Kali ini aku ingin berkeluh kesah tentang studiku yang harus ada waktu tambahan satu semester lagi. Sebenarnya, satu pekan lalu namaku sudah terdaftar di list mahasiswa yang akan sidang, tapi hanya karena nilai PPKN yang kuperoleh adalah E, maka seperti inilah derita yang harus aku tanggung. Aku hendak berontak, tapi aku hanya seorang mahasiswa yang sudah lama kehilangan taring, jadi pilihanku hanya bisa pasrah saja.
Sebagai mahasiswa yang sudah menjalani masa studi cukup lama, sekitar 18 tahun lebih, terdaftar nama di list mahasiswa yang akan sidang adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Artinya, hanya selangkah lagi aku akan menyelesaikan tugasku yang sudah lama tertatih. Padahal dosen yang mengasuh PPKN pun sudah kutemui, katanya, buat saja tugas sebagai jalan keluarnya.
Mengikuti instruksi dari dosen, aku bergegas menyelesaikan agar nilai E bisa berubah, setidaknya D saja. Tapi di hari terakhir, sehari sebelum sidang dilaksanakan, dosen yang terhormat itu pun pergi ke Malang. Dengarku, ia sedang menyelesaikan studi gelar doktornya. Berkali-kali aku hubungi, ia tetap saja pura-pura bodoh. Sekali lagi aku harus rela bahwa aku hanya mahasiswa.
Tentang apa yang aku alami, seorang temanku yang pernah sekampus denganku sekira 18 tahun lalu, berkata, dosen pergi ke Malang, membuat nasibku malang. Dan dosen ingin menyelesaikan studinya, membuat studiku taerhalang. Itu setelah ia tahu bahwa dosen yang aku cari-cari pergi tanpa berdosa. Aku tidak berdaya karena aku hanya mahasiswa biasa yang sudah senja.
Setelah beberapa hari menunggu dengan resah, hari Senin lalu kembali aku hubungi dosen yang bersangkutan. “Assalamualaikum, Pak masih di Malang?, ”bunyi pesan yang kukirim. “Saya sudah balik,” balasnya singkat. Komunikasi berlanjut pada kata sepakat bahwa pada Selasa aku akan menemui beliau. Itu kabar gembira untuk mahasiswa yang sudah malang melintang seperti aku.
Esoknya, karena aku tidak punya motor, terpaksa aku ajak seorang sahabatku untuk menemani, yang tentunya ia punya kendaraan. Setiba aku di kampus, emang sudah agak siang, hampir jam 12, dosen kembali aku hubungi. Lagi-lagi waktu belum berpihak, kata dosen ia lagi ada acara di luar. “Besok pagi aja jumpai saya,” begitu jawabnya lewat WhatsApp. Untuk kesekian kalinya aku kembali pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Kembali aku harus taju diri bahwa aku mahasiswa.
Waktu terasa singkat, hingga esok pagi seperti belum pantas untuk tiba. Aku harus kembali ke kampus untuk berburu dosen. Kali ini aku datang lebih pagi, jam 10 aku sudah di kantin. Mataku mengawasi pintu masuk ruang rektorat, berharap sosok dosen yang bersangkutan nampak dari kejauhan. Setengah jam sudah, dosen belum juga nampak batang hidungnya. Akhirnya, kuhampiri satpam yang bertugas dan kutanyakan.
“Bapak sedang menghadiri yudisium mahasiswa kedokteran, tapi saya tidak tahu kapan selesai,” ujar satpam tidak berani memastikan. Dengan berkerut kening, akhirnya kuputuskan untuk menghubungi lagi si bapak dosen yang terhormat itu. “Assalamualaikum, Bapak dimana?,” tanyaku lewat pesan singkat. “Saya lagi mengikuti yudisium, tunggu saja,” balasnya singkat padat.
Sudah dua jam lebih aku menunggu, persis di depan halaman rektorat, dengan alasan aku tidak mau kali ini ia luput dari incaran. Dari kejauhan nampak olehku lelaki tinggi 165 centimeter, kulit putih, dengan rambut kelimis, penampilan necis berjalan ke arah rektorat. Lucunya, ia mengenakan celana kain dipadu dengan kemeja batik, tapi kok pakai sepatu sport?.
Dari samping ia kuhampiri, aku ikuti gerak langkahnya menuju ruang kerja. Sesampai, ia duduk di kursinya, dan aku memilih di kursi di depannya. “Ada apa?,” ia buka tanya. “Soal nilai PPKN yang saya buat tugas kemarin untuk bisa sidang, Pak,” jawabku mengingatkan. “Itu sudah tidak bisa lagi, kamu harus ambil semester depan,” ujarnya gampang. Kembali aku sadar, aku hanya mahasiswa dan ini sudah biasa terjadi.
Sekarang aku puas, walau hasil dari buruan mengatakan bahwa aku harus menunda sidang hanya karena sebuah nilai yang masih tertahan. Aku berdiri, berpamitan, bersalaman dan segera balik badan meninggalkan ruangan yang sebenarnya sangat malas kumasuki. Disini aku benar-benar di paksa untuk sadar, kalau aku hanya mahasiswa biasa yang ingin membuat orang tuaku bangga.
Tapi, maaf pada Almarhumah Emakku dan pada Ayahku jika sidang skripsiku kembali harus tertunda. “Jangan lagi membantah dan ikuti saja apa kata dosen,” begitu pesan Emak semasa masih hidup sekira empat pekan lalu.
That’s it!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
You got a 2.57% upvote from @emperorofnaps courtesy of @hyonaxtell!
Want to promote your posts too? Send 0.05+ SBD or STEEM to @emperorofnaps to receive a share of a full upvote every 2.4 hours...Then go relax and take a nap!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Huahahahaha
saya juga pernah merasakan hal yang sama. Seakan-akan dosen memperlakukan mahasiswanya seperti dosennya memperlakukan dia dahulu kala.
Hahaha
Jadi nostagia nih.
Posted using Partiko Android
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
good post !!
![](https://steemitimages.com/0x0/https://smartsteem.com/static/smartsteem_banner.gif)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Saya pikir kejadian-kejadian seperti ini sudah tidak ada lagi sekarang, turut berduka.. semoga semester depan jadi wisuda :(
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahaha...mksh...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahahaha, that geupap.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit