Kamipun sampai di lokasi tujuan.
Sabri dan Malek, pelempar joran pancing pertama. Tak lama berselang. Strike. Sejenis ikan patin- kami menyebutnya ikan bagok- menyambar mata kail Sabri. “Hoi, ilong ka ikap,” Sabri mengabari setengah berteriak.
Kami larut berjam-jam mamancing sambil bercanda. Tetapi saya tidak begitu fokus, karena tidak ada satupun ikan menyambar mata kail. Saya lebih memilih menikmati indahnya pantai, sedari memasak nasi, dan membakar ikan bandeng yang masuk perangkap jaring.
Di bawah rimbunnya pohon pandan serta jenis pohon lainnya, saya berteduh, dan benar-benar menikmati panorama di sekitar lokasi. Sementara Jamal, Malik, dan Sabri, begitu menikmati “meuramin” ini, di bawah terik panas sedari memegang erat gagang pancing.
Dari ujung telepon genggam, seseorang mengabari abang sepupu, bahwa ibunya- Wawak saya juga- masuk rumah sakit. Kami pun harus mengakhiri “meuramin” ini. Dan segera bergegas menyeberang untuk pulang.
Rombongan kembali dibuat menjadi dua. Kali ini, Sabri masuk gelombang pertama. Sementara Malik, Jamal, dan saya berada gelombang terakhir.
Derasnya air sungai itu benar-benar dapat memacu adrenalin. Hening. Tak ada percakapan seperti saat kami memancing tadi. Tegang. Karena derasnya air melebihi saat pertama kami menyeberang.
Saya kembali bergumam; seadainya perahu benar-benar tenggelam. Sepertinya aku tidak sanggup menolong kawan itu berenang. Tenagaku terkuras dengan berlarian kecil di pantai, sekaligus bermain air, hampir seharian.
Tetapi tidak mungkin juga saya membiarkan dia meronta-ronta minta tolong (seandainya kecelakaan), dan tenggelam bersama perahu di muara itu.
“Apapun ceritanya, saya harus membantu, hidup atau mati.” Dan Alhamdulillah kami selamat.
Semoga komunitas Kawe Pos terus berjaya (Tamat)