Stunting mungkin masih terdengar asing di telinga sebagian masyarakat indonesia. stunting adalah masalah kurang gizi kronis pada anak dibawah 5 tahun yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi.
Penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi dan penurunan prevalensi balita pendek (stunting), menjadi salah satu prioritas nasional yang tercantum dalam sasaran pokok rencana pembangunan jangka menengah tahun 2015-2019.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).
Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensi 20% atau lebih.
Karena persentase balita pendek diindonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingakan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek diindonesia juga tertinggi dibandingkan negara tetangga seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%).
Tahun 2014 Indonesia termasuk dalam 17 negara dari 117 negara yang memiliki masalah dengan sunting. dan diperkirakan 80% dari 165 juta anak di dunia mengalami stunting (UNICEF, 2013)
Provinsi Aceh pada tahun 2013 berada pada urutan ke tujuh dengan prevalensi stunting 41,5% dibandingkan dengan Sulawesi Tenggara 42,6%, Papua Barat 44,7%, Nusa Tenggara Barat 45,2%, Sulawesi Barat 48,0% dan Nusa Tenggara Timur 51,7% (Riskesdas, 2013).
Aceh mengalami penurunan stunting sebesar 38,9% di tahun 2014. Tapi angka stunting ini masih tinggi di bandingkan dengan prevalensi nasional 37,2% (Profil Kesehatan Aceh, 2014)
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan anak 0-23 bulan, karena pananggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode HPK meliputi yang 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama, setelah bayi dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupak periode menentukan kualitas kehidupan.
Dampak dari stunting tersebut untuk jangka pendek yaitu pada masa kanak-kanak,
perkembangan menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Pada jangka panjang yaitu pada masa dewasa timbul penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi dan obesitas.
Studi mengungkapkan mayoritas ibu hamil melakukan kunjungan ANC (konsultasi kehamilan) rata-rata antara 4-7 kali selama hamil.
Namun ada di antara mereka tidak melakukan kunjungan ANC karena tidak mendapat izin dari suami, tidak tahu harus ke mana dan kesulitan transportasi dan biaya
Stunting bisa dicegah dengan cara pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil,
suplementasi zat gizi (tablet Fe atau zat besi) dan terpantau kesehatannya. Ibu hamil setidaknya harus meminum 90 tablet Fe selama kehamilan. Pemberian asi ekslusif sampai 6 bulan dan setelah umur 6 bulah diberi makanan pendamping asi (MPASI).
Memantau pertumbuhan balita diposyandu merupakan upaya sangat strategis untuk mendeteksi dini gangguan pertumbuhan. Meningkatnya akses terhadap air bersih, fasilitasi sanitasi dan menjaga kebersihan lingkungan.
Fenomena stunting tidak ada standar yang baku. Hanya saja perlu dibangun kesadaran masyarakat bahwa selama masa kehamilan diperlukan perhatian serius kepada ibu hamil agar mengonsumsi asupan gizi yang maksimal, dan memberi asi kepada ibu hamil agar mengonsumsi asupan gizi yang maksimal, dan memberi asi kepada bayi secara cukup agar terhindar dari malnutrisi (gizi buruk).
Berdasarkan data monitoring dan evaluasi Kementerian Kesehatan 2016, prevalensi stunting diperkirakan berada pada 27,5 persen. Artinya, kebijakan pemerintah dalam penanganan stunting sudah selaras dengan target RPJMN. Sinergi program kementerian/lembaga yang secara regular telah dilaksanakan ialah, peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak
Selain itu, pemerintah terus melakukan sosialisai dan edukasi untuk ASI ekslusif, 4 Sehat 5 Sempurna, dan pernikahan di atas 19 tahun untuk perempuan. Program lainnya yakni penguatan pelayanan kesehatan dasar berkualitas, pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi.
Dalam hal ini diperlukan tim monitoring bagi keberhasilan suatu program yang akan dijalankan atau dilaksanakan demi keberhasilan kebijakan dengan mengawasi atau memantau sejauh mana tingkat keberhasilan program pemerintah dalam menurunkan angka stunting hingga 2019,
telah dilaksanakan serta mendeteksi sedini mungkin kekurangan dari program tersebut sehingga pemerintah dapat mengubah system atau menambah sumber daya yang diperlukan sehingga program ini dapat berjalan dengan baik dan Indonesia dapat terbebas dari stunting secara keseluruhan di Aceh maupun Indonesia.
Jadi, ingat stunting bisa kita cegah dengan cara mari kita pantau status gizi si calon bayi mulai dari dalam kandungan sampai bayi lahir.. Ayoo bersama kita wujudkan Aceh bebas stunting. (Pakmantri)