Sudah lewat 8 malam ketika Samara mulai beberes setelah tulisannya selesai. Sekarang ia hanya ingin mengunjungi seseorang yang dengan setia menunggunya dalam diam di ruangannya. Seseorang yang 2 jam lalu mengganggu saat ia mulai menulis yang seharusnya tidak ia kerjakan di kantor. Suatu usaha yang akan membawanya lebih dekat dengan impian terbesarnya.
Kini ia sudah berada di depan pintu ruangan itu, yang selalu membuat jantungnya degdegan ketika harus membukanya. Namun sebelum membukanya, Samara lebih dulu merapikan rambutnya, mengecek bayangan wajahnya di cermin, dan menarik napas dalam.
“Assalamualaikum Pak Arkana Alfara…” Samara terhenti begitu melihat Rakha tertidur di tempatnya. “kha…”
Samara tidak tega membangunkan Rakha yang terlihat sangat lelap. Ia hanya memandangi wajah pulas itu seolah-olah itu dapat menenangkannya. Gadis itu kini mengerling ke sekelingnya, mencari sesuatu untuk bisa terus memandangi wajah kekasihnya.
“Ah…!” Ia pun mendapatkan ide. Mengambil kursi Satria dan meletakkannya tepat di sebelah Rakha. Setelah mendudukinya, Samara melipat kedua tangannya untuk kemudian menumpukan kepalanya di sana.
Dalam dia, Samara memerhatikan wajah Rakha sekali lagi. Kedua matanya yang tertutup, pipinya yang coklat, hidungnya yang panjang, dan rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar pipi dan bawah hidungnya.
“Aku banyak melihat wajah yang seperti ini seumur hidupku…” senyumnya kemudian terangkat lebar. “Tapi kenapa aku merasa, wajah yang ini yang paling tampan?”
Samara berharap Rakha tidak terbangun dan mendengar ucapannya barusan. Sebelah tangan Samara terangkat, membelai pipi itu lembut, dan tak melepaskan tatapannya sedetikpun dari Rakha.
Samara kembali melipat tangannya, “Aahh, mungkin ketampanannya berasal dari situ…!” kini pandangannya tertuju pada dada kiri Rakha yang tertutup kemeja hitam.
Waktu seolah berhenti saat Samara ingin terus berdiam diri sembari menumpukan pandangan pada Rakha yang masih pulas. Ia tidak ingin detik segera berganti menjadi menit, dan malam berganti pagi.
“Kenapa kita enggak ketemu lebih cepat?”
Sejurus kemudian, Samara tercengang ketika wajah Rakha berubah menjadi sosok lain. Seseorang yang belasan tahun lalu menjadi bahu yang kokoh untuknya menangis. Figur yang sampai detik ini tidak pernah melihatnya sebagai seorang yang telah jatuh hati padanya.
Ritz.
Samara memejamkan kedua matanya, berharap sosok Ritz segera pergi.
“Eh, kamu…!”
Mata Samara refleks terbuka, dilihatnya Rakha sedang tersenyum ke arahnya.
**
“Kenapa kita enggak ketemu lebih cepat?”
Samar-samar Rakha mendengar seseorang berbisik. Suaranya begitu bebas, seperti baru melepaskan beban berat. Rakha membuka kedua matanya perlahan. Sepasang mata minimalis menerpa pandangannya. Senyum Rakha terkembang perlahan. Yang Rakha tidak mengerti mengapa gadisnya itu memejamkan mata.
“Eh, kamu?”
Samara membuka kedua matanya, terlihat jelas ia seperti ketakutan. Rakha menjadi semakin bingung.
“Kamu sudah selesai?” tanyanya mengabaikan kebingungan sebelumnya.
Samara mengangkat kepalanya sembari menjawab, “sudah. Yuk pulang!”
Rakha berdiri dari tempat duduknya, menarik tangan Samara, dan membawanya keluar. Keduanya tidak mengatakan apapun sampai benar-benar keluar kantor dan tiba di depan lift.
Perasaan Samara masih tidak enak karena telah melihat Ritz yang sebenarnya adalah Rakha. Sementara Rakha memilih tidak mengatakan apapun karena melihat kegelisahan di wajah samara. Ia ingin bertanya tetapi ada yang menahannya. Entah apa?
“Yang, tunggu bentar, aku ke toilet ya?”
Rakha hanya mengangguk dan membiarkan Samara meninggalkannya sendiri di depan lift.
Sesaat setelah kepergian Samara, seorang satpam yang tadi pagi ditemuinya datang menghampiri.
“Bapak yang tadi pagi, kan? Kebetulan banget!” kata satpam itu seraya menghampiri.
“Kenapa, Pak?” tanyanya dengan kening berkerut.
“Dapet salam dari Bunga,”
Rakha tertawa, rupanya si gadis yang tanda pengenalnya ia temukan tadi pagi mengiriminya salam.
“Ini ada titipan dari Bunga,” katanya sembari memberikan sebuah kartu nama. Setelahnya satpam yang tidak Rakha ketahui namanya itu berlalu ke ruang lain di sudut gedung.
Rakha berdesis, merasa senang menerima kartu nama tersebut. Setelah menyimpan nomor yang tertera di ponselnya, Rakha membuang kartu nama tersebut ke dalam tong sampah di sisi lift.
**
“Thank you ya!” kata Samara setibanya ia di depan gang kosan.
“See you,” tutur Rakha sembari mengusap puncak kepala Samara, lantas membiarkannya keluar setelah melempar senyuman kepadanya.
Ada yang berbeda dari senyum Samara kali ini. Rakha sudah merasakannya sejak tadi di dalam kantor. Gadis itu lebih banyak diam dan melamun. Topik yang berusaha ia sodorkan tidak menarik perhatian Samara sebentarpun. Tidak bisa dipungkiri, Rakha kecewa melihat sikap gadisnya yang seperti itu.
Sepanjang perjalanan ke rumah, pikiran Rakha terus dipenuhi sikap Samara yang seperti memusuhinya. Seolah ia baru melakukan kesalahan besar sehingga hukuman yang diberikan adalah wajah yang tidak bersemangat.
Sementara Samara masih gamang oleh perasaannya. Benarkah ia sudah benar-benar menerima Rakha sebagai tambatan hatinya? Bagaimana jika Rakha tahu kalau Samara masih menyimpan satu nama di dalam hatinya? Samara takut sekali. Takut menyakiti. Rakha tidak pantas mendapatkannya.
“Apa yang harus kulakukan?”
Ditengah kebingungannya, ponselnya berdering. Nama Rakha tertera di layar sehingga ia tidak butuh waktu lama untuk mengangkatnya.
“Kamu sudah sampai?”
“Hhmm…! Kamu sudah ngantuk?”
“Ng…!”
Rakha menggigit bibir bawahnya. “Yang aku lihat tadi kamu keliatan ngantuk banget. Tidur, gih!” Rakha berbohong.
“Hhmm… Good night. Sampai ketemu besok ya.”
“Have a nice dream ya, dear. Love you!”
Gadis itu terburu-buru sekali menutup telepon dan mengabaikan kalimat terakhirnya. Sehingga bertambah saja kekecewaannya.
Samara meletakkan ponselnya begitu saja, lantas memejamkan kedua matanya, dan berharap esok ia bisa terbebas dari perasaan bersalah yang menghunusnya ini.
Sementara Rakha yang belum ingin tidur, memilih untuk mengecek sosial media. Mencari sebuah hiburan barangkali bisa tertidur setelahnya. Baru sebentar ia berselancar di sosial media, sesuatu mengusiknya. Buru-buru ia beralih untuk kemudian menghubungi seseorang.
“Halo, benar ini Mbak Bunga?”
**
(bersambung)
"Bagaimana bila dia tidak melihatku lagi karena sudah melihat orang lain?"
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Anjay! Kenapa pula ini komentar divote?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Semoga samara menjadi samawa... Hhehhee
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
ahahaha komentar macam apa ini? spam spam spam! ahahaha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahahaha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit