Setelah gagal dan kalah pada agresi pertama Maret 1873, Belanda kembali melakukan agresi ke Aceh pada November tahun yang sama, dengan jumlah pasukan dua kali lipat dari agresi pertama.
Agresi Belanda kedua ke Aceh diperkuat oleh 18 kapal perang, tujuh kapal angkatan laut, 12 barkas, dua kapal peronda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat pendaratan yang terdiri dari: enam barkas, dua rakit besi, dua rakit kayu, 80 sekoci, dan puluhan tongkang.
Agresi militer Belanda kedua ke Aceh ini dipimpin oleh Letnan Jendral J Van Swieten, pensiunan panglima pasukan Hindia Belanda yang terpaksa diaktifkan kembali untuk perang melawan Aceh, setelah panglima perang Belanda sebelumnya Jendral JHR Kohler tewas ditembak pejuang Aceh pada agresi militer Belanda yang pertama ke Aceh.
Jendral Van Swieten berangkat dari Den Haag pada 16 Juli 1873 dan sampai di Betawi pada 24 Agustus 1873, khusus untuk memimpin perang melawan Aceh. Ia dibantu oleh Mayor Jendral GM Verspijck.
Panglima Perang Aceh Tuanku Hasyim Banta Muda Sumber
Pada agresi kedua ini, Belanda mendaratkan pasukannya di kampung Leu’u dekat Kuala Gigieng, Aceh Besar pada 9 Desember 1873. Untuk menghadapi agresi Belanda tersebut, pasukan Kerajaan Aceh dipimpin oleh Tuanku Hasyim Banta Muda, salah seorang keluarga sultan. Ketiga agresi Belanda pertama terjadi Maret 1873 Tuanku Hasyim Banta Muda berada di Sumatera Timur untuk memperkuat pertahanan di sana.
Dalam menghadapi agresi Belanda kedua ini, Tuanku Hasyim Banta Muda dibantu oleh Tengku Imum Lueng Bata dan Teuku Nanta Setia. Mereka sama-sama memimpin pasukan Kerajaan Aceh dalam peperangan tersebut.
Setelah delapan hari berperang, pasukan Kerajaan Aceh mengundurkan diri untuk mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman, membangun kubu pertahanan di Peukan Aceh dan Lambhuk, serta menyusun pertahanan di sekitar Kraton Darud Dunia (Dalam).
Perang terus berkecamuk, pada 6 Januari 1874, pauskan Belanda berhasil menduduki Masji Raya Baiturrahman. Saat itu berdasarkan laporan Belanda, terdapat sekitar 3.000 pejuang Aceh dari Mukim XXII yang mempertahankan garis perang yang dibuat oleh Panglima Polem dengan konsentrasi pasukan kawasan di Lampu’uk.
Sementara Keraton Darud Dunia (Dalam) sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh dijaga oleh 900 orang pasukan bersenjata. Raja Pidie juga datang ke Bandar Aceh Darussalam dengan sekitar 500 orang pasukannya, mereka membuat kubu pertahanan di kawasan Lueng Bata.
Jendral Van Swieten [Repro:_The_Dutch_Colonial_War_In_Aceh)
Pada pertengahan Januari 1874 datang juga sekitar 1.000 orang pasukan pejuang Aceh dari Peusangan yang membangun kubu pertahanan di Kuala Cangkoi. Begitu juga dengan Raja Teunom T Imum Muda dengan 800 orang pasukannya ikut ambil bagian dalam perang menghadapi agresi militer kedua Belanda tersebut.
Karena perang terus berlanjut dan Belanda terus merengsek bergerak ke daratan, serta mulai terjangkitnya wabah penyakit kolera, pada 13 Januari 1874 Sultan Mahmud Syah dan Panglima Polem mengundurkan diri ke Lueng Bata. Dua orang kerabat Sultan Mahmud Syah juga memimpin sekitar 1.000 pasukan di wilayah Keutapang dua, dibantu oleh sekitar 500 orang pasukan tambahan dari Negeri Meureudu.
Menyebarnya pertahanan pasukan Kerjaan Aceh di beberapa tempat itu membuat kurang berjalannya koordinasi dalam menghadapi serangan Belanda. Hal itu kemudian diperparah dengan pengkhianatan Uleebalang Meuraxa, sehingga Keraton Darud Dunia yang sudah ditinggalkan oleh Sultan Mahmud Syah itu kemudian dapat diduduki oleh pasukan Belanda.
Pada 29 Januari 1874 Sultan Mahmud Syah wafat di Pagar Ayer karena penyakit kolera dan dimakamkan di Cot Bata. Meski sultan sudah wafat para pemimpin Aceh tetap meneruskan perlawanan terhadap Belanda.
Pada 31 Januari 1874 Jendral Van Swieten memproklamirkan bahwa Kerajaan Aceh sudah ditundukkan, meski yang dikuasainya hanya sebuah kota saja. Pada 16 April 1874 Jendral Van Swieten kembali ke Betawi. Agresi kedua Belanda ke Aceh itu menurut catatan militer Belanda, menyebabkan 28 orang perwira Belanda tewas bersama 1.024 orang tentara, sementara 52 orang perwira dan 1.181 tentara diungsikan dari Aceh karena mengalami luka berat.
Belanda menyangka proklamasi Van Swieten itu cukup untuk membuat Aceh takluk. Kenyataannya yang terjadi sama sekali di luar dugaan Pemerintah Kolonial Belanda, perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung, hingga Belanda harus berperang selama 69 tahun, sampai mereka benar-benar keluar dari Aceh pada tahun 1942.
Pada 18 April 1874, para pemimpin Aceh yang terdiri dari: Tuanku Hasyim Banta Muda bin Tuanku Kadir, Panglima Polem Sri Muda Perkasa, Sri Imum Muda, Teuku Panglima Mukim XXVI, Sri Setia Ulama mengirim surat kepada para uleebalang di seluruh Aceh yang menyatakan bahwa, perang melawan Belanda akan diteruskan sekuat tenaga.