan Mr Oetojo (Singapura).

Sementara Menteri Penerangan Muhammad Natsir yang berpido selanjutnya mengatakan rasa bangganya bisa datang ke Aceh, merasai suasana di mana-mana berkibar bendera merah putih. “Ini adalah suatu nikmat, dan kita harus pandai menghargai dan memaknai nikmat itu,” katanya.

Aceh saat itu merupakan satu-satunya wilayah Republik Indonesia yang tidak bisa dimasuki Belanda pada agresi militer kedua. Karena itu pula Aceh disebut Presiden Soekarno sebagai Daerah Modal Perjuangan Kemerdekaan.

Wapres Hatta turun dari pesawat Seulawah.jpg
Wakil Presiden Muhammad Hatta ketika tiba di Banda Aceh Sumber

Setelah para menteri itu berpidato di hadapan puluhan ribu rakyat Aceh. Acara puncak Rapat Samoedra di Taman Sari Kota Banda Aceh itu adalah mendengar pidato politik dari Wakil Presiden Muhammad Hatta.

Dalam pidato poitiknya Hatta mengatakan, perjungan tiga setengah tahun setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah dihadapi dengan pahit, pengorbananan yang wajib dilakukan untuk mencapai kemerdekaan. Tidak mudah mencapai negara merdeka dan menjadi bangsa yang merdeka. Perjuangan menghendaki penderitaan dan pengorbanan.

“Janganlah ditujukan kemerdekaan itu untuk kepentingan kita sendiri. Siapa yang berjuangan dan sudah mengaku kalah, dia pasti kalah. Dalam kekalahan kita mesti tetap dengan tekat kita, bahwa kita musti menang, dan akhirnya kita mesti menang juga,” tegas Wakil Presiden Muhammad Hatta.

Hatta menambahkan, oleh karena Indonesia sudah kuat di mata internasional, maka Belanda harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia tanpa syarat.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!