Awalnya tema artikel ini tidak terlalu penting untuk dibicarakan, karena Suriah bukan lah negara yang popular layaknya Amerika, Rusia, China atau negara timur tengah semisal Saudi Arabia atau pun UEA. Tingkah kemajuannya pun masih kalah dibandingkan Iran, Mesir dan Kuwait. Namun, Suriah adalah negeri yang telah dihadiskan Rasul Muhammad sebagai sebuah negeri yang berkah beserta dengan Yaman. Umumnya, Suriah hampir tidak banyak orang mengetahuinya terutama oleh orang-orang Indonesia, namun kini Suriah justru sudah terkenal ke seantero dunia, semuanya bermula pada tahun 2011 saat kisruh timur tengah yang disebut Musim Semi Arab terjadi, bahkan konfllik ini menjadi perbincangan hangat bagi setiap orang melebihi konfik Palestina. Tidak pernah terbesit dalam benak saya bahwa tulisan tentang Suriah akan menjadi sebuah tema atau topik yang menjadi pembicaraan orang awam, mahasiswa, dosen, atau siapapun itu. Sebelumnya saya berpikir bahwa konflik Suriah ini hanya berpengaruh di jazirah Arab saja, akan tetapi lambat laun pengaruh konflik ini menyebar ke seluruh negeri termasuk di negeri saya, Indonesia. Hal itu menjadi alasan terpenting bagi kita para akademisi-akademisi untuk membahasnya, menyelidiki dan mengambil sebuah kesimpulan.
Sekitar tiga tahun belakangan ini, saya sisihkan banyak sekali waktu dan pikiran untuk mengamati persoalan yang terjadi di timur tengah khususnya Suriah. Hari-hari saya banyak dihabiskan untuk diskusi dengan berbagai macam halaqah organisasi-organisasi dan komunitas yang berpengaruh di Indonesia, disamping saya mengamati dan menganalisa perkembangan yang terjadi di Suriah. Kehidupan saya banyak berubah karena konflik Suriah. Faktor yang mendorong saya untuk berkecimpung dalam kajian ini tak lain berawal dari pemberitaan-pemberitaan media tentang kekejian Presiden Syiria Bashar Al-Assad yang menembaki dan membantai rakyatnya sendiri serta seruan jihad oleh para masyayikh-masyayikh berjubah untuk memerangi Bashar yang konon dituduh sebagai Syi’ah. Saya termasuk orang yang terprovokasi dengan ratusan pemberitaan-pemberitaan baik melalui foto dan vidio yang banyak tersebar di media sosial, koran maupun televisi. Status Facebook saya pun dibanjiri dengan postingan-postingan yang mengecam dan mengutuk rezim Bashar serta pembelaan saya terhadap oposisi serta gerakan militer lainnya yang bersama-sama memerangi Bashar. Ditambah lagi dengan kampenye-kampenye ormas tentang tegaknya Khilafah di Syam apabila Bashar terbunuh atau pun kalah dan turun dari kekuasaannya yang mereka sebut sebagai rezim tirani.
Sebagai seorang alumni Sastra Arab, opini konflik Suriah sepatutnya saya harus anggap penting secara pribadi untuk di beberkan ke publik, bukan karena sebagai objek kajian, tapi lebih kepada pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia yang kian hari kian terpengaruh oleh pemberitaan hoax. Saya juga mendengar bahwa puluhan WNI (Warga Negara Indonesia) juga turut serta ambil bagian dalam konflik Suriah ini. Mereka yang menyatakan diri mereka sedang berjihad ke Suriah, tanpa ragu sedikitpun, meneriakkan takbir dan slogan “berjuang di jalan Allah”. Di lain pihak, senjata-senjata yang mereka gunakan di Suriah adalah pemberian Saudi Arabia, Israel, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Senjata-senjata tersebut mereka gunakan untuk menghancurkan bangunan, membunuh orang-orang, mengubur dalam-dalam mimpi anak-anak Suriah, dan yang tidak masuk akal, dengan menyalib, menembak secara membabi-buta, memenggal kepala manusia, semuanya dibalut dengan teriakan takbir, Allahu Akbar. Bom bunuh diri, eksekusi masal di depan umum, merebus kepala, bermain bola dengan kepala, hingga memakan hati manusia, adalah beberapa “pemandangan” yang dapat kita saksikan dari sekian banyak “pemandangan” yang ada di Suriah. Perang Suriah yang dilancarkan oleh Saudi Arabia, Israel, Amerika Serikat, Qatar, Turki, serta beberapa negara Eropa telah menyeret umat manusia menuju sebuah masa depan yang diliputi rasa pesimis, dengan mendatangkan teroris takfiri dari berbagai negara di belahan dunia.“Manusia-manusia” tak berakal ini menari-nari sesuai irama Saudi, Israel dan Amerika, tanpa berpikir,tanpa merenungi, mereka sibuk dengan tujuan akhir mereka, yakni surga dan bidadari.
Seiring dengan konflik tersebut, beberapa teman saya baik itu dari ikhwan yang awam beragama mahupun yang non-muslim sering bertanya dan mengajak diskusi tentang prahara konfilik suriah dan gambaran Islam yang sesungguhnya. Tidak sedikit yang menyeleneh mempertanyakan akan Tuhan dalam prespektif Islam, jika kita merujuk kepada apa yang dipraktekkan para teroris, maka Tuhan yang mereka kampenyakan adalah Tuhan Yang kejam, brutal, barbar, dan anti rasa kemanusiaan. Mereka tengah memperkenalkan Tuhan kepada dunia sebagai Yang Maha Kejam, Maha Penindas, Maha Sadis dengan berkedok Islam. Namun, ada yang menarik, orang-orang yang berangkat ke Suriah itu didominasi oleh orang-orang yang bercelana cingkrang, berjanggut semraut, dan gemar membid’ahkan dan mengkafirkan orang lain. Saya memberikan penjelasan semampu saya. Bahwa konflik di Suriah, bukanlah konflik yang berkaitan atau bernuansa Islami, tetapi, konflik Suriah adalah sebuah konflik yang menggunakan seruan jihad dan Islam sebagai kedok untuk menarik perhatian para pemuda dari seluruh penjuru dunia.
Saya pernah menghadiri sebuah diskusi sebuah organisasi. Dalam diskusi tersebut, banyak yang memberikan perhatian dan bersimpati pada konflik yang tengah melanda Suriah, bahkan ada yang menggalang donasi. Banyak dari mereka menyatakan dukungannya kepada para “mujahidin” yang datang dari berbagai penjuru dunia. Saat saya bertanya, mengapa bisa demikian yakin mendukung orang-orang yang anda sebut sebagai mujahidin Suriah, dengan nada pasti mereka menjawab: Para mujahidin tengah berjuang menumbangkan rezim Assad yang beragama Syi’ah, karena rezim Assad-lah yang menghalangi para mujahidin untuk kemerdekaan Palestina dari Israel. Apabila rezim Assad sudah tumbang, para mujahidin dapat dengan leluasa melancarkan agresi militer ke Israel untuk memerdekakan Palestina. Mendengar jawaban itu, saya hanya bengong. Apakah logika saya yang lemah tidak mampu menangkap jawaban mereka, atau logika dan sudut pandang mereka yang terlalu sempit?. Saya pernah mengikuti kajian sunnah yang dibawa oleh seorang ustadz, yang pada saat itu mengatakan bahwa sanya kita harus bersabar sambil berdakwah bila di pimpin oleh pemerintah yang zalim, tapi pada kesempatan lainnya ustadz tersebut malah menyeru berjihad menumbangkan pemerintahan Bashar yang dinilai sebagai rezim yang zalim dan diktator. Masih dengan ustadz tadi juga, beliau menyeru kepada setiap muslim agar kita harus cinta damai, karena Islam adalah agama damai, namun dilain hal, beliau mengajak untuk berjihad menumbangkan Bashar dengan alasan ia adalah Syi’ah yang harus dibunuh dan diperangi. Pertanyaannya, apakah ini yang disebut cinta damai, apakah Bashar benar-benar Syi’ah, jika ia benar-benar Syi’ah, apakah harus diperangi, diburu dan disembelih layaknya babi hutan? Apakah Syiah tidak lagi terikat dengan falsafah kehidupan manusia? Apakah Syi’ah tidak lagi memiliki kebebasan berkehidupan layaknya manusia lainnya? Jika syi’ah salah dalam berislam, apakah jalan dakwah lebih buruk dari pada senjata, “JIKA BASHAR BENAR-BENAR SYIAH YANG MEREKA ANGGAP KAFIR DAN WAJIB DIBUNUH, MAKA YANG LEBIH BERHAK UNTUK DIHANCURKAN BUKAN SYIRIA, MELAINKAN IRAN YANG MANYORITASNYA BERMAZHAB SYIAH.”
Pertanyaan-pertanyaan diatas hanya logika kita masing-masing yang akan menjawabnya, tapi tidak bagi mereka yang sudah tuli, bisu dan buta.
Munawir, 18 Maret 2018