"aku datang kesini bukan sebagai anakmu"
hal ini sama seperti ketika Ni menelepol Pak Junaidi M.Kes untuk berkonsultasi mengenai suatu pandangan baru yang Ni dapat sebagai mahasiswi di suatu perguruan tinggi negri di jogja, beliau memberikan pandanganya sebagai seorang dosen yang puluhan tahun lalu pernah menjadi mahasiswa di jogja pula. Juga barang kali sebagai ayah yang mengharapkan hal baik terhadap anaknya
Ni menceritakan banyak hal, tentang buku bacaanya yang baru, mengenai isme-isme, pemikiran filsuf dunia yang namanya sulit disebutkan dan pengertianya yang baru saja ia ketahui setelah umurnya menginjak 20 tahun, juga mengenai diskusi kecil yang dilakukanya di tengah malam syahdu, bersama beberapa orang dari kaumnya yang memandang intelektualitas dengan sisi ketimuran, namun tidak sampai menjadi fanatik pada pembahasanya, juga menganai pertemuan-pertemuanya dengan individu baru yang masih mencari isme mana yang pantas untuk hidupnya atau barangkali menciptakan isme baru yang lain lagi.
“Anak muda, kau dibutuhkan oleh bangsamu”
Ni begitu bersemangat ketika menceritakan mengenai dirinya, bacaanya, lingkungan tempatnya kini dan persoalan-persoalan yang dilaluinya di tanah perantauan, ia merasa ialah harapan itu, impian itu dan tumbuhlah ia bersama dengan harapan orang-orang di negaranya, menjadi seseorang yang dibutuhkan bangsanya, ia pun menjalankan hidupnya untuk sesuatu yang disebut ilmu dan segala hal lurus lainya, menghindari kesalahan dan kecerobohan yang biasa dilakukan anak muda lainya. Menjalankan hidup dan menjadikan orang-orang didalamnya sesuai dengan fungsinya.
hampir setiap persoalan yang baru Ni ketahui langsung dicatat olehnya, dan ketika panggilan itu tersambung dengan Pak Junaidi, Ni langsung menceritakan satu persatu penemuan hidupnya tanpa jeda, terus bertanya mengenai pandangan beliau dan sesekali menangkis dengan pandangan subjektif yang berbeda, namun sering sekali Ni begitu setuju dan terpukau dengan orang tua ini.
Pernah suatu ketika deretan persoalan sudah di tulis olehnya dan ia begitu kebingungan, bukan karna tak ada jawaban, jawaban sudah ada di benaknya, namun ia belum menyatakan setuju dengan kebenaran yang ditemukanya, ia butuh sekali mendegar suara orang tua itu, hidupnya seperti tanda tanya besar, makan pun dengan tanda tanya mengantung berat sekali di kepalanya, namun telepon tak kunjung tersambung, Ni pun hidup beberapa hari seperti orang ling-lung. Dan ketika telepon tersambung dengan orang tua itu, Ni pun tersenyum, hidupnya kembali semerbak harum. Ia bukan terdoktrin pada orang tua itu, bukan, namun pandangan orang tua ini diperhitungkan sekali oleh Ni untuk menemukan sebuah sintesis yang baru dalam hidupnya.
Bertahun tahun Ni terus saja seperti itu, segala buku dan kajian dilumatnya dalam-dalam, beratus-ratus bahkan beribu-ribu panggilan masih terus dilakukan Ni setelah mencatat persoalan, Pak Junaidi masih bisa berbicara dan berpendapat. Ni terus bahagia dan selamat di tanah orang. Hidupnya benar- benar bermanfaat, ia sepertinya akan menjadi “Orang” seperti yang didefinisikan kebanyakan orang di negaranya, Hingga suatu saat Ni lupa suatu hal.
Ni telah menjadi orang semenjak ia dilahirkan, dan menjadi anak tersayang semenjak itu pula, ia lupa menanyakan di tiap telponya.
“Pak junaidi Ayahku, kau apa kabar?”