Turkish Caj, Sebatang Rokok, dan Persahabatan

in story •  6 years ago 

Awal mula kepindahanku ke benua biru, aku tidak pandai memasak sama sekali. Setelah seminggu lebih, aku sudah cukup pintar membuat telur dadar. Kenapa tidak telur mata sapi? Karena menurutku butuh ilmu lebih untuk bisa memecahkan telur, lalu mengeluarkan isinya dari cangkang ke dalam teflon, tanpa tangan harus terkena cipratan minyak panas. Sungguh berlebihan sekali.

Minggu-minggu pertama aku hanya bertahan dengan beberapa indomie yang sengaja kubawa serta dari tanah air, telur dadar atau telur rebus, kentang goreng buatan teman, dan roti. Ramadhan pula, sempurnalah penderitaanku di awal-awal masa kuliah.

ruyada-lahmacun-gormek-lahmacun-yemek-lahmacun-almak-vermek-ruya-tabirleri-sozlugu-1001ruyatabiri-696x415.jpg

Source

Image : Lahmacun, bisa dikatakan pizza Turki. Makanan yang tak pernah bisa kutelan sampai hari ini :D

Sampai suatu hari, aku diajak untuk ikut buka puasa bersama dengan teman-teman Turki di bascarsija. Ah ya, bascarsija (bascarsyiya, red) itu sebutan lain untuk pusat kota. Isinya macam-macam, dari mesjid, gereja, pedagog, cafe, diskotik. Semua berdekatan. Tanpa pernah bersinggungan

Kembali ke buka puasa bersama.

Ada satu kebiasaan di teman-teman asal turki, mereka butuh waktu lama di meja makan. Sarapan misalnya, bisa sampe beberapa jam di meja makan. Katanya, waktu itulah keluarga saling bertemu satu sama lain, bercengkrama dan bercerita. Well, ini berlaku untuk sarapan di akhir pekan. Biasanya, sarapan - brunch - lunch, semua disatukan. Karena kekenyangan.

Buka puasa pun sama aja kelakuannya. Begitu masuk jadwal ifthar, tidak ada yang beranjak dari tempat duduknya, kecuali pelayan kalau di restoran. Salat? Nanti, didekatkan waktunya dengan isya saja. Itu dalih mereka.

Aku memilih untuk bergegas ke Begoa Dzami, salat terlebih dahulu, baru nanti dengan santai menikmati hidangan makanan yang kulihat sangat menggoda. Selesai salat kupercepat langkah kembali ke restoran tempat kita berbuka. Kuperhatikan semua sibuk makan dan berebutan bercerita dengan yang lainnya, makanan bagianku sudah dipisahkan agar tidak dihabiskan yang lain.

Masih terlalu cepat untuk makan malam pikirku. Kuambil segelas turkish caj , teh turki yang akan selalu ada di setiap jamuan mereka. Wait, kapanpun ada, ga mesti ada jamuan juga. Aku berjalan keluar restoran. Cuaca di awal musim gugur dan segelas turkish caj, that's all I need

"Maira. Come, have a sit", sapa seorang perempuan yang duduk di depan restoran.
"Hi, sta ima" , jawabku. Kuselipkan sedikit bahasa bosnia, kalimat kedua yang kutahu setelah ne nam. ,Artinya kurang lebih sama dengan what's up?.

Seorang perempuan asal Turki yang kuduga juga mahasiswi di kampus yang sama. Cukup dengan melihat gaya pakaiannya, kita bisa menebak dari negara mana ia berasal. Aku berjalan ke arahnya, dan mengambil duduk pas di sebelahnya.

"Do you mind?", tanyanya lagi. Sambil menunjukkan sebatang rokok di selipan jarinya.
"My ifthar" , jawabnya memperjelas, kalau rokok yang sedang dinikmatinya itu adalah takjil berbukanya sore ini.

Aku duduk di sebelahnya bak mannequin di pasar, kaku tanpa ekspresi. Rada shock sebenarnya, perempuan berjilbab dan merokok tidak pernah terbayang sebelumnya. Mungkin budaya di sini ya seperti itu, let see, fikirku. Lebih tak terbayang lagi, perempuan perokok berat ini, sampai belasa tahun kemudian, adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

"Why here?", si teman bertanya, apa alasanku memilih Bosnia sebagai negara tujuan studi.
" Long story short, why not! " , jawabku dengan nyengir yang kupaksakan. Lebih mudah menjawabnya seperti itu. Orang asing pula, tak ada kewajiban aku untuk menjawab pertanyaannya dengan jujur sejujur-jujurnya

Dia tertawa mendengar jawabanku. Akupun ikut tertawa jadinya. Suasana yang awalnya kaku pun perlahan membaik, dia memperkenalkan siapa dirinya. Ternyata kita classmate yang sudah beberapa kali bertemu tapi belum pernah bertegur sapa. Baru beberapa hari aku tiba di negeri ini, berbicara dengan bahasa inggris masih terasa asing bagiku, menyapa orang asing apalagi. Kecuali terpaksa saja.

Disela-sela pembicaraan kuperhatikan caranya mengisap rokok yang entah sudah berapa batang dihisapnya selama kami berbincang. Sangat ahli sekali, bahkan beberapa teman laki-lakiku di Aceh, tidak sepintar itu dalam menikmati sebatang rokok pun. Pastilah sudah lama ia menjadi ahli hisap, pikirku lagi.

alanya-turkey-may-turkish-tea-traditional-tulip-glasses-table-simitci-dunyasi-street-cafe-shot-spring-73071906.jpg

Source

"you wanna see something?", tanyanya tiba-tiba. Ia menyerahkan rokok yang di tangannya padaku, diselipkan di jariku. Siapapun yang melihat, pasti menduga aku pun seorang ahli hisap. Aku kebingungan dengan tindakannya, tapi kubiarkan saja. Pasti ada sesuatu yang menarik setelah ini.

"Maira, don't do that!", aku menoleh ke arah suara laki-laki di belakangku, yang dengan tegas melarangku untuk merokok. Hanya teman sekelas yang memanggilku Maira, bahkan seorang profesor pernah mempertanyakan namaku yang tak terlihat di absen kelas haha

Si teman yang belakangan jadi sahabatku tertawa terbahak-bahak melihat reaksi si teman laki-laki tadi.

" Tau gak Maira, dia itu perokok berat, dia benci sekali melihatku merokok, sekarang dia akan lebih membenciku karena dikiranya aku mengajakmu merokok juga" Ujaranya sambil tertawa.

Akupun akhirnya ikut tertawa. Si teman laki-laki tadi kebingungan melihat reaksi kami, sampai akhirnya tersadar sudah dikerjai si teman.

Sarajevo_Bascarsija_2011-10-28_(5).jpg

Source

Dari sebatang rokok di waktu ifthar, aku bisa menemukan dua orang yang kemudian menjadi sahabat-sahabat terbaikku. Kedua-duanya perokok berat, yang satunya peminum berat pula. Keduanya setiap saat mengingatkanku untuk tidak pernah menyentuh dua benda tersebut. Karena merekalah, kopi jadi minuman pilihan di tiap pertemuan kami. Berlanjut hingga kini.

Langit musim gugur, bergelas-gelas turkish caj, dan rokok, jadi saksi persahabatan kami yang ajaib ini.

Beberapa tahun kemudian, di negara tetangganya, aku kembali di pertemukan dengan lingkaran pertemanan yang serupa. Lingkaran pertemanan yang bagi siapapun yang melihatnya akan bertanya, " kok bisa?". Ajaib.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Keren kak @rahmanovic cerita nya. Hanyut dalam cerita, sampe2 terasa udah di turki. Hehe.

Miraaaaa kamu punya story life yang keren, sayang lo kalau tidak diapa-apain.... ayo tulis lagi buat sepotong-sepotong gini keren, jadi berbabak-babak.... aduhhh aku kagum kali sama Mira. Membaca ceritamu lebih seru daripada dengerin langsung.

Kuterharuuuuu... Ini kayaknya selama Ramadhan nulisnya fokus ke sarajevo dan jerman aja ni..efek kangen Kali

Ihaaaaannn makasihhhhh 😘😘😘😘

iya Mir.... cerita-cerita terkait pengalaman spiritual, sosial, antropologi, pasti menarik untuk kemi ketahui.... dan asmara juga ya...itu selipan yang manis.

"Maira, ! Wah. Sepertinya panggilan ini lebih keren kak daripada Kak Mira 😂

Hahahahahahhahaa.... Boleh boleh..apa yg gak boleh untuk nindi 😉

I saw Kak Mira, I upvoted.

Ahai, cerita yang begini ysng ditunggu😍