Apa kabar Bunda? Sehatkah Bunda hari ini? Harapanku semoga Bunda tidak demam, sakit (hati) dan tegar dengan ujian dari Tuhan.
Bunda....meskipun kita belum pernah berjumpa untuk keduakalinya, aku yakin Bunda masih ingat denganku. Sama seperti aku mengingat saat kita pernah bertemu di kampus dulu. Kau dan aku nampak bahagia berkamera ria. Di tengah-tengah kita ada Kakanda (IY) yang memisahkan jarak aku dan dirimu. Saat itu...aku, engkau dan Kanda IY ikut hadiri yudisium mahasiswa FKH Syiah Kuala. Aku hadir mendampingi belahan jiwaku sebagai peserta.
Bunda.....nampak Kanda (IY) mengenalku dari sofa tempat ia duduk. Dia sesekali melihat ke depan dan sesekali ngobrol dengan sahabatnya sivitas akademika FKH Syiah Kuala. Saat itu Kanda (IY) bukan siapa-siapa. Ia baru saja turun tahta setelah tunaikan jabatan paruh pertama. Saat itu kali pertama ku menjabat tangannya dan tanganmu juga. Kanda (IY) sempat berbisik ke telingaku: "ini istrimu?" Aku jawab: "iya". Beliau membalas: "bereh" (mantap).
Aku tidak paham maksud kata BEREH tersebut. Apakah karena istriku cantik jelita atau karena predicate cumlaude yang disandangnya? Itulah kalimat pertama dan terakhir yang ia bisikkan padaku.
Dia sangat paham betul akulah oposannya pada paruh pertama jabatan yang menjadikan ia mulia di mata bangsa. Tak tanggung-tanggung kritikku saat menjadi mahasiswa membuatnya seperti disambar petir. Demontrasi kami BEM Syiah Kuala selalu warnai dinamika Ibukota bangsa saat itu.
Dalam suatu ketika (aku lupa tanggal mainnya) aku berorasi penuh wibawa dan suara yang menggelegar hingga menembus dinding ruang kerjanya. Aku menghentak-hentak nada suara. Akhirnya ia menyerah dan tetap bersikukuh tak mau turun menemuiku di atas kenderaan pick up biasa.
Ku utus sang Sekjend PEMA (Pemerintah Mahasiswa) menuju ruangannya untuk berdiplomasi dengan kami anak muda biasa. Ketika itu ia tak sendiri. Ajudan dan pengawal selalu setia. Sang Sekjend terkejut karena saat itu (beliau dan juga ajudannya) langsung menghardik: "ka peugah bak si Mujib ija lab darah ka kamo peusiap" (kamu bilang ke si Mujib kain lap darah sudah kami siapkan).
Aku terus berorasi, Sekjend turun kembali ke lobi dan melapor hasil diplomasi. Wajahnya pucat basi. Ia sampaikan hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kami agar Kanda IY turun bicara dengan kami mahasiswa.
Bunda.....cerita itu ku kenang sampai kini. Aku tidak menaruh dendam maupun dengki sedikitpun. Meski kami selalu berseberangan kata. Aku di barat ia di timur, aku di selatan ia di utara. Saat ini pun aku di Senayan, ia dibilik tahanan KPK.
Bunda...maafkan aku tak bisa menjaganya. Karena dia tahu aku tak bisa. Aku hanya laki-laki biasa yang bisa apa? Bunda......aku sangat prihatin atas nuansa bathin mu kini. Meskipun tak kau ungkap namun bisa ku rasa. Tp inilah pilihan dan ujian dari Tuhan semesta. Jalan ini tak mudah untuk kita lalui. Tapi putus asa bukanlah jawaban dari sebuah sikap ksatria.
Bunda....maafkan aku... 4 Oktober 2017 ada kabar di telingaku yg dibawa oleh "burung2" Jakarta bahwa KPK sedang meneropong bangsa. Hingar-bingar pembangunan yang dibalut dusta dan pura-pura telah menyalakan alaram tanda bahaya di kantor KPK.
Bunda....maafkan aku. Aku sudah memberi sinyal-sinyal itu di media tempat kita saling menyapa. Memang tanpa suara maupun nada-nada pekikan mikrofon saat aku orasi dulu. Tapi tak satupun bergeming. Hanya lewat begitu saja.
Sinyal-sinyal itu hilang....meskipun aku semakin kencang menabuh gendang tanda-tanda. Bunda....tak lama sinyal-sinyal itu menemui titik terangnya. 4 Juli Kanda IY ditangkap KPK. 4 Oktober sebelumnya aku sudah curiga...Bunda....bukan dirimu saja, aku pun sedih nestapa. Tak ada satupun ajudan-ajudan hebat alumni Amerika bisa mencegahnya. Apalagi aku...
Bunda....Bunda harus tahu. Kanda itu terlalu LUGU sebagai penguasa. Kadang itu termakan kata-kata mereka orang-orang dekatnya. Padahal dibalik itu semua mereka sedang siapkan perangkap untuknya. Kita semua terpana...lupa....karena kuasa telah duduk di atas segala galannya.
Bunda....kini perbanyaklah doa. Tuhan masih sangat sayang padanya. Mungkin Tuhan ingin masukkan ia ke surga. Sebagai hamba, Tuhan ingin ia bebas dari dosa. Bunda...berhentilah menangis. Hapus air matamu segera. Saat ini adalah waktu yang terbaik kita menghiburnya. Agar ia semakin yakin bahwa musibah ini bukanlah akhir segala-galanya. Ini hanya lah kasih sayang pencipta yang tak semua orang sanggup terima.
Bunda....kapan kita jenguk bersama ke gedung KPK? Aku menunggu waktu yang tepat...pasti akan bertemu dan jabat tangan tuk kali kedua. Aku ingin mendengar apa yang akan ia bisik untukku. Itu saja Bunda....karena ku tahu kerinduan kalian adalah kerinduanku...sedih kalian adalah sedihku....karena sesungguhnya dia orang baik tapi salah memilih teman dan sahabat yang tak mampu menjaga nasibnya. Bunda...maafkan aku...surat ini bukan ingin membuka luka lama. Tapi ini adalah kenangan yang tersisa...antara aku, engkau dan dia.
Bersambung...
Jumat 20 Juli Jam 11.43 AM
Kompleks DPR RI
Senayan Jakarta
Sang Penakluk Kemustahilan