“Lu ngebiarin masalah kalian ngambang kayak begini?”
“Dengan atau tanpa pembicaraan sekalipun, semuanya sudah jelas Samuel Wijaya! Hubungan kami, done!” Samara bersikeras tidak ingin bertemu Rakha apalagi hanya untuk membuatnya semakin sakit.
“Gue yakin ada yang mau dijelasin Rakha sama lu. Aturlah pertemuan empat mata!”
“ENGGAK!” Samara mantap dengan keputusannya.
Bertemu dengan Rakha sama seperti mengembalikan bayangan yang setengah mati berusaha ia singkirkan dari kepalanya.
Samuel mendecak lidah, “kalian kan jadiannya baik-baik, kalau memang mau putus ya baik-baik juga dong,”
Samara melotot lebar, merasa tersinggung dengan kalimat Samuel barusan.
“Udahlah Mul. Gue lagi enggak mood bahas begituan,” Samara langsung balik badan, memainkan mouse dan mengeklik apa saja yang ada di layar.
Samuel tidak punya pilihan selain memaklumi. Samuel seperti telah mengenal gadis itu beribu-ribu tahun yang lalu, bahwa Ia berkepala batu.
Apa susahnya berbicara untuk menyelesaikan masalah?
Sekali lagi Samuel menyesali telah melibatkan dirinya.
Seperginya Samuel dari kubikelnya, Samara memikirkan baik-baik apa yang disampakan Samuel padanya.
Samara mengambil ponselnya, membuka chatroom Rakha dan mengetikkan sebaris kalimar, ‘pulang kerja nanti saya mau ngomong sama anda!’. Setelahnya Samara menyimpan ponselnya dan tidak peduli apakah Rakha akan membacanya atau tidak.
Benar kata Samuel, tidak perlu mengambangkan masalah terlalu lama.
**
Angin sepoi yang berembus malam itu membuat kedua kaki Rakha tegang. Sekalipun ia tidak berani melirik sosok yang sedari tadi duduk di sebelahnya dengan muka masam.
Perempuan itu, sedang menanti sebaris kalimat yang akan mempertegas semuanya. Samara, yang tengah duduk sembari menatap lalu lalang ringan di hadapannya dengan kebisuan. Samara meremas kedua tangannya yang bergetar sejak ia duduk bersama Rakha beberapa menit yang lalu.
“Kita…” Rakha menelan ludah. Getir sekali. “…temenan aja ya kayak dulu…”
Ada kebencian yang kemudian tersampaikan lewat wajahnya yang mengerling.
“Lo pikir, setelah apa yang gue liat kemarin, gue masih mau jadi pacar lo? Once cheater always be a cheater!” Samara membuang wajahnya. Merasa jijik dengan airmuka (sok) tak bersalah yang diperlihatkan Rakha padanya.
“Maaf, Sam—”
“Mulai malam ini nama gue haram bagi lo!” potongnya masih dengan suasana berapi-api.
Bagaimana tidak? Segenap perasaan yang selama ini diberikannya secara cuma-cuma pada Rakha, dipermainkan begitu saja.
Rakha tahu perempuan yang di sebelahnya ini sedang dirundung kemarahan. Apapun yang ia katakan pasti menjadi sesuatu yang akan menyulut api semakin besar. Rakha memilih tenang, karena bagaimanapun juga, ia yang salah dalam kasus ini.
“Maaf!”
“Nggak perlu minta maaf! Basi!”
Samara tidak pernah menjadi seperti ini. Hanya mengeluarkan kalimat bernada kasar. Sebelum ini, hampir tidak pernah ia berkata dengan nada tinggi kepada Rakha. Bukan hanya karena Rakha merupakan atasannya, melainkan ia seseorang yang sangat istimewa baginya sehingga Samara tidak pernah ingin memperlakukan Rakha selembut-lembutnya.
Akan tetapi semua tabiat itu lenyap ketika Samara melihat sendiri bagaimana Rakha mencumbu gadis itu. Baginya, sudah tidak akan ada lagi keramah-tamahan yang akan ia haturkan pada orang yang telah merusak kepercayaannya.
“Terus apa yang harus aku lakuin supaya kamu nggak marah lagi sama aku?”
Samara mengerling dengan hardikannya yang tajam. “Nggak usah pake aku-kamu lagi deh. Jijik gue dengernya tau nggak?”
Rakha membuang napas pelan. “Maaf. Gue kan udah minta maaf!”
Samara masih belum bisa menurunkan emosi yang ia rasakan saat ini. Sejak kejadian itu, emosinya selalu meledak-ledak jika melihat Rakha.
“Gue tahu,”
Rakha terdiam, membiarkan Samara meluapkan apa yang ia luapkan.
“Gue terlalu mudah buat lo dapetin sampe-sampe gue sebegini mudahnya lo campakkan!”
Rakha terbelalak. “Nggak gitu, Sam!”
Samara melebarkan matanya, dan Rakha ciut!
“Diem! Cuma gue yang boleh ngomong malam ini!” ketusnya.
Rakha tidak punya pilihan.
“Kalau cewek jual mahal aja, dikatain, terlalu jual mahal…” aksen Samara tampak dibuat-buat. “tapi kalau terlalu mudah, mudah juga dibuang kayak buang sampah!”
Rakha menggigit bibir bawahnya. Ingin sekali ia menimpali, namun ia segera sadar bahwa akan tetap salah meskipun berusaha memberi penjelasan sebenar apapun.
Jika saja Samara tahu, Rakha tidak punya maksud ingin mengkhianatinya. Ia hanya tidak bisa menahan godaan wanita lain. Tidak ada yang salah pada Samara, hanya saja nalurinya sebagai laki-laki tidak bisa dibendungnya.
“Tampar gue sekarang juga, kalau itu bisa bikin lo puas malam ini. habiskan kebencian lo sekarang juga.” Rakha menegakkan tubuhnya, menyodorkan wajahnya yang siap menerima tamparan Samara.
“Ngapain?” Samara tertawa miris. “Gue nggak sudi ngotorin tangan gue buat orang yang mulai malam ini jadi orang yang paling gue benci!”
Samara langsung bangkit, mengakhiri lembaran buku yang paling pahit sepanjang hidupnya dan bersiap memulai lembar baru di buku yang baru.
**
Ketika memasuki ruang istirahat kantor, Rakha sengaja membiarkan ruangan itu tetap temaram. Langkah kakinya terasa berat, begitu pula dengan caranya duduk bersandar di sofa. Satu jam telah berlalu tetapi kalimat-kalimat Samara masih membekas dalam ingatannya.
Kalau cewek jual mahal aja, dikatain, terlalu jual mahal… tapi kalau terlalu mudah, mudah juga dibuang kayak buang sampah!
Rakha mendengus kesal. Bagaimana bisa kalimat itu terus menghujamnya bak belati? Padahal, ini bukan pertama kalinya Rakha menerima kalimat semacam itu. Ia bahkan pernah mendengar makian yang lebih kasar tetapi tidak pernah bisa menghantuinya barang sedetikpun.
Fakta yang tidak disadari Rakha bahwa rasa bersalahnya kepada gadis itu semakin besar.
“Maaf…!”
Rakha bertutur dalam hati dan membisikkan bahwa ia sama sekali tidak berniat untuk membuang Samara seperti gadis-gadis lain yang selama pernah ini ia kencani.
“Aku yakin,”
Rakha mengerling ke arah meja bilyar yang tiba-tiba saja menjadi terang. Di sana ia bisa melihat seorang gadis tengah memandang ke arahnya, mengatakan kalimat familiar.
“suatu hari nanti kalau kamu ketemu cewek yang lebih cantik dari aku, kamu pasti berpaling. Semua cowok kan gitu!”
“Shit!”
Rakha buru-buru mengerling, lantas bangkit untuk meninggalkan ruangan yang bukannya membuat tenang malah membuat rasa bersalahnya semakin dalam.
“Hi!”
Rakha menoleh ke belakang, pada suara yang menyapanya ketika ia baru saja ingin mengunci pintu kantor.
“Hi!” Rakha terpaku di tempatnya. “Bunga…?!”
Gadis itu berjalan mendekat, perlahan, tetapi senyumnya mampu membuat kedua lutut Rakha melemas.
Sihir apa ini?
“Tadi aku manggilin, tapi kamu enggak denger,”
Rakha terdiam dengan pandangan tak lepas dari gadis di hadapannya, yang tersenyum canggung. Sorot matanya yang bening menyiratkan kerinduan. Rakha mendatangi gadis itu, merengkuh bahu mungilnya, lantas mencumbuinya penuh gairah.
**
Read Another Parts:
Turn On Turn Off Part 1
Turn On Turn Off Part 2
Turn On Turn Off Part 3
Turn On Turn Off Part 4
Turn On Turn Off Part 5
Turn On Turn Off Part 6
Turn On Turn Off Part 7
Turn On Turn Off Part 8
Turn On Turn Off Part 9
Turn On Turn Off Part 10
Turn On Turn Off Part 11
Turn On Turn Off Part 12
Turn On Turn Off Part 13
Turn On Turn Off Part 14
Turn On Turn Off Part 15
Turn On Turn Off Part 16
Turn On Turn Off Part 17
Lama tak melihat dirimu dek.
Akankah dirimu kembali ?
Hahahahaha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit