Setelah Tsunami Menggulung Kampung

in story •  7 years ago 

Lelaki itu gamang. Ia baru saja tiba kembali ke kota itu, setelah puluhan tahun merantau ke negeri sangat jauh, beribu-ribu mil. Sebuah negeri tempat ia menggantung hidup sejak 40 tahun lalu. Ya, 40 tahun lalu, ia berangkat dari kampungnya dengan menumpang truk barang, berbekal tiga pasang pakaian, hingga sampai di kota yang jauh itu. Kota impian, kata orang.


CERPEN: MUSTAFA ISMAIL

Kini ia pulang juga dengan menumpang truk barang, menempuh perjalanan berhari-hari, berbekal tiga pasang pakaian pula, hingga sampai kembali ke kampungnya. Tapi, sekali lagi, ia gamang. Pasar kecamatan telah berubah menjadi sebuah kota layaknya kota besar: dengan toko-toko bertingkat, gedung kantor, juga juga plaza. Tapi, kota itu sunyi dan asing. Sangat sedikit orang di sana. Banyak toko dan gedung tutup. Tergembok rapat. Debu melapisi pintu dan dindingnya. Catnya kusam.

P_20150927_110117.jpg

Toko dan gedung-gedung itu sudah seperti sekian lama ditinggal. Kemanakah orang-orang di kota ini? Hari masih siang, mengapa tidak banyak orang lalu lalang. Matahari terik. Tak ada lagi dua pohon Sala di pasar itu, yang dulu setia memayungi orang-orang dari panasnya matahari dan rintik-rintik kecil hujan. Persis beberapa meter dari tepi jalan, tempat pohon sala itu tegak dengan cabang, daun dan rantingnya yang rindang, telah berdiri sebuah gedung bank. Tapi juga sunyi. Sepi. Tertutup rapat.
Ia melangkah ingin pulang ke rumahnya. Tapi lagi-lagi keasingan menyergap. Ia tidak bisa menandai di mana rumah ibunya, yang dulu persis di tepi jalan kabupaten yang menghubungkan dua kecamatan, yang berdebu tiap dilintasi kendaraan. Sebab rumah-rumah di kiri-kanan jalan menuju ke rumahnya berdempet-dempetan, berdesak-desakan, serupa kampung di kota-kota besar. Rumah-rumah itu seragam, tipe 36, bagai lautan kubus. Tapi tak ada riuh orang-orang.
Beberapa orang yang lewat, dengan memacu sepeda motor dan mobil cepat-cepat, sama sekali tak ia kenal. Ia mencoba menyapa mereka, tapi pastilah mereka tidak mendengar, karena mereka tidak perduli padanya yang berjalan terseok-seok dengan perasaan aneh di jalan licin beraspal yang dulu dia telusuri tiap hari sejak usia sekolah dasar hingga ia memutuskan pergi merantau ke sebuah kota yang jauh.
Dulu, untuk menuju ke rumahnya yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari kota kecamatan, ia hanya perlu jalan sebentar, beberapa puluh meter saja. Setelah itu pastilah orang-orang yang berpas-pasan dan melaju dengan sepeda ke arah yang sama akan memberi tumpangan. Kini, tak ada mereka. Tak ada lagi orang-orang bersepeda. Apakah mereka telah menjadi orang-orang kaya, lalu pindah ke kota-kota besar menjadi saudagar di sana? Entahlah.
Ia terus berjalan. Sepanjang jalanan itu, ia masih ingat betul, di tepi kanannya sawah membentang, dan sebelah kiri laut menghampar dari sela-sela pohon kelapa kebun milik orang kaya di kampung. Sekarang tidak. Sepanjang jalan, ia tidak melihat lagi sawah dan laut yang menyembul dari celah-celah kebun kelapa itu. Yang terlihat hanya rumah-rumah itu. Dan semuanya sepi, sunyi, dan tergembok rapi.
Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Yang dia tahu, belasan tahun lalu, kampungnya pernah dihantam gempa dan gelombang dahsyat yang menghanyutkan apa saja. Banyak orang menjadi korban, kehilangan sanak-saudara dan harta benda. Ada pula yang menjadi gila karena tidak sanggup menanggung derita kehilangan orang-orang dicinta.
Dunia riuh oleh duka. Ratusan ribu orang jadi korban bencana, terbesar di kampungnya. Tapi waktu itu, ia tidak bisa pulang. Ia belum menemukan impian di kota impiannya, tempat ia merantau. Di sana, ia benar-benar menjadi gelandangan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, makan dari belas kasih orang-orang, dari mengumpulkan kertas-kertas dan kardus bekas, puntung rokok, dan terkadang mengemis.
Memang waktu itu banyak pesawat menggratiskan ongkos bagi keluarga korban gelombang dahsyat itu untuk menengok sanak-keluarganya di kampung. Tapi ia tidak yakin apakah dengan penampilannya yang kusut, kumal, kotor, bau, orang-orang akan memberi tumpangan di angkutan udara yang nyaman itu. Ia tidak yakin apakah orang semiskin dia akan mendapatkan kesempatan untuk naik pesawat.
Sebab, ia selalu terdampar dalam pengalaman buruk: orang-orang tidak pernah percaya padanya. Untuk berobat ke rumah sakit pun ia sulit. Ia tidak punya kartu tanda penduduk, apalagi surat keterangan miskin dari kelurahan. Sebab, ia tidak punya tempat tinggal. Untuk nasib seperti itu, ia tidak sendiri. Seorang sahabatnya terpaksa menggigil demam di bawah kolong jembatan karena tidak punya uang untuk berobat.
Sungguh, ia tidak yakin orang seperti dirinya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan. Maka itu, ia memutuskan tidak ikut serta mengantri di bandara utuk dapat pulang kampung secara gratis itu. Tambah lagi, ia memang tidak punya uang untuk ongkos bus ke bandara, yang tentu saja tidak gratis. Ia sempat berpikir pulang menumpang truk pada waktu itu, tapi ditolak oleh beberapa awak truk, karena mereka lebih mengutamakan membawa barang-barang.
Ya sudah, ia terpaksa menahan getir, dengan linangan air mata, yang terus-menerus, berhari-hari, sepanjang hari, sepanjang malam. Ia ingat ibu-ayahnya yang sudah tua, abang dan adiknya. Ia juga ingat sanak-saudaranya. Sepanjang waktu, satu persatu wajah mereka membayang. Apalagi, televisi terus memberitakan dengan gencar, membuat semuanya terang berderang.
Lalu, televisi memberitakan pula banyak orang dari berbagai negeri dan bangsa berduyun-duyun datang ke kampungnya untuk membantu, menolong. Orang dengan segala warna kulit tumplek di sana. Ramai. Jalan-jalan menjadi sering macet. Segalanya dikerahkan: uang, tenaga, dan peralatan. Mereka membikin rumah yang hilang tersapu, memperbaiki jalan, sekolah, masjid, toko, juga menyantuni para korban.
Tapi yang ia sedih, sekian waktu banyak korban belum mendapatkan rumah. Selain itu, harga barang-barang di sana menjadi mahal, bahkan sangat mahal. Itu dikarenakan orang-orang yang bekerja untuk membangun kembali kampungnya itu bergaji sangat tinggi, berpuluh kali lipat dari pendapatan banyak orang kampungnya yang berpekerjaan sebagai petani dan nelayan, dan sedikit lainnya sebagai pegawai.
Ia tidak percaya sebagian orang menjadi makmur dan kaya tiba-tiba. Bahkan, banyak orang dari luar menjadikan kampungnya sebagai lahan untuk mendapatkan pekerjaan menjanjikan, meskipun katanya proses pembangunan cuma sekitar empat tahun. “Meski cuma empat tahun, kalau gaji bisa Rp 30 juta sebulan, hitung saja berapa banyak bisa dikumpulkan dalam empat tahun itu,” kata lelaki itu kepada sahabat senasibnya pada sebuah sore.
“Ah, kau jangan mengigau. Biar saja mereka kaya. Memangnya kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa. Cuma aneh saja. Banyak orang-orang di kampungku untuk mendapatkan makan pun sulit. Mereka kehilangan peralatan dan tempat bekerja. Mereka juga kehilangan semangat.”
“Sudahlah, tidak usah mikirin jauh-jauh. Mendingar kita pikirin bagaimana kita makan malam ini. Kemana lagi kita mesti mencari makan. Atau kau punya ide?”
Lelaki itu tidak menjawab. Pikirannya masih menerawang jauh. Terus-terang, ia iri juga: mengapa orang-orang di sana begitu mudahnya mendapatkan penghasilan berjuta-juta rupiah.
“Sudah ah, aku mau tidur. Mudah-mudahan malamnya tidak terbangun, sehingga tidak merasakan lapar. Besok pagi aku mau mengemis di prapatan seberang. Mudah-mudahan cukup untuk makan sampai malam,” sahabat senasibnya berkata tiba-tiba, sambil merebahkan tubuhnya ke atas bentangan kardus di kolong jalan tol itu.
Lelaki itu tidak menyahut, tidak menanggapi. Ia masih larut dalam pikirannya. Ia ingat kampungnya. Ia ingat sanak-saudaranya. Ia ingat teman-teman kecilnya yang mungkin ada diantara mereka juga mendapatkan kemakmuran bisa turut serta dalam pembangunan kembali kampungnya, berbaur orang-orang dari berbagai tempat dan bangsa. Atau mungkin mereka secara tidak langsung telah menjadi budak uang dan membiarkan saudara-saudaranya terlantar di tempat-tempat pengungsian.
Dan kali ini, ia pulang. Pulang, berselang belasan tahun setelah tragedi gelombang dahsyat itu. Ia datang untuk melihat kampung yang dulu hiruk-pikuk dengan kehadiran banyak orang dari berbagai belahan dunia, untuk benar-benar membantu atau sekedar mencari penghidupan layak. Sekarang, hiruk-pikuk itu sudah selesai. Mereka semua sudah pulang. Tinggal orang-orang kampungnya, yang sama sekali tidak ia kenal.
Beberapa orang yang lewat bersepeda motor di jalan aspal licin yang menghubungkan dua kecamatan yang dicoba disapanya menengok pun tidak, apalagi membalas sapaan. Apakah ia masih terlihat seperti gembel? Tidak, menjelang pulang, ia telah menyiapkan diri menjadi orang sebagaimana biasanya. Ia sempat membeli baju layak pakai dari pasar loak. Rambutnya dan kumisnya yang memutih dicukur rapi.
Ia ingin pulang seperti banyak orang pulang dari rantau: tampak berhasil, meskipun di rantau compang-camping. Memang begitulah adatnya orang pulang kampung: mestilah tampak lebih baik dari ketika pergi. Yang mungkin agak sulit dijawabnya ketika ada orang bertanya: mana isteri dan anak-anakmu? Ah, ia belum kawin. Mana ada uang untuk kawin, untuk surat-surat dan mengurus ini-itu.
Lagi pula, ia memang sudah bertekat untuk tidak kawin sebelum bisa menafkahi dengan baik keluarga. Tapi untuk soal itu ia tidak terlalu khawatir. Bisa saja ia sedikit berbohong dan mengatakan bahwa anak dan isterinya tidak bisa pulang. Anaknya tidak bisa libur sekolah, sementara istrinya lagi tugas ke luar kota. Selesai kan? Mana ada orang yang tahu keadaan sebenarnya.
Ia terus melangkah di kesunyian itu, di bawah matahari terik, dengan mata ke sana-kemari, melihat banyak hal yang tak pernah ia bayangkan. Ia menelisik satu persatu rumah-rumah itu, mencari-cari yang manakah rumahnya---tak lain rumah orang tuanya dulu--- rumah permanen dengan atap merah saga. Atau kalau pun rumah itu sudah tidak ada lagi, ia ingin tahu persis di mana sebenarnya letak bekas rumah itu.
Dan pastilah rumah itu sudah tak ada, meski mungkin tidak begitu rusak ketika dihantam gelombang dahsyat itu. Pastilah rumah itu telah dirobohkan dan diganti dengan rumah baru oleh orang-orang dari berbagai tempat dan segala bangsa yang datang berduyun-duyun ke kampungnya dulu. Tapi di manakah letak rumah itu?
Ia terus berjalan. Terus mencari. Matahari pun terus beranjak. Tiba-tiba, di ufuk barat matahari telah bulat memerah. Ia tersadar, ia sudah sangat jauh berjalan. Tapi belum ia temukan rumah itu. Ia ingin bertanya, tapi (lagi-lagi) di rumah-rumah yang berbaris di kiri-kanan jalan itu tidak ada satu pun orang di sana. Sepi, sunyi.
Lelaki itu hanya menemukan orang-orang lewat, yang begitu bergegas, memacu sepeda motor dan mobilnya cepat-cepat. Dan setiap ia berusaha menyapa, orang itu makin mempercepat laju kendaraannya. Ia seperti berada di kota tempatnya merantau: orang-orang seperti tidak perduli pada yang lain. Semua mengurus hidupnya masing-masing. Begitu pula para pemimpin, asyik dengan mereka sendiri.
Ketika matahari beranjak malam, ia sempat bimbang: apakah ia akan terus mencari rumah masa kecilnya atau kembali ke tanah rantau meneruskan hidupnya, meski dalam kondisi penuh ketiadaan. Sebab, ia tidak lagi menemukan kampungnya. Ia tidak menemukan siapa-siapa. Tidak menemukan sanak-saudara. Hanya kesunyian, berbalut kerinduan yang dipendam bertahun-tahun tapi justru makin mengental setelah tiba di kampung.
Tiba-tiba tubuhnya menjadi begitu capek, lemas, dan mulutnya beberapa kali menguap. Ia ingin sekali merebahkan diri. Ia ingin tidur. Dan bermimpi. Sepuasnya. Sampai ia kembali menemukan kampungnya. ***

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Asik juga posting cerpen bang MI.....

Hehe... Makasih

Abang memang jagonya... keren

Menulis cerpen bagian dari kegembiraan Adi. Makasih

Spasinya ga ada Pak @musismail? Jadi ga nyaman pas dibaca.

Ya, mengikuti format di word. Kalau di msword tiap alinea masuk ke dalam

Yuppp... Tapi masih bisa diedit kok Bang @musismail. Dengan sekali enter per paragrafnya, akan lebih nyaman dibaca....

Ya makasih Ihan. Salam

Bagus sekali .
Senanh bacanya.Terimakasih tEETlah membawa saya ke kampung halaman. Pak @musismail

Ya. Nostalgia kampung halaman

Pasti sedih sekali kehilangan kampung. Semoga lekas ketemu.

Ya, semoga. Makasih